MasukMelemparkan gulungan itu sembarang, Ling Yue berlari keluar dari kuil, melesat melewati para murid yang terkejut, segera menuju gerbang utama lembah.
Di sana, di bawah cahaya bulan, sesosok berjubah putih berdiri dengan tenang. Ia tampak lelah karena perjalanan panjang, tetapi matanya bersinar dengan intensitas yang tajam. Saat melihat Ling Yue mendekat, kelegaan yang mendalam terpancar dari wajah Wang Yue yang biasanya tegas. Mereka berhenti beberapa langkah dari satu sama lain. Tidak ada pelukan dramatis di depan para murid yang mulai berkumpul. Hanya sebuah tatapan yang dalam dan penuh makna, sebuah percakapan tanpa kata yang menyampaikan segalanya seperti, apa kamu baik-baik saja? Aku kembali. Apakah kamu menemukannya? Aku menemukannya. “Selamat datang kembali di rumah, Wang Yue.” kata Ling Yue, suaranya sedikit bergetar karena kelegaan. “Aku pulang, Ling Yue” jawab Wang Yue, nada suaranya lembut, dikhususkan hanyaBeberapa dekade setelah pertempuran melawan Makhluk Void, kehidupan di Lembah Awan Berkabut telah mencapai puncak kedamaiannya. Wang Yue, yang rambutnya kini lebih banyak dihiasi perak daripada hitam, sedang duduk di teras kediamannya, menghadap ke kebun yang tenang. Di tangannya, sebilah pisau ukir kecil menari dengan lincah di atas sepotong Kayu Hati Giok. Mengukir telah menjadi meditasinya, caranya menuangkan keheningan di dalam jiwanya ke dalam bentuk yang nyata. Ling Yue datang membawakan secangkir teh, gerakannya sudah begitu sinkron dengan pasangannya hingga nyaris tanpa suara. Ia meletakkan cangkir itu dan melirik ukiran di tangan Wang Yue. Biasanya, Wang Yue mengukir binatang, bunga, atau terkadang sosok Ling Yue atau Ling Er. Tapi hari ini, sosok yang terbentuk berbeda. Itu adalah sosok seorang pemuda yang bersemangat, dengan senyum menantang di wajahnya dan pedang terhunus di tangannya. Sosok yang tidak Ling Yue kenal.
Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, bukan lagi dengan rasa bersalah atas niatnya yang segelap dulu, tetapi dengan rasa syukur yang meluap yang melunakkan setiap sudut hatinya. “Kepada Tuan Wang Yue, Tuan Ling Yue, Nona Ling Er, dan Tuan A-Chen,” bisiknya, suaranya dipenuhi emosi yang tulus. “Terima kasih telah menciptakan tempat seindah ini. Terima kasih telah menunjukkan jalan bahwa kekuatan tidak harus berarti kehancuran. Dan terima kasih…” ia berhenti, melirik ke samping pada Xiao Li yang menatapnya dengan penuh cinta dan bangga. “...terima kasih telah meninggalkan dia untukku. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk memperbaiki lukaku dan menjadi layak untuknya, untuk menjadi bagian dari tempat ini.” Xiao Li membantunya berdiri. Mereka berdiri di depan batu memorial para pendiri dan pewaris lembah dengan hormat. “Mereka pasti bangga padamu, Lin Fen
Tahun-tahun mulai berlalu menjadi dekade yang tenang. Di Lembah Awan Berkabut, waktu tidak lagi diukur dengan musim, melainkan dengan generasi-generasi murid yang datang dan pergi, masing-masing dari mereka membawa pulang benih filosofi yang mereka tanam di hati mereka. Di bawah kepemimpinan bersama dari Grandmaster Xiao Li dan Grandmaster Lin Feng, akademi itu telah menjadi mercusuar harapan yang cahayanya semakin bersinar dan tak pernah redup, bersinar di tengah dunia kultivasi yang sering kali gelap. Dunia kultivasi mengenal mereka sebagai dua sisi dari koin yang sama, sepasang Pemimpin yang setara dengan legenda Grandmaster Wang Yue dan Grandmaster Ling Yue. Grandmaster Xiao Li, dengan kebijaksanaannya yang tenang dan hatinya yang penuh dengan welas asih, adalah Jiwa dari lembah itu sendiri. Ia mengajarkan para murid-muridnya cara untuk berdamai dengan bayangan mereka sendiri, mengubah luka mereka menjadi empati, dan
Saat mereka sarapan, Xiao Li dengan santai mengambil sepotong kue talas kukus dari piringnya dan meletakkannya di piring Lin Feng. “Cobalah. Ini kue kesukaanku.” Lin Feng menatap kue itu, lalu pada Xiao Li yang makan dengan tenang di depannya seolah tidak terjadi apa-apa. Di masa lalunya, berbagi makanan adalah tanda kelemahan, menunjukkan kamu tidak bisa mendapatkan makananmu sendiri. Di sini… itu hanyalah sebuah isyarat sederhana dari kepedulian. Dengan ragu, ia memakan kue itu. Rasanya manis dan hangat, seperti sarapan yang harusnya ia nikmati saat masih kecil bersama keluarganya, sebelum tragedi. Hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa. Namun, ada dinamika baru. Lin Feng menjadi pengawasi sekelompok murid yang berlatih kuda-kuda dasar. dan insting lamanya sebagai pemimpin sekte yang kejam masih kuat saat mengajar murid di lembah. “Lebih rendah!” bentaknya pada seorang murid
Lin Feng terbangun secara tiba-tiba. Bukan karena mimpi buruk atau panggilan alam, melainkan karena sensasi yang sama sekali asing, tubuh yang terasa nyeri, kehangatan yang stabil di sisinya dan keheningan total di dalam benaknya. Untuk sesaat yang panik, ia tidak tahu di mana ia berada. Instingnya yang telah ditempa selama bertahun-tahun di dunia yang kejam berteriak waspada. Insting untuk menyerang muncul dalam sekejap di benaknnya. Lalu, ingatannya kembali dalam satu gelombang yang hangat, Puncak bukit. Pengakuan yang membebaskan. Malam di mana sentuhan dan ciuman yang membuatnya tersentak. Saat matanya benar-benar terbuka, yang menyambutnya adalah wajah tampan Xiao Li yang d perbesar di depannya. Cahaya fajar yang lembut menyelinap masuk melalui jendela, menerangi ruangan dengan warna keemasan. Ia masih berada dalam pelukan Xiao Li yang hangat. Pria itu masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lebih mud
“Aku mengerti,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan angin Lembah. “Aku mengerti ketakutan bahwa kebahagiaan ini hanya akan diambil darimu lagi. Instingmu adalah untuk membangun tembok. Tapi tembok itu tidak akan bisa melindungimu dari dirimu sendiri.” Ia menepuk lantai di sampingnya. “Kita tidak akan melakukan apa pun sekarang. Duduklah di sini bersamaku. Hanya itu. Anggap saja ini pelajaran lain. Pelajaran tentang keheningan yang aman. Tidak ada tuntutan, tidak ada bahaya. Hanya dua orang yang berbagi ruang.” Tindakan Xiao Li yang tak terduga itu memudarkan seluruh pertahanan Lin Feng. Ia mengharapkan paksaan, atau mungkin kekecewaan dari Xiao Li. Ia tidak mengharapkan kesabaran yang begitu total. Pria ini, yang baru saja ia akui cintanya, kini duduk di lantai yang dingin, menunggunya, tanpa tuntutan. Dengan ragu, Lin Feng mendekat dan duduk di samping Xiao Li. Ia duduk, tetapi menjaga jarak bebera







