All Chapters of Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!: Chapter 31 - Chapter 40

“Ck! Ke mana dia? Tumben sekali tidak menerima panggilanku? Apa dia marah? Aku sudah menjelaskan.”Brian bergumam lirih sembari berdiri tepat di depan pintu unit apartemen Jane.Lampu lorong apartemen hanya setengah menyala, memberikan bayangan panjang yang mengikuti gerakannya setiap kali ia berubah posisi gelisah.Dia memandang layar ponselnya, puluhan panggilan yang tidak dijawab oleh Jane.Dia sudah mencoba berkali-kali, dengan jeda pendek, panjang, dan bahkan menunggu beberapa menit di antara panggilan. Namun tetap saja tak ada balasan.Suara bel pintu kembali berdenting, untuk entah yang keberapa kali, namun pintu tetap tertutup rapat. Tidak ada langkah kaki. Tidak ada suara dari dalam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.Brian mengembuskan napas panjang, rahang bawahnya mengeras. Jane tidak pulang. Bukan hanya tidak menjawab, dia tidak ada di rumah.“Sudah pukul satu pagi,” gumamnya cemas sambil menatap jam di ponselnya. “Ke mana kau, Jane? Kenapa belum pulang juga hingga sekarang

Jane menoleh ke belakang di mana Brian masih berada di sana, di depan unit apartemennya.“Password-nya 121201. Aku tidak akan memberitahumu dua kali. Jadi, ingat baik-baik,” ucapnya sembari menekan tombol di pintu tersebut.Pintu unit terbuka dan dia masuk ke dalam, diikuti Brian di belakang. Jane menaikan alisnya melihat Brian yang ikut masuk ke dalam.“Kenapa? Aku mau mandi, ganti baju, dan berangkat kerja. Untuk sesi latihan hari ini pukul tujuh malam, kan?” ucap Jane kemudian.Brian mengangguk. “Ya, aku tahu. Aku ingin masuk saja ke apartemenmu. Dan ingin bertanya.”“Tanya apa?” ucap Jane sembari menaruh tasnya di atas sofa ruang tengah.“Apakah Andrew juga tahu sandi pintu apartemenmu itu?” tanyanya dengan tatapan lekat pada wajah Jane.Wanita itu menghela napasnya kemudian menggeleng. “Tidak. Dia bahkan tidak ingin tahu apa pun bahkan hal terpenting sekalipun. Dan aku baru sadar bahwa selama ini aku mencintai patung, bukan manusia.”Brian menyunggingkan senyum tipis menatap waja

Dua jam berlalu, dua jam yang bagi Jane terasa seperti menunggu hasil vonis. Keringat dingin membasahi telapak tangannya meski AC kantor sedang bekerja keras.Setelah memastikan semua berkas laporan telah dia susun rapi dalam map cokelat, Jane berdiri dari kursinya, menarik napas panjang, lalu melangkah menuju ruang kerja John.Setiap langkah yang dipijaknya terasa menambah beban di pundaknya. Kalimat terakhir John tadi terus terngiang di telinganya: “Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Mengenai Brian.”Dan itu cukup untuk membuat lambung Jane terasa mengikat.Ketukan lembut di pintu mendapatkan jawaban singkat.“Masuk.”Jane lalu membuka pintu perlahan. Ruangan itu seperti biasa, luas, minimalis, rapi, dan terlalu sunyi untuk ukuran seorang CEO yang sibuk. John duduk di belakang meja kerjanya, mengetik sesuatu, lalu menutup laptopnya saat melihat Jane masuk.“Duduk.," titahnya dengan nada datar, tegas, dan membuat Jane otomatis menaati perintah itu.Jane lantas duduk de

Brian masih menggenggam tangan Jane ketika akhirnya dia membuka suara lagi.Tatapannya tidak goyah, tetapi di balik ketegasan itu Jane melihat sesuatu yang jarang dia lihat pada pria itu: ketakutan. Ketakutan yang disembunyikan dengan rapat, tetapi kini keluar begitu saja.“Jane, ada sesuatu yang harus kau tahu tentang John.”Jane mengedip perlahan sambil menunggu Brian melanjutkan. Brian menarik napas panjang, seolah mempersiapkan dirinya untuk mengungkap sesuatu yang sudah lama menekan dadanya. “John selalu punya cara untuk mengakuisisi semua kekayaan milik orang tua kami.”Jane membeku. “Semua?” bisiknya.Brian mengangguk dengan pelan. “Semua. Dia punya ambisi yang gila. Tidak ada kata berhenti dalam kepalanya. Tidak ada kata cukup.”Brian menatap ke arah jendela seakan melihat masa lalu. “Sejak muda dia selalu seperti itu. Ayah membangun perusahaan, John mengambil alih perlahan-lahan, potong demi potong.”Jane menggigit bibirnya, matanya melebar. “Tapi dia CEO yang baik. Maksudku

Waktu sudah menunjuk angka sembil pagi dan mereka tiba di salon milik Sheila, dengan bangunan modern dengan dinding kaca besar yang memantulkan cahaya matahari.Interiornya hangat, wangi lavender samar menyambut begitu pintu dibuka.Sheila, dengan rambut ikal sebahu dan senyum ramah, langsung menghampiri. Matanya langsung melebar saat melihat Jane.“Oh, jadi ini dia,” ujarnya sambil menatap Jane dari ujung kepala sampai ujung kaki, namun tatapannya bukan menghakimi, melainkan penuh kekaguman. “Akhirnya aku bisa bertemu denganmu.”Jane sempat bingung mendengar ucapan Sheila barusan. “Kau … sudah tahu?”Belum sempat dia selesai bertanya, Brian sudah berdiri di sampingnya, meletakkan tangan di punggung Jane dengan natural, seolah itu posisi yang memang milik mereka sejak lama.“Sheila,” ujar Brian, “ini Jane. Kekasihku.”Jane sontak membeku. Kata itu—kekasihku, jatuh begitu saja dari mulut Brian. Tanpa ragu dan tanpa jeda.Sheila mengangguk pelan, lalu tersenyum lebar. “Aku sudah tahu. D