All Chapters of Lembah Awan Berkabut: Chapter 41 - Chapter 50

Beberapa minggu telah berlalu sejak kepergian Wang Yue. Lembah Awan Berkabut, yang pernah menjadi surga tersembunyi yang damai, kini telah bertransformasi. Di bawah kepemimpinan Ling Yue, akademi itu berubah menjadi sebuah benteng yang terorganisir, di mana setiap murid memiliki peran dan tujuan. Suasana ketakutan telah digantikan oleh tekad yang membara dan disiplin yang rapi. Pagi hari tidak lagi hanya diisi dengan meditasi pribadi. Ling Yue kini memimpin sesi latihan formasi pertahanan massal di lapangan utama, di mana lingkaran hangus menjadi pengingat abadi. Ratusan murid bergerak serempak, aliran Qi mereka terhubung, menciptakan perisai-perisai cahaya kecil yang beresonansi satu sama lain. “Jangan melawan, rasakan!” seru Ling Yue, suaranya tenang namun berwibawa, menjangkau setiap sudut lapangan. Ia mengoreksi Formasi Lima Elemen mereka dengan mata seorang jenderal. “Bayangkan energi yang datang bukanlah musuh yang harus kalian hancurkan, melainkan sungai deras yang harus kal

Keesokan paginya, suasana di Lembah Awan Berkabut telah berubah sekali lagi. Tekad yang membara dari para murid masih ada, tetapi di pusat lembah, di sebuah lapangan latihan terpencil yang dikelilingi oleh rumpun bambu hijau yang menjulang tinggi, sebuah ketenangan yang intens telah terbentuk. Tempat ini dulunya adalah tempat rahasia Wang Yue untuk meditasi es, tetapi kini, tempat itu menjadi arena yang sakral untuk ujian spiritual mereka. Tidak ada murid lain yang diizinkan berada di sana. Hanya ada Ling Yue dan Wang Yue, berdiri berhadapan di bawah cahaya fajar yang lembut. Udara terasa tipis, dipenuhi antisipasi. “Teks kuno itu berbicara tentang resonansi total,” Wang Yue memulai, suaranya tenang dan analitis. Ia menjelaskan, “Resonansi tidak akan terjadi jika ada dua pusat. Hanya boleh ada satu kehendak. Itu berarti kita harus memulai dari fondasi yang paling dasar: menyelaraskan aliran Qi kita.” “Baiklah, aku siap,” jawab Ling Yue, meskipun ia merasakan gelombang kegelisahan

Fajar yang menyingsing di Lembah Awan Berkabut kini memiliki arti baru bagi Ling Yue dan Wang Yue. Itu bukan lagi hanya awal dari hari yang baru, tetapi awal dari sesi latihan yang paling menantang dan intim yang pernah mereka jalani. Mereka tidak lagi berlatih untuk meningkatkan kekuatan individu, tetapi untuk melenyapkan batasan di antara mereka, mencapai Resonansi Dua Jiwa. Pagi pertama setelah terobosan mereka, Wang Yue sudah berdiri di lapangan latihan terpencil, wajahnya serius seperti biasa. “Mencapai harmoni dalam keheningan meditasi adalah satu hal, Ling Yue,” katanya saat Ling Yue tiba. “Menjaganya di tengah kekacauan pertempuran, di mana setiap insting berteriak untuk bertahan hidup, adalah hal lain. Itulah tujuan kita sekarang.” Tugas pertama mereka terdengar sederhana, yaitu menciptakan kembali bola energi harmonis itu dan menjaginya tetap stabil saat mereka bergerak. Mereka duduk berhada

Beberapa bulan berlalu dalam ketegangan. Lembah Awan Berkabut tidak lagi hidup dalam ketakutan, melainkan dalam kesiapsiagaan yang waspada. Setiap fajar menyingsing bukan lagi hanya janji hari yang baru, tetapi kesempatan lain untuk menjadi lebih kuat dan lebih siap. Di bawah bimbingan Ling Yue dan Wang Yue, seluruh akademi kini bergerak sebagai satu kesatuan yang terkoordinasi. Sementara itu, Ling Yue dan Wang Yue menghabiskan hampir setiap jam untuk menyempurnakan harmoni mereka. Mereka tidak lagi membutuhkan kata-kata. Sebuah lirikan, sebuah pergeseran berat badan, sebuah tarikan napas, semuanya cukup untuk menyampaikan niat mereka. Tarian es dan api mereka telah menjadi begitu sempurna hingga terasa seperti satu entitas tunggal. Mereka telah siap. Atau begitulah yang mereka kira. Sesi pelatihan pagi Ling Yue dan Wang Yue berakhir di lapangan terpencil. Mereka baru saja berhasil menciptakan Gelombang Netralisasi ketiga, melenyapkan sebuah pilar batu besar dengan sangat presisi.

Keheningan yang mengikuti terbentuknya retakan raksasa di langit adalah keheningan yang penuh dengan kengerian. Di bawah robekan hitam yang menganga itu, Lembah Awan Berkabut yang tadinya bercahaya tampak kecil dan rapuh. Di dalam jurang kegelapan itu, lautan gelapan yang tak terhingga berdenyut, dan ribuan, tidak, mungkin puluhan ribu mata ungu mulai menyala satu demi satu, menatap turun ke dunia mereka yang kaya akan energi, seperti sekawanan serigala yang sedang menatap domba gemuk. Gelombang keputusasaan murni, sebuah tekanan dari shi nong yang tak terbayangkan, menyapu lembah. Para murid yang tadinya berdiri teguh kini gemetar. Beberapa jatuh berlutut, pedang mereka terlepas dari genggaman mereka yang lemas, bahkan ada yang menangis tanpa mereka sadari. Formasi pertahanan yang baru saja mereka aktifkan berkedip-kedip di bawah tekanan yang luar biasa. Harapan adalah hal pertama yang mulai dimakan oleh musuh mereka. Rasanya se