All Chapters of GARIS PATAH LOGIKA: Chapter 21 - Chapter 30

Mereka tiba di kota pesisir itu saat jam makan siang. Kota itu kecil dan ramai, dengan becak dan sepeda motor yang berseliweran di antara bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial. Kantor notaris baru buka kembali setelah istirahat makan siang, jadi Ezra memutuskan mereka harus makan terlebih dahulu. Mereka berhenti di sebuah warung makan sederhana yang tampak paling ramai. Saat mereka sedang menyantap soto ikan yang mengejutkan enaknya, Anya, dengan pesona alaminya, mulai mengobrol dengan ibu pemilik warung yang sudah sepuh. "Sotonya enak sekali, Bu," puji Anya. "Kami dari jauh. Sedang ada urusan di kota ini." "Oh ya, Nduk? Urusan apa?" tanya si ibu ramah. "Kami sedang mencari informasi tentang kerabat lama," kata Anya, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Seorang pelukis yang katanya dulu tinggal di sekitar sini, di pesisir. Namanya Salima Wijaya." Mendengar nama itu, si ibu berhenti mengelap meja. Ia menatap Anya dengan tatapan yang tajam. "Mbah Salima si Pelukis Ombak," k

Kantor Notaris & PPAT Bambang Hartono, S.H., M.Kn., tidak terletak di gedung perkantoran modern. Kantor itu menempati lantai dasar sebuah bangunan tua peninggalan Belanda, dengan pilar-pilar besar yang cat putihnya sudah sedikit mengelupas dan jendela-jendela kayu tinggi yang menghadap ke jalan utama kota yang ramai. Udara di dalamnya terasa sejuk secara alami, dan beraroma khas kertas tua, tinta, dan sedikit wangi cengkeh dari rokok kretek yang tercium samar-samar.Di balik sebuah meja resepsionis dari kayu jati yang kokoh, duduk seorang pria berusia akhir empat puluhan. Rambutnya sedikit gondrong dan beruban di pelipis, dan ia mengenakan kemeja batik lengan pendek yang warnanya sudah sedikit pudar. Ia tidak sedang bekerja, melainkan sedang tekun mengisi teka-teki silang di selembar koran.Ezra, yang berjalan di depan, langsung memasang mode profesionalnya. "Selamat siang, Pak. Kami punya janji temu dengan Bapak Bambang Hartono," katanya dengan nada jelas dan efisien.P

Jalan aspal yang ramah itu telah lama berakhir.Kini, yang terbentang di depan mereka adalah sebuah jalan tanah yang lebih mirip jejak kerbau daripada jalur untuk mobil. Permukaannya tidak rata, penuh dengan lubang-lubang tersembunyi dan bebatuan lepas yang membuat mobil mereka yang sudah lelah sesekali bergetar hebat. Di sebelah kiri mereka, perbukitan kapur yang tandus mulai menjulang, ditumbuhi semak belukar yang meranggas. Di sebelah kanan, pemandangan berubah menjadi sesuatu yang liar dan dramatis: Samudra Hindia yang tak bertepi, ombaknya yang putih dan ganas menghantam bebatuan hitam di bawah tebing-tebing curam.Matahari telah menjadi bola api raksasa berwarna oranye yang perlahan tenggelam di ufuk barat, melukis langit dengan gradasi warna yang mustahil ditiru oleh cat manapun. Cahayanya yang sekarat menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari, mengubah semak-semak menjadi monster dan bebatuan menjadi siluet raksasa.Di dalam mobil yang berguncang pel

Waktu seolah berhenti di dalam sanggar itu.Dunia di luar—dengan mobil mereka yang terparkir di ujung jalan setapak, dengan kota-kota dan jadwal yang telah mereka tinggalkan—terasa seperti sebuah realitas yang jauh dan tidak relevan. Dunia mereka kini telah menyusut menjadi ruangan berdebu ini, diterangi oleh dua sorot senter yang gemetar, diiringi oleh musik agung dari ombak yang tak pernah lelah menghantam tebing di bawah mereka.Di depan mereka, di dalam kompartemen rahasia yang baru saja terbuka, terbaring sebuah harta karun yang sunyi. Tumpukan buku catatan kecil yang diikat dengan pita kulit tampak rapuh dan sarat akan tahun-tahun yang telah berlalu. Dan di atasnya, sepucuk surat. Kertasnya yang berwarna krem tampak kontras dengan kayu gelap di sekelilingnya. Dan di atas kertas itu, ditulis dengan tinta hitam yang sedikit memudar dalam gaya tulisan tangan yang miring dan elegan, adalah sebuah nama:Untuk Cucuku, Anya Larasati.Napas Anya tercekat di tenggorokan

Fajar di atas Tebing Kepala Naga tidak datang dengan pengumuman. Ia datang sebagai sebuah bisikan. Anya terbangun bukan karena suara, tetapi karena perubahan cahaya. Kegelapan pekat di dalam sanggar perlahan-lahan melunak, berubah menjadi warna nila, lalu abu-abu lembut. Ia mengerjapkan matanya, pikirannya masih kabur oleh sisa-sisa mimpi yang aneh. Ia merasa hangat dan anehnya, sangat aman. Kemudian ia menyadari mengapa. Kepalanya masih bersandar di bahu Ezra. Selimut tenun tua milik neneknya membungkus mereka berdua, dan dalam tidur mereka yang lelah, mereka tanpa sadar saling bergeser mendekat untuk mencari kehangatan. Lengan Ezra tergeletak longgar di atas selimut yang menutupi pinggangnya, bukan sebuah pelukan, melainkan sebuah gestur perlindungan yang tak disadari. Ia bisa merasakan napasnya yang pelan dan teratur di rambutnya. Pipi Anya terasa panas. Otaknya yang biasanya kacau kini mengalami system overload. Sebagian dari dirinya—bagian yang sudah lama menjadi sahabat Ezra—