Petaka Di Gunung Rinjani のすべてのチャプター: チャプター 11 - チャプター 20

Senin malam yang sunyi. Margareta duduk di meja belajar kamarnya dengan komputer jinjing terbuka dan puluhan tab penjelajah internet memenuhi layar. Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam, tapi kegelisahan sejak pagi membuatnya memutuskan mendalami penelitian tentang Pak Darto. Lampu meja menyinari wajahnya yang serius, matanya fokus menatap layar dengan ekspresi layaknya detektif amatir yang sedang mengejar petunjuk.“Ada yang aneh dengan testimoni-testimoni ini,” gumamnya sambil membuka kembali halaman media sosial foto Pak Darto. Foto-foto dan komentar yang kemarin terlihat meyakinkan kini menimbulkan tanda tanya setelah diamati lebih teliti. “Kenapa hampir semua komentar ditulis dengan gaya bahasa yang mirip?”Margareta mulai mengambil tangkapan layar setiap testimoni dan menyimpannya dalam folder terpisah untuk analisis lebih lanjut. Ia memperhatikan pola waktu unggahan, struktur kalimat, bahkan tanda baca yang digunakan. “Komentar ini ditulis jam 2 pagi, yang ini jam 3 pagi

Sabtu sore yang cerah. Diana duduk gelisah di depan cermin kamar sambil memilih-milih pakaian. Firman tiba-tiba mengajaknya ke Ancol sore ini, hanya berdua, tanpa menyebut alasan yang jelas. Jantungnya berdebar tidak karuan membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi."Pakai gaun biru atau kaus putih ya?" gumamnya sambil memegang kedua pilihan. Akhirnya dia memilih gaun biru selutut yang sederhana tapi manis, berharap terlihat santai tapi tetap cantik. "Mudah-mudahan ini bukan cuma teman biasa yang ngajak jalan-jalan."Pesan masuk dari Firman: "Di, aku sudah di depan rumahmu. Santai saja, nggak buru-buru kok." Diana langsung panik dan terburu-buru menyemprot parfum, mengecek riasan terakhir kali. "Ma, Diana keluar sama Firman ya!" teriaknya sambil berlari ke pintu depan.Firman berdiri di samping motor sport hitamnya dengan senyum hangat. Dia mengenakan kemeja putih lengan pendek dan celana jins yang pas di badan, terlihat segar dan tampan. "Wah, kamu cantik banget hari ini

Senin pagi pukul enam, suara alarm berbunyi serentak di empat rumah berbeda di Jakarta. Firman bangun dengan semangat tinggi, langsung mengecek cuaca Jakarta yang cerah. Diana terbangun dengan jantung berdebar karena bersemangat sekaligus gugup, sementara Ucok sudah terbangun sejak jam lima untuk latihan ringan terakhir. Deri bangun dengan perasaan campur aduk, masih tidak percaya dia benar-benar akan naik gunung dengan perlengkapan mewah.Pukul setengah tujuh, Pak Joko sudah siap dengan mobil mewah untuk mengangkut empat anak muda dan semua ransel besar mereka ke bandar udara. "Selamat pagi anak-anak! Papa sudah menyiapkan kotak sarapan untuk perjalanan," kata papa Firman sambil membantu memasukkan tas-tas ke bagasi. Suasana pagi itu dipenuhi rasa semangat dan penantian yang tidak tertahankan.Perjalanan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta dipenuhi obrolan bersemangat. "Teman-teman, unggahan aku kemarin sudah dapat dua ratus suka! Semua orang sangat bersemangat mengikuti perjalanan ki

qSenin malam pukul tujuh, Pak Darto mengajak rombongan Jakarta makan malam di warung lokal yang katanya paling asli di sekitar hotel. "Kalian harus coba masakan Sasak asli sebelum naik gunung besok. Di atas nanti makannya cuma mi instan dan kornet," katanya sambil memimpin mereka menyusuri gang kecil menuju warung yang remang-remang. Suasana warung yang akrab dengan meja kayu dan kursi plastik memberikan pengalaman lokal yang kontras dengan hotel mewah mereka.Warung Bu Sari terlihat sederhana tetapi ramai dengan orang lokal. "Pak Darto! Sudah lama tidak ke sini," sapa pemilik warung dengan ramah. "Ini tamu baru ya? Anak-anak Jakarta yang mau naik Rinjani?" Interaksi ini memberikan kesan bahwa Pak Darto memang dikenal baik di komunitas setempat."Iya Bu, ini anak-anak baik yang mau petualangan ke Rinjani. Tolong buatkan nasi campur yang enak ya," kata Pak Darto sambil duduk dengan akrab. "Dan es jeruk buat mereka semua, pasti haus setelah seharian jalan-jalan."Margareta memperhatikan

Selasa pagi pukul enam tepat, alarm ponsel berbunyi serentak di seluruh kamar hotel rombongan Jakarta. Margareta bangun dengan mata sembap karena hanya tidur satu jam setelah insiden tengah malam. Diana melompat dari tempat tidur dengan semangat berlebih yang kontras dengan kecemasan sahabatnya. Ucok sudah bangun sejak setengah lima untuk peregangan dan persiapan mental, sementara Deri bangun dengan campuran kegugupan dan semangat.Sarapan di restoran hotel berlangsung dengan suasana yang campuran antara antusiasme dan ketegangan tersembunyi. "Kalian siap buat petualangan seumur hidup?" tanya Firman sambil makan nasi gudeg. "Aku bersemangat tapi juga gugup banget. Ini benar-benar terjadi ya?"Diana mengaduk-aduk bubur ayamnya sambil berkali-kali memeriksa prakiraan cuaca di ponsel. "Cuaca hari ini sempurna, cerah tanpa perkiraan hujan. Setidaknya cuaca bukan jadi masalah.""Aku sudah cek semua perlengkapan tadi pagi, semuanya siap dan aman," kata Ucok sambil meninjau peta jalur yang s