All Chapters of Perempuan Yang Kalian Remehkan: Chapter 11 - Chapter 20

Lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel berbintang lima itu. Musik jazz lembut mengalun, menciptakan suasana elegan yang menenangkan sekaligus menegangkan bagi para tamu undangan. Arga berdiri di sudut ruangan, mengenakan setelan jas abu gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun di balik tampilan rapi itu, pikirannya berkecamuk — laporan keuangan yang kacau, investor yang menuntut kejelasan, dan tekanan dari ayahnya, Tuan Baskara, terus menghantui.Ia datang malam itu bukan karena ingin bersenang-senang, melainkan untuk mencari peluang. Acara yang diadakan oleh asosiasi pengusaha besar itu dihadiri oleh banyak figur penting di dunia bisnis. Salah satu di antaranya — tanpa ia duga — adalah nama yang sudah lama ia hapus dari pikirannya.“Arga Baskara?”Suara lembut itu terdengar dari belakang, membuat Arga menoleh.Senyum kecil langsung muncul di wajah wanita bergaun merah anggun itu. Rambut pirangnya tergerai lembut di bahu, mata tajam berwarna hazel

Siang itu, di sebuah kafe mewah di pusat kota, Ny. Ratna dan teman-teman geng arisannya sedang berkumpul seperti biasa. Suasana penuh tawa, parfum mahal, dan gelas-gelas kopi yang beradu lembut. Di meja itu ada lima wanita berusia paruh baya dengan dandanan elegan—salah satunya, Bu Winda, wanita yang dikenal bermulut pedas dan selalu haus gosip terbaru. Ia duduk berhadapan langsung dengan Ny. Ratna, dengan ekspresi wajah yang tampak menyimpan sesuatu. “Ratna,” ucapnya tiba-tiba sambil memainkan sendok di gelas latte-nya, “aku baru aja lihat sesuatu yang… hmm, menarik di media sosial.” Ny. Ratna menegakkan tubuh, menatapnya tanpa terlalu tertarik. “Apa lagi sekarang, Win? Jangan bilang soal rumah tangga Bu Tanti lagi, aku bosan dengarnya.” Bu Winda tertawa kecil. “Bukan, bukan. Ini lebih… personal, mungkin.” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya merendah seperti ingin menyampaikan rahasia besar. “Tadi pagi aku lagi buka live TikTok, nyari ide baju buat asistenku. Eh,

Suasana kantor pagi itu jauh dari kata tenang. Dari luar ruangan Arga saja, terdengar suara telepon yang berdering tanpa henti, nada bicara tegang para karyawan, dan langkah tergesa staf keuangan yang lalu-lalang membawa berkas.Begitu Arga masuk, semua kepala menoleh cepat. Ada raut gugup di wajah mereka, seolah kehadiran sang direktur justru menambah beban yang sudah menumpuk.“Pak Arga, ini laporan dari Dimas,” ujar sekretarisnya terburu-buru sambil menyerahkan setumpuk map. “Investor utama sudah menunggu di ruang meeting. Mereka datang tanpa janji, katanya mendesak klarifikasi.”Arga mengangguk pelan, tapi rahangnya mengeras. “Baik. Siapkan juga presentasi progress terakhir, sekarang.”Begitu pintu ruang meeting terbuka, empat orang sudah duduk di sana — dua pria berjas tebal, satu wanita dari tim keuangan investor, dan satu lagi, perwakilan klien besar mereka. Tatapan mereka tajam, kaku, tanpa senyum.“Pak Arga,” ujar salah satu pria membuka pembicaraan, suaranya tegas namun berl

Tangisan bayi baru lahir menggema lembut di lorong rumah sakit sore itu.Semua orang tersenyum lega.Kakak perempuan Arga, Maya, baru saja melahirkan anak keduanya — seorang bayi laki-laki mungil yang langsung merebut perhatian seluruh keluarga Baskara.Arga berjalan di samping Freya, mengenakan kemeja biru tua. Wajahnya masih terlihat lelah, namun ada senyum kecil ketika ia melihat keponakannya di ruang rawat.Freya, meski hatinya sempat berdebar tak nyaman sejak tahu akan ikut ke rumah sakit, tetap menampilkan senyum hangat.> “Selamat ya, Kak Maya,” ucap Freya sambil mengelus tangan sang ibu yang baru melahirkan.“Bayi Kakak sehat banget. Lucu sekali.”Maya tersenyum lembut.> “Terima kasih, Frey. Kamu datang, aku senang sekali.”Namun, sebelum kehangatan itu sempat bertahan lama, suara riuh sekelompok wanita paruh baya terdengar dari arah pintu.Nyonya Ratna datang bersama teman-teman arisannya — Ibu Sari, Ibu Ninda, dan Ibu Rossa — tiga orang yang dikenal Freya dengan baik sebaga

Pagi itu, matahari menyelinap malu di balik tirai ruang makan rumah keluarga Baskara.Cahaya lembut menembus kaca, memantul di permukaan meja makan yang rapi.Namun, tak ada kehangatan di sana.Hanya keheningan yang terasa menekan.Freya sudah bangun lebih awal seperti biasa.Tubuhnya lelah, matanya sembab, tapi ia tetap menyiapkan semuanya seperti rutinitas yang tak boleh putus: menyiapkan kopi hitam untuk Arga, sarapan, dan pakaian kerja yang sudah digantung rapi di kursi ruang ganti.Tangannya bergerak otomatis, seolah tak lagi dikendalikan hati.Namun, setiap gerakan terasa berat.Setiap aroma kopi yang menguar, setiap bunyi sendok yang beradu dengan cangkir — semuanya seperti gema dari luka yang masih menganga.Ketika langkah kaki Arga terdengar menuruni tangga, Freya menegakkan tubuh.Ia tidak menoleh, hanya memandangi meja makan yang kini penuh dengan hidangan sederhana.Arga berhenti sejenak di ambang pintu.Rambutnya masih sedikit basah, dasi tergantung longgar di lehernya.P