Semua Bab OTW Janda!: Bab 31 - Bab 40

Lumayan lama Emma memerhatikan sekeliling kamar Andrew dari depan pintu. Ketika kembali mengarahkan pandangannya kepada Max, ia menyelipkan rambutnya ke balik telinga dan bertanya , “Ternyata kakakmu masih tinggal di sini, ya, Dok? Kukira sudah kembali ke Sydney. Apakah malam ini dia akan datang ke sini?” “Kalau Andrew akan datang, mana mungkin aku menyuruhmu tidur di kamar ini? Apa kau berpikir aku akan membiarkan Andrew tidur bersama seorang wanita yang sedang hamil besar dan masih berstatus istri orang? Yang benar saja!” ketus Max. Emma menghela napas mendapatkan respons ketus seperti itu. Ia memegangi perutnya sendiri dan kembali bertanya, “Memangnya Andrew sedang pergi ke mana?” “Ke Los Angeles sejak hari Natal. Kemungkinan dia baru kembali ke New York besok lusa.” “Oh ...,” Emma menahan bibirnya agar tidak tersenyum nakal. “Bagus kalau begitu.” Max mengerutkan kening dan menatap Emma dengan tatapan tak habis pikir. “Apa kau sadar betapa centilnya diri

Emma pikir, dirinya memang aman dan tenang tinggal di rumah Julia Sparks, ibunya Jenna. Namun, semenjak ia keluar dari apartemen Jenna, banyak sekali hal buruk yang terjadi dan menimpa Jenna. Sudah berlalu hampir tiga minggu sejak tahun telah berganti. Tadi pagi, Jenna meneleponnya dan mengatakan padanya bahwa dia curiga dirinya hamil. Hamil anaknya Max, yang mana berarti akan menjadi adiknya Landon. Emma menemani Jenna melakukan tes kehamilan dengan test pack. Dan karena Jenna masih ragu, Emma yang kebetulan juga memiliki jadwal pemeriksaan kandungan terakhir sebelum perkiraan jadwal persalinannya sekitar dua minggu mendatang, mengajak Jenna ke Cornell Hill untuk melakukan pemeriksaan kandungan secara langsung. Dirinyalah yang menjadi obgyn untuk Jenna dan membantu karibnya tersebut untuk periksa, supaya rekan-rekan mereka di rumah sakit tak ada yang tahu. Dan ternyata memang benar. Jenna hamil. Pagi harinya baru saja menjalani pemeriksaan dan mendapatkan hasi

Andrew bergegas masuk ke kamarnya untuk mengambil ponsel. Tanpa pikir panjang, ia langsung menelepon nomor adiknya, Maxwell, yang saat ini pasti masih berada di rumah sakit Cornell Hill untuk menemani Jenna yang dirawat inap di sana. Beruntung sang adik langsung mengangkat telepon darinya, tidak membuatnya harus menunggu lama. “Halo?” [Ada apa?] sahut Max di seberang telepon. “Kenapa kau akan pergi sementara Emma sedang berada di sini?” omel Andrew. [Memangnya kenapa? Dia hanya akan menginap satu malam. Aku sudah menyuruhnya tidur di kamar tamu yang kosong. Biarkan saja.] “Kau tidak seharusnya meninggalkan wanita hamil di sini tanpa pengawasanmu, Sialan. Kurasa dia akan melahirkan.” Andrew berdecak panik. “Air ... apa namanya?” “Ketuban, Tuan.” Monica yang masih menemani Emma di depan pintu kamar Andrew menyahut. “Ya, itu. Ketuban. Air ketubannya barusan pecah, Maxwell. Astaga ... apa yang harus aku lakukan?” tutur Andrew semakin panik melihat Emma

Setelah memakai masker, penutup kepala, dan jubah ruang operasi untuk memastikan kesterilan ruang operasi, Andrew masuk dan menghampiri ranjang yang ditempati Emma, lalu berdiri di samping Julia Sparks yang ada di sana dan sedang mengajak Emma mengobrol dengan penuh kelembutan. “Semuanya akan baik-baik saja. Kau tidak perlu takut. Aku di sini menemanimu. Tenang saja,” ucap ibunya Jenna itu kepada Emma sembari mengelus-elus punggung tangan Emma yang ia genggam. Emma yang kedua matanya berkaca-kaca, terpaku menatap wajah Julia. Bius yang dia dapatkan sudah bekerja, tetapi dia tetap dapat merasakan emosional besar dalam dirinya ketika mendengar ucapan Julia Sparks. Wanita paruh baya itu benar-benar membuatnya merasa tenang dan nyaman ketimbang ibu kandungnya sendiri. Terlepas dari pilihan yang ia buat untuk menghindar dari orang tuanya, tetapi ia tahu bagaimana watak ibu kandungnya, Regina. Dan ia yakin bahwa sekalipun Regina yang saat ini menemaninya, ibu kandungnya tersebut tak

“Apa yang kau lakukan di tempat istriku?” tanya Chris pada Andrew, mengintimidasi. “Menemaninya melahirkan. Memangnya apa lagi?” respons Andrew dengan tenang, sebelah alis tebalnya terangkat. Jawaban yang Andrew lontarkan, tentu saja membuat Chris sangat tersinggung dan tidak terima. Dia berjalan untuk mendekati ranjang tempat Emma berbaring, lalu berdiri berhadapan dengan Andrew di sisi lain ranjang Emma. Kening Chris mengerut dalam. Selama berminggu-minggu Emma menghindar darinya dan tidak mau pulang sama sekali, bahkan memberi kabar pun tak mau, ia sudah cukup terkejut begitu tadi malam ditelepon oleh pihak rumah sakit kalau Emma akan melahirkan. Dan sekarang, melihat ada pria lain di samping Emma dan anaknya, lalu pria itu berkata menemani Emma melahirkan, jelas Chris ingin murka. “Kau pikir kau siapa, huh?” ketus Chris. “Keluarlah dari sini. Menyingkir dari dekat istri dan anakku. Mengganggu saja.” Andrew adalah orang yang lumayan keras kepala. Jika me