Untuk sesaat, waktu seakan berhenti.Lalu, sebuah hantaman rasa sakit menyambar kepalaku.Keningku menghantam sudut tajam batu itu, dan dalam sekejap aku mendengar suara retak yang mengerikan.Aku tidak tahu apakah yang retak itu tengkorakku atau hatiku.Cairan hangat mengalir dari pelipisku, menuruni pipi, dan menetes ke marmer dingin, membentuk noda merah kecil yang perlahan melebar.Aroma logam dari darah memenuhi hidungku.Kekuatan tubuhku seakan terkuras. Aku menekan luka itu dengan telapak tangan, tapi darah terus merembes menembus sela-sela jariku, dan mengotori kemeja putihku.Adriel menatap tubuhku yang berlumuran darah, tampak terpaku dan tak bersuara.Saat itu, pintu kamar utama ditendang terbuka. Mendengar kekacauan itu, Alexander muncul dengan pakaiannya yang berantakan.Kemejanya masih terbuka, memperlihatkan bekas-bekas merah samar di lehernya.Isabel menyusul di belakangnya, hanya mengenakan jubah sutra besar yang jelas bukan miliknya dengan tampak rapuh dan takut.Bibi
Read more