All Chapters of Obsesi Dosen Tampan: Chapter 91 - Chapter 100

Zelda menatap layar ponsel, jantungnya seperti terhenti. Pesan itu terasa seperti pisau dingin yang menikam dadanya. Jari-jarinya gemetar hebat. Apa ini ... dari Chloe? Tidak. Tidak mungkin. Chloe masih ditahan. Dalam penyidikan. Dengan penjagaan ketat. Mana … mungkin …? Tapi nada pesan itu—dingin, penuh dendam, dan begitu … Chloe. Punggung Zelda seperti kehilangan tulang. Ia terduduk tanpa sadar, ponsel hampir terlepas dari genggaman. Tubuhnya bergetar, seperti kembali ke masa-masa saat wanita itu berhasil menyingkirkannya di lingkungan kampus—maupun sekitar Noah. Drrrt. Ponsel berdering keras. Nama Noah muncul di layar. Zelda langsung angkat, suara sudah bergetar. “Noah—” “Zelda, dengarkan aku,” suara Noah di ujung sana dingin, tapi ada getar panik yang nyaris tak terkendali. “Chloe kabur. Dia lolos dari tahanan sejam lalu. Dua petugas terluka parah—kedua-duanya bersenjata api. Salah satunya dalam kondisi kritis.” Zelda membeku. Napasnya terhenti. Dunia seol

Michael masih menunduk, napasnya tersendat halus. “Zara … maafkan aku.”Zara menatapnya lama.Hening.Seolah ia sedang menimbang apakah kata itu pantas didengar.Lalu bibirnya melengkung—bukan senyum. Bukan pula tawa. Melainkan sebuah cekikan kecil, getir, sinis, seperti luka lama yang baru saja disentuh.“Maaf?” ulang Zara pelan.Ia terkekeh ringan, tapi nada suaranya menusuk. “Sebelas tahun, Michael. Sebelas tahun …. Dan baru sekarang kau bicara ‘maaf’?”Michael mengangkat wajah, matanya memohon—tapi Zara sudah melanjutkan, dingin.“Kau ingat, hari ketika aku dipaksa berdiri di tengah ruang rapat St. Andrews?” Zara menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tajam.“Puluhan anggota dewan menatapku seperti aku kotoran yang kau seret masuk. Dan kau .…” Jari Zara menunjuk dada Michael, pelan tapi tajam.“Kaulah orang yang menginjak martabatku tepat di depan mereka.”Michael memejamkan mata, wajahnya tegang. “Zara … itu bukan— itu bukan sepenuhnya keinginanku.”Zara mencondongkan tubuh,

“Apa …?” Noah membeku. Dunia seolah berhenti di sekeliling dirinya. “Dia … ditembak. Beberapa kali. Dan ditikam.” Noah tidak bernapas. “Dia … dalam kondisi kritis, Tuan. Kami sedang membawanya ke rumah sakit sekarang.” Ponsel terlepas dari tangan Noah, jatuh ke lantai dengan bunyi keras. Michael menoleh cepat, wajahnya pucat. “Noah …?” Noah tidak mendengar. Ia berdiri mematung dengan tatapan kosong, tubuh gemetar. “Zelda ….” Suara itu keluar seperti jeritan yang tertahan. Lalu, ia berlari. “Noah …! Apa yang terjadi?!” teriak Michael. Namun, Noah sudah keluar dari ruangan tanpa mendengar apapun di sekelilingnya. Ia keluar gedung. Dan keluar dari segalanya. Hanya satu pikiran yang berputar di kepalanya …. Zelda. Zelda. Zelda. Dan kalau dia terlambat lagi …. Noah Grimm … tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri lagi. “Zelda …” panggilnya lagi menggeram. “Persetan! Persetan kau, Noah!!” teriak Noah menggila. Pria itu menaiki mobil Mercedes

“Kondisinya stabil,” ujar dokter itu pelan, lalu menarik napas dalam, “tapi sangat kritis.”Ia menatap Noah dan Zara lebih serius.“Pasien kehilangan banyak darah. Kami berhasil menghentikan pendarahan internal dan menstabilkan organ vitalnya. Tapi, kondisinya masih sangat rapuh.”Noah menelan ludahnya berat.“Kami akan memindahkannya ke ICU untuk observasi ketat dua puluh empat jam penuh.”Zara tersentak.Tubuhnya langsung melemah, lututnya hampir menyerah. Tangannya gemetar hebat.“ICU …?” suaranya pecah. “T-tapi … dia akan sadar, kan, Dok …?”Air matanya kembali tumpah tanpa bisa ditahan. Isakannya pecah, keras, menyayat.Noah berdiri kaku di sampingnya. Tubuhnya bergetar—halus tapi konstan. Rahangnya mengeras, matanya kosong menatap satu titik di dinding seberang. Seolah jika ia bergerak sedikit saja, seluruh dunia akan runtuh.Dokter segera mendekat, menenangkan.“Kami akan melakukan yang terbaik,” ucapnya lembut tapi tegas. “Tim ICU kami siap. Kami tidak akan meninggalkan pasien

“Noelle Grimm …” panggil Zara pelan.Sosok itu berdiri beberapa meter darinya.Topi gelap menutupi sebagian wajahnya. Kacamata hitam bertengger di batang hidung, terlalu besar—jelas bukan untuk gaya, melainkan untuk bersembunyi. Namun, bagi Zara, semua itu sia-sia.Ia mengenali garis rahang itu. Postur itu. Aura dingin yang pernah menghancurkan hidupnya. Noelle terdiam sepersekian detik. Lalu, perlahan, ia melangkah mendekat.“Zara …” panggilnya lagi pelan.Langkah kaki Noelle bergema di lorong yang sunyi. Satu. Dua.Zara refleks mundur selangkah. Punggungnya hampir menyentuh dinding dingin.“Kau …” suara Zara pecah, napasnya tersengal. “Seberapa jauh lagi kau ingin menghancurkan kami, Noelle?”Noelle berhenti melangkah.Tubuhnya kaku. Bahunya turun perlahan, seolah beban tak kasat mata menghantamnya sekaligus. Tangannya mengepal di sisi tubuh.Ia menunduk.Untuk pertama kalinya—mata yang dulu selalu penuh keyakinan, penuh rasa paling benar—terlihat goyah.“Zara,” ucapnya lirih, nyari