All Chapters of Obsesi Dosen Tampan: Chapter 41 - Chapter 50

Pelukan itu berlangsung lama, terlalu lama untuk Sarah yang biasanya tak pernah diam. Zelda merasakan tubuh sahabatnya sedikit bergetar, seolah Sarah juga sedang menahan beban yang sama beratnya. Ketika akhirnya mereka berpisah, Sarah langsung memasang senyum lebar yang dipaksakan. “Duduk dulu. Aku sudah siap jadi pendengar setia.” Zelda mengangguk lemah. Ia ambruk ke sofa. Sarah sibuk mengeluarkan isi kantong plastiknya—coklat, permen, roti, sekotak es krim—seolah ingin mengalihkan perhatian mereka berdua. Namun Zelda tahu ada yang salah. Sarah tidak cerewet seperti biasa. Sarah yang pendiam justru terasa lebih mengerikan daripada Sarah yang berisik. “Terima kasih sudah datang pagi-pagi begini,” ujar Zelda lirih sambil mengusap pipi yang masih basah. Sarah yang sedang membuka pintu kulkas tiba-tiba kaku sesaat. Gerakan itu begitu singkat, namun tak luput dari mata Zelda. “Tentu saja,” jawab Sarah, suaranya setengah nada lebih tinggi dari biasanya—tanda ia sedang menyembunyikan s

Zelda terpaku sejenak. Seseorang yang ia kenal? Zelda mengerjap dan menoleh pada Sarah, “Disana ada disebut siapa pelakunya, Sarah?” Sarah terdiam sejenak, terlihat ragu sebelum akhirnya ia menjawab. “Ariana.” Zelda membeku. Kata-kata Sarah menggema di kepalanya seperti bunyi logam yang dipukul terlalu keras. ‘Ternyata, seseorang yang pernah memfitnahnya,’ pikirnya. Pelan, sangat pelan, Zelda meletakkan kotak es krim di meja. Tangannya terasa dingin—bukan karena es krim, tapi karena sesuatu yang mengalir dari tengkuk ke seluruh tubuhnya. “… Ariana,” bisiknya hampir tanpa suara. Sarah menoleh cepat, “Bagaimana bisa gadis pendiam sepertinya melakukan itu? Aku masih tak percaya!” Zelda mengangguk kaku. “Dulu … aku pernah dituduh Ariana karena dompetnya hilang. Padahal sudah jelas bukan aku. Masalahnya memang selesai, tapi ….” Zelda mengedikkan bahu kecil, tak sanggup melanjutkan ucapannya. Sarah mengepalkan tangan. “Kalau benar dia yang sebarin fotomu malam itu, dia sud

“ZELDA!” Suara itu—dalam, tegas, dan penuh urgensi—menghentak seluruh saraf Zelda sekaligus. Ia mengenalnya. Terlalu mengenalnya. Napas Zelda tersedak di tenggorokan. “Noah …” bisiknya, sebelum suaranya pecah menjadi teriakan gemetar. “Aku di sini! Di dalam!” Sarah langsung menjerit, panik. “Zelda?! Zelda, kamu beneran terkunci?!” Zelda melompat berdiri, memukul pintu bilik dari dalam. “Aku—aku tak bisa keluar! Tolong!” Detik berikutnya— BRUK! Seluruh bilik bergetar hebat. Zelda tersentak mundur. BRUK!!! Pintu terguncang lagi, kali ini lebih keras. Seolah seseorang menghantamnya dengan seluruh berat tubuh. “PROFESOR NOAH, HATI-HATI!” Sarah memekik. Tapi Noah tidak berkata apa pun. Tidak sepatah kata. Hanya suara napasnya yang memburu—suara pria yang sedang marah … dan takut. BRUKK!! Besi selot yang rusak itu mulai tertekuk. Engsel pintu menjerit. Zelda menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar di sudut bilik. Sampai akhirnya— DHAK! Pintu ter

Kedua tangan itu menggenggam pinggangnya erat, stabil, dan hangat—lebih hangat daripada udara kedai yang penuh aroma kopi panggang. Kepala Zelda menempel pada dada seseorang yang sangat ia kenal, dan untuk setengah detik sebelum kesadarannya kembali kabur, ia mendengar detak itu. Deg. Deg. Deg. Cepat. Kencang. Jantung Noah Grimm—yang biasanya tenang seperti pria itu sendiri—kali ini berdentum seperti habis berlari. Suara itu begitu dekat, begitu jelas, sampai Zelda sempat mengira itu jantungnya sendiri yang berdebar sekacau itu. Namun detak itu lenyap seketika, tertutup oleh suara-suara lain. “ZELDA!!” “Zelda!! Hei! Kau kenapa?!” Dua suara berbeda datang tumpang tindih—Sarah dari arah meja sudut, Kevin dari balik mesin espresso. Suara ramai pelanggan yang tadinya bercampur tawa dan denting cangkir kini berubah menjadi gumaman cemas. Banyak mata mulai memperhatikan. Tangan Noah menguat, dan dengan cepat mengambil cangkir-cangkir kotor dari tangan Zelda—untuk ditaruh d

Zelda refleks meraih ponselnya—panggilan Sarah masih tersambung. “A-aku tutup dulu ya, Sarah. Ada tamu,” bisiknya terburu-buru. “Oh ya, ya! Zelda, nanti kabari kalau—” Tuut. Zelda buru-buru menekan end call dan langsung memberikan ponselnya pada Noah. Sebelum seseorang muncul dari balik tirai pintu luar kamar inap, Zelda menelan ludah, lalu dengan lembut—sangat lembut—mendorong dada Noah. “Noah … bangun. Kau … berdiri dulu.” Ada berat di wajah Noah, seolah tubuhnya enggan berpisah dari Zelda. Tapi, ia akhirnya menarik napas dan perlahan bangkit dari ranjang rumah sakit. Zelda langsung merasa dingin di sisi tubuhnya yang tadi dipeluk. Langkah masuk terdengar. Seseorang muncul. Kevin. Dengan hoodie yang belum sempat rapi, rambut acak, dan wajah masih lelah seolah datang langsung dari tempat kerjanya. Di tangannya ada buket bunga kecil dari sebuah toko yang ia beli. Dokter yang masih berdiri di sisi pintu membaca situasi, lalu segera pamit, meninggalkan mereka bert