Semua Bab Gadis Kesayangan Tuan Adrian: Bab 11 - Bab 20

“Apakah perawakannya tinggi dan ramping, berkulit putih pucat, berhidung mancung, dan memiliki mata abu keperakan, Nona?”Aku menatap Sekar, sedikit terkejut karena deskripsi itu benar-benar cocok. “Benar. Seperti itu orangnya.”Sekar menarik napas panjang. “Kalau begitu, tidak salah lagi. Itu pasti Nona Amara.”“Nona Amara?”Sekar mengangguk. “Benar. Beliau adalah wanita pertama yang dibawa Tuan Adrian ke kediaman ini dan menempati Rumah Jelita. Wanita yang paling dekat dengan Tuan Adrian. Tidak peduli berapa banyak wanita yang dibawa ke rumah itu, posisinya tidak pernah tergantikan. Nona Amara tetap menjadi primadona sekaligus kesayangan Tuan Adrian. Hal itulah yang kemudian membuatnya paling berkuasa di sana.”Aku terdiam. Ingatan tentang tatapan dingin dan senyum menantang milik wanita itu kembali menghantui benakku. “Dia terlihat berwibawa, tetapi ... di waktu yang sama, ia juga terlihat menakutkan.”“Benar, Nona. Nona Amara ... dia ditakuti oleh para nona dan juga para pelayan k

Butuh waktu lama bagiku untuk akhirnya berhasil membawa tubuh Tuan Adrian ke kamarnya. Aku hampir kehilangan napas ketika akhirnya berhasil membaringkannya di tempat tidur. “Maaf, Tuan,” ucapku pelan. “Berbaringlah dulu di sini, akan kupanggilkan pengawal untuk membawa Anda ke rumah utama.” Aku baru hendak berbalik ketika tiba-tiba tanganku tertahan. Jemari Tuan Adrian melingkari pergelangan tanganku dengan erat. “Jangan pergi.” Dia berucap lirih, nyaris tidak terdengar. Aku terpaku. Apakah ia sudah sadar, atau hanya mengigau? Genggamannya kini semakin erat dan perlahan menarikku hingga aku jatuh terduduk di tepi ranjang. Tuan Adrian membawa tanganku ke dadanya, lalu mendekapnya erat dalam pelukannya yang kuat. Setelah beberapa saat, ketika sudah tidak ada lagi gerakan dan hanya terdengar suara napasnya yang teratu

Aku menatap bayanganku sendiri di cermin. Cahaya pagi yang menembus tirai jatuh lembut di wajahku. Kali ini, yang kulihat bukan lagi diriku yang kemarin. Setelah kemarin Nona Amara hampir melukaiku, ada sesuatu di dalam diri yang mulai berubah. Mungkin, inilah saatnya aku berhenti menjadi terlalu polos. Aku tatap mata sendiri di pantulan kaca dan berucap lirih, “Melati, kau harus lebih kuat. Kau harus bisa bertahan.” Berada di Kediaman Cempaka membuatku memahami satu hal, bahwa di mana pun kita berada, yang lemah akan selalu diinjak. Sehingga, aku tidak bisa terus-menerus hanya bersembunyi di balik ketulusan. Kemarin aku beruntung bisa selamat, tetapi siapa yang tahu tentang hari esok? Oleh karena itu, jika aku ingin tetap ada, maka aku harus memiliki perlindungan. Dan di rumah ini, satu-satunya perlindungan hanyalah Tuan Adrian, sumber utama kekuatan di Kediaman Cempaka. 

Aku menunduk, berusaha menarik tanganku perlahan dari genggaman Kak Arga. Namun, genggaman itu justru menguat. “Kak Arga ...,” ucapku pelan, “jangan begini. Tidak enak dilihat orang-orang.” Kak Arga menatapku serius. “Aku akan melepaskanmu, tapi berjanjilah untuk tidak menghindariku lagi.” Aku sedikit kaget. Jadi, dia sadar kalau aku memang menjauhinya selama beberapa hari ini. “Melati, aku hanya ingin bicara sebentar,” katanya lembut. Sejenak aku ragu. Di sekitarku kini, beberapa mahasiswa mulai memperhatikan. Tatapan-tatapan ingin tahu itu membuatku tidak nyaman. “Baiklah,” kataku pada akhirnya. “Tapi jangan di sini.” Kak Arga mengangguk dan melepaskan tanganku. Kami pun berjalan menuju taman belakang fakultas. Tempat itu cukup sepi karena saat

Satu sudut bibir Nona Amara terangkat. “Rumah kecil ini, tidak sepadan dengan Rumah Jelita.” Aku ingin tertawa, tetapi kutahan. “Apa yang kau tertawakan?” Nada suara Nona Amara meninggi. “Ah, tidak ada, Nona. Maaf.” “Kau gadis kecil, jangan terlalu besar kepala. Aku tidak peduli meski Adrian membelamu, akan kubuat kau pergi dari tempat ini.” “Nona, apakah gadis kecil sepertiku sudah bisa membuat Anda terganggu?” tanyaku dengan berani. Entahlah, aku sendiri heran dari mana asal keberanian ini. Nona Amara menunjuk ke wajahku. “Kau!” Aku menahan napas sejenak, lalu dengan mantap kembali berkata, “Nona Amara tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Karena meskipun Tuan Adrian membela saya, Nona tetap menjadi wanita kesayangannya.” Nona Amara m