Semua Bab Aku Bukan Pecundang!: Bab 101 - Bab 110

Setelah keluar dari Mystic Morsels, Steve Hart melajukan mobilnya ke pusat kota. Brandon ikut bersamanya, karena Steve berniat mengantarnya pulang.Awalnya Brandon menolak dan bilang mau memanggil sopir saja. Tapi Steve ngeyel, jadi Brandon akhirnya pasrah.Meski tadi sempat kesal dengan Brandon, sekarang Steve sudah nggak merasa begitu lagi. Memang, waktu di pelelangan Brandon nyebelin banget, tapi setelah ngobrol lumayan panjang, Steve sadar: orang ini nggak seburuk kelihatannya.“Steve, rumahku di Majesty Mansions. Kamu tahu daerah itu?” tanya Brandon di perjalanan.Steve mengangkat alis. Kaget juga mendengar Brandon tinggal di kompleks yang sama dengannya.“Majesty Mansions? Kebetulan aku juga tinggal di sana. Belvoir Mansion, kalau kamu tahu,” jawab Steve.Brandon langsung kaget. Dia ingat Belvoir Mansion baru terjual beberapa waktu lalu. Pemilik barunya bahkan sempat mengundangnya ke pesta di sana, tapi dia nggak datang—dan sekarang dia menyesal.“Steve, aku nggak tahu kalau kam

Percakapan antara Brandon dan Phillip terus berlanjut sementara Steve akhirnya memutuskan untuk hanya mengamati. Brandon dan Phillip masih sibuk bahas kerja sama mereka sebelumnya yang berakhir berantakan.“Sudahlah, berhenti ngemis kayak gini. Janji manismu waktu minta investasiku kemarin aja belum terbukti. Gimana kau bisa berharap aku buang uang lagi buat proyek yang pasti zonk?” ujar Brandon Lee.“Tidak, Tuan Brandon. Kali ini pasti berhasil, saya jamin!” Phillip mencoba meyakinkan dengan segala cara.Keluarga Cattegirn sekarang udah jatuh sekental-kentalnya. Mereka cuma beruntung masih bertahan karena Steve yang melunasi hutang mereka ke Sunrise International Bank. Tapi itu bukan berarti masalah mereka selesai.Bisnis keluarga Cattegirn berada di tepi jurang. Mereka nggak punya modal, nggak punya biaya operasional. Jalan terus begini? Bangkrut tinggal tunggu hari. Yang tersisa hanyalah gelar “keluarga miskin”.Itulah kenapa Phillip rela buang harga diri, merengek di depan Brandon

Pagi harinya, Steve Hart datang ke alamat yang Brandon kasih semalam. Itu adalah alamat Moonlight Fund—perusahaan yang berniat ia kuasai.Steve masuk dengan penuh percaya diri. Dia santai saja, yakin bakal sukses membeli saham mayoritas perusahaan itu karena pemiliknya adalah Brandon sendiri.Setelah ngobrol panjang lebar dengan Brandon semalam, Steve merasa Brandon orang yang enak diajak bicara. Harusnya hari ini juga begitu.“Permisi, Pak. Ada keperluan apa?” tanya resepsionis.“Aku mau ketemu Brandon. Dia ada di ruangannya?” tanya Steve to the point.Resepsionis itu terkejut, tak menyangka pria di depannya adalah orang yang sudah disebut CEO tadi malam.Brandon sudah bilang bahwa kenalannya akan datang. Resepsionis langsung paham dan menyuruh Steve menunggu sebentar.“Silakan duduk dulu, Pak. Saya atur jadwal pertemuan dengan Pak Brandon.”Steve mengangguk dan duduk di lobby, yang juga dipenuhi beberapa orang yang tampak sedang menunggu.“Yo, bro. Kamu juga dateng buat ngelamar ker

Sudah sekitar seminggu sejak Steve berhasil membeli 50% saham dari Brandon. Dalam waktu sesingkat itu, banyak hal terjadi—salah satunya, Steve resmi ditunjuk sebagai anggota dewan Moonlight Fund.Padahal Steve awalnya menolak mentah-mentah. Niatnya cuma beli saham, dapet profit, titik. Tapi Brandon bersikeras memaksa.Brandon bahkan bilang kalau posisi itu cuma formalitas. Steve nggak perlu kerja apa pun, cukup datang rapat pemegang saham seperti keinginan Steve dari awal.Akhirnya Steve nggak bisa menghindar lagi. Dan sekarang, dia bahkan punya kartu nama yang membuktikan posisinya.“Semoga kartu nama ini ada gunanya,” gumam Steve Hart sambil menatapnya. Dia sedang mengemudi menuju suatu tempat.Sejak seminggu lalu—sejak transaksi 50% saham selesai—dia sudah berencana datang ke tempat ini. Masih terkait dengan berkas investasi yang ia minta dari Brandon sebelumnya.Berkas itu kini ada di tangannya. Isinya: bukti kalau keluarga Cattegirn kini berutang 100 juta dolar ke Moonlight Fund.

Steve Hart, yang merasa rencana awalnya sudah berjalan mulus, langsung bersiap lanjut ke tahap berikutnya. Ia menelpon seseorang untuk datang—semua ini sudah ia setting dari awal. Bisa dibilang, inilah pertunjukan utamanya.Tak lama setelah telepon ditutup, empat truk besar masuk ke halaman. Truk jasa pindahan—Steve memang sudah menyewa mereka untuk mengosongkan rumah setelah ia menyita properti itu.“Ayah, apa-apaan ini?” tanya Callista, bengong begitu melihat truk-truk itu.Phillip Cattegirn hanya menggeleng pelan. Ia sendiri tak paham apa yang sedang terjadi.Dari empat truk itu, turun para sopir dan kru angkut. Mereka mendekati Steve Hart untuk minta konfirmasi sebelum mulai kerja.“Angkut semua barang di dalam. Aku mau rumah ini kosong sebelum dijual,” ujar Steve santai.Para pekerja langsung mengangguk dan masuk rumah tanpa banyak bicara.“Ayah, lakukan sesuatu dong! Aku nggak mau hidup jadi gelandangan!” rengek Callista, panik karena Steve jelas-jelas serius.Phillip buru-buru