Share

Bab 2

Author: Shirley
Lebih dari satu dekade lalu, Keluarga Wijaya kami terjebak dalam perang wilayah yang mematikan.

Ibuku meninggal saat melindungiku, menahan tubuhku dengan tubuhnya dari peluru yang ditembakkan keluarga saingan. Peluru kaliber .45 itu menembus tepat di jantungnya.

Aku kehilangan ibuku pada hari itu.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku berusia lima belas tahun, ayahku berutang pada Keluarga Valendra karena transaksi narkoba yang gagal, sebuah utang yang tak mungkin dilunasinya.

Bos Andre menawarkan kontrak pada kakakku dan aku, kontrak untuk menebus dosa keluarga kami dengan masa muda kami. Satu-satunya cara agar kami tidak dibuang ke Sungai Mandira.

Maka, kami dikirim ke sini, dan menjadi alat tawar-menawar keluarga.

Alexander pasti sadar dia sudah kelewatan. Dia mendorong Adriel keluar ruangan dan mengunci pintu dari luar.

Dia lalu berjalan kembali ke arahku, menarikku dengan kasar, dan melemparkanku ke ranjang. Dengan ibu jarinya, dia mengusap air mataku dengan kasar.

"Aku kira kamu tahu aturannya," katanya dingin sambil melepaskan dasinya. "Kamu tidak boleh kehilangan kendali di depan calon bos. Kamu berutang permintaan maaf pada Adriel."

Dia menekanku ke tempat tidur, tubuhnya menekan, dan mulai membuka kancing bajuku.

Lalu dia mengeluarkan cek dari saku dalam jasnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.

"Hari ini ulang tahunmu dan ini pembayaranmu. Anggap saja kompensasi untuk... performamu selama ini."

Suaranya penuh penghinaan. Dia meraih daguku, dan memaksaku menatap cek itu, sementara tangan satunya mulai meraba.

Aku mendorongnya dan segera bangkit dari ranjang.

"Alexander," kataku dengan suara yang tenang. "Kontrak hampir selesai. Aku akan pergi sebentar lagi."

"Kamu pikir bisa mengancamku?"

"Adriel kehilangan ibunya, kamu malah menyimpan dendam pada seorang anak?" Amarah terlihat jelas di wajah Alexander.

"Dia masih anak-anak, dan kamu seorang wanita dewasa. Kenapa tidak bisa menjadi ibu yang sesungguhnya dan menunjukkan sedikit empati? Dia akan belajar aturannya saat dia dewasa nanti."

"Aku ada urusan. Berhenti menggangguku dengan drama kecil ini. Aku tak punya waktu untuk memanjakanmu."

Aku ingin memberitahunya bahwa aku tak pernah butuh dia untuk menyelesaikan masalahku.

Yang kuminta hanyalah rasa hormat yang seharusnya menjadi hakku. Aku tak pernah berani berharap lebih dari itu.

Tapi bagi Alexander, setiap kata yang keluar dari mulutku seperti tantangan terhadap otoritasnya. Tatapannya berubah menjadi dingin dan berbahaya membuat semua kehangatan lenyap.

"Aku ada urusan keluarga yang penting," geramnya sambil melangkah menuju pintu dan menutupnya dengan keras. "Malam ini, kamu tidak boleh meninggalkan kamar ini."

Dengan bunyi klik, pintu terkunci dari luar.

Aku terkunci di kamarku sendiri, dan diperlakukan lebih buruk dari seorang tahanan.

Aku sudah tak bisa menghitung berapa kali dia mempermalukanku seperti ini. Aku hanyalah pelampiasan frustrasinya, dan aku tidak berarti apa-apa baginya kecuali saat dia butuh sesuatu.

Tetesan hujan mengenai kaca jendela. Aku duduk di lantai, dan menghabiskan sepanjang malam mencoba menyatukan kembali pena antik itu.

Tentu saja itu mustahil. Logam yang patah tidak bisa benar-benar diperbaiki. Tapi aku tetap mencoba berulang kali dengan lem murahan dan sisa-sisa keinginanku untuk mempertahankan sesuatu.

Setiap serpihan kecil melukai ujung jariku seperti pisau.

Darah menetes ke naskah, dan bercampur dengan tinta menjadi noda merah gelap.

Aku menempelkan serpihan-serpihan itu satu per satu, seolah bisa menambal hatiku yang remuk bersamaan dengannya.

Saat sinar matahari pertama menembus tirai, terdengar suara langkah kaki dari luar.

Kunci pintu berputar. Seorang pria mengenakan jas hitam berdiri di ambang pintu dan menatapku dengan dingin.

"Bos Andre ingin bertemu denganmu," katanya datar. "Segera."

Aku mengenakan mantel dan mengikutinya. Ini adalah aturan keluarga. Ketika Bos Andre memanggil, kamu harus menuruti.

Aroma asap cerutu masih terasa saat aku masuk ke ruang kerja pribadi Bos Andre. Dia duduk di balik meja besar, dan jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan perlahan.

Saat dia melihatku, ada seberkas kekecewaan melintas di matanya.

"Aku tahu apa yang terjadi tadi malam. Adriel mewarisi darah Keluarga Valendra yang penuh kebanggaan dan keras kepala. Tapi kamu sudah menjadi ibu baginya selama lima tahun, Valentina. Ikatan antara kalian lebih dari sekadar kontrak. Dia ingat kebaikanmu. Beri dia waktu, dia akan memahami arti keluarga."

Lalu dia dengan matanya yang telah menyaksikan puluhan tahun pertumpahan darah menatapku. "Apakah kamu benar-benar siap membatalkan sumpah darah Keluarga Wijaya dan semua pengorbanan ini?"

Kata-katanya menghantam dadaku seperti pukulan.

Tapi jika sebuah keluarga tak lagi memiliki cinta atau hormat, apakah masih bisa disebut keluarga?

Pikiranku tak bisa lepas dari kakakku yang sudah tiada.

Aku tahu Karina dan Alexander dianggap pasangan sempurna sejak kecil.

Mereka sama-sama cerdas dan dingin, sama-sama haus kekuasaan. Sejak muda, mereka berjuang berdampingan di dunia mafia yang brutal ini, dan membentuk ikatan yang dalam.

Kakakku selalu menjadi putri keluarga mafia yang mempesona dan cerdas, sementara aku selalu berada di bayangannya. Hanya sedikit orang yang ingat bahwa Keluarga Wijaya punya putri bungsu.

Jadi, perasaanku pada Alexander harus kusimpan dalam-dalam.

Meskipun ayah kami tidak pernah ingin kami kembali ke dunia mafia yang berlumuran darah itu, tapi takdir berkata lain. Begitu Keluarga Wijaya jatuh, kakakku dan aku menjadi alat tawar-menawar.

Lima tahun lalu, Karina meninggal karena penyakit turunan. Dia memilih menderita sendiri, menolak menunjukkan kelemahannya, dan membuatku bersumpah untuk menjaga rahasianya.

Setelah itu, Alexander berubah. Seolah separuh jiwanya hilang. Dia membawa pulang wanita demi wanita yang mirip Karina, tenggelam dalam malam-malam penuh kemabukan dan kehancuran.

Dia bahkan tak sanggup menatap putranya sendiri, karena setiap ekspresi Adriel menjadi pengingat akan kehilangan yang dialaminya.

Bos Andre sangat khawatir. Dia tidak bisa membiarkan pewaris keluarga tumbuh menjadi seorang yang berdarah dingin tanpa kasih ibu.

Tapi dia juga tak bisa menyerahkan tanggung jawab sebesar itu pada sembarang orang.

Dia takut orang luar dengan motif tersembunyi akan memanfaatkan anak itu untuk kekuasaan keluarga, jadi dia berpaling padaku.

Menikahlah dengan Alexander, jadilah ibu bagi Adriel, dan pastikan masa depan keluarga aman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak dan Kebebasan   Bab 12

    Sudut Pandang Alexander.Bip... bip... bip...Nada sambung itu menusuk telingaku.Aku berdiri terpaku di koridor luas dan kosong di dalam rumah Keluarga Valendra dengan tangan masih menggenggam ponsel.Layar itu meredup, dan memantulkan wajahku yang berantakan. Janggut tidak terurus, mata cekung... aku benar-benar terlihat seperti pecandu yang tersesat di jalanan.Dari ujung telepon tadi, aku tidak hanya mendengar penolakan dingin Valentina.Aku juga mendengar tawa Julian Pradana, tawa yang penuh penghinaan untuk pecundang sepertiku."Bajingan!!"Aku melempar ponsel itu ke dinding sekuat tenaga.Ponsel itu hancur berkeping-keping.Aku memegang kepalaku dan jatuh berlutut di lantai yang dingin. Alkohol membakar perutku, tapi tidak menghangatkan tubuhku yang gemetar.Sudah berakhir. Semuanya sudah berakhir.Waktu aku sampai di toko buku, aku melihat Julian menahan pintu untuknya.Sinar matahari menyinari wajah Valentina saat dia menggenggam lengan pria itu, senyumnya begitu cerah, dan le

  • Kontrak dan Kebebasan   Bab 11

    Di toko buku terbesar di Alveron, sebuah poster raksasa dari bukuku yang baru terpajang di tengah ruangan."Selamat ya, Nona Valentina, cetakan pertama seratus ribu salinan sudah habis terjual," kata manajer toko itu dengan wajah berseri-seri. "Ini jelas fenomena sastra terhebat tahun ini."Aku menandatangani nama terakhir, meletakkan pena, dan menggosok pergelangan tanganku yang agak pegal.Lima tahun lalu, aku tidak pernah membayangkan bisa punya momen semegah ini, apalagi sebagai penulis buku terlaris Valentina Wijaya.Harus kuakui, rasanya memegang penuh kendali atas nasibku sendiri itu begitu menggairahkan.Aku hampir berdiri untuk pulang, ketika sosok kecil tersandung masuk dan memanggilku pelan, "Valentina..."Aku menoleh, dan gerakanku terhenti.Adriel hampir tujuh tahun sekarang, dan lebih tinggi. Setelan kecilnya rapi, dia memegang erat bukuku yang baru terbit.Namun, dia tidak terlihat baik.Pangeran kecil yang dulu arogan kini tampak rapuh, dengan lingkaran gelap di bawah m

  • Kontrak dan Kebebasan   Bab 10

    Adriel berpegangan erat pada tangan ayahnya, wajah kecilnya basah oleh air mata, matanya membengkak seperti dua buah persik kecil.Tapi bocah itu memakai satu kaus kaki merah dan satu biru, rambutnya berantakan seolah sudah berhari-hari tidak dicuci.Begitu melihatku, dia langsung melepaskan tangan Alexander dan berlari ke arahku dengan tersandung-sandung."Valentina!"Adriel memeluk kakiku, menempel seperti anak yang tersakiti dan sangat merindukan ibunya."Valentina... aku lapar." Dia menatapku, wajahnya penuh ingus dan air mata. "Roti isi buatan Isabel rasanya tidak enak, dan ayah membuat susu tumpah... aku ingin makan masakanmu.""Rumahnya berantakan sekali, dan tidak ada yang membacakan cerita... Bisakah kamu pulang?"Permintaannya penuh ketergantungan dan penyesalan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku terguncang.Dulu, dia hanya akan berlari ke arahku untuk menendangku dan memanggilku perempuan jahat.Tapi sekarang, melihatnya, meski hatiku bergetar sedikit, yang kurasakan

  • Kontrak dan Kebebasan   Bab 9

    Kakinya lemas, dan dia jatuh terduduk di atas karpet tebal.Lima tahun terakhir melintas di matanya seperti film yang berputar terlalu cepat.Punggung Valentina saat sibuk di dapur, dan pemandangan ini selalu dia remehkan. Lengkung lembut pipinya saat dia menyetrika setelan Alexander larut malam.Matanya memerah saat menahan tangis ketika Adriel melempar mainan ke arahnya.Dan malam itu, darah di dahinya dan ketenangan terakhir di matanya ketika dia berkata, "Kita impas."Lima tahun dia membenci Valentina. Menghinanya demi membalas dendam atas Karina.Padahal kenyataannya, dia telah menyiksa satu-satunya orang yang benar-benar mencintainya. Wanita yang menopangnya di saat gelap."Kau telah menghancurkan satu-satunya wanita yang benar-benar mencintai keluarga ini," kata Bos Andre akhirnya, mengucapkan kenyataan pahit itu. "Dan sekarang, dia tidak akan pernah memaafkan kita."Alexander bangkit tergesa-gesa, dan melesat keluar gerbang kediaman seperti orang gila.Dia bahkan tidak mendenga

  • Kontrak dan Kebebasan   Bab 8

    "Minggir! Dia istriku!"Alexander mengaum dan menerjang ke arah mobilku, tapi dua pengawal berjas hitam langsung menghalangi.Salah satu dengan mudah memutar lengan Alexander, dan menekannya ke kap Rolls Royce.Yang lain mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna hitam dan menekannya ke punggung bawah Alexander."Tuan, harap tenang." Suara penjaga itu sopan namun dingin.Wajah Alexander tertekan pada permukaan dingin mobil itu, pipinya tertekuk karena tekanan.Para tamu di sekitar mulai berbisik, dan kilatan kamera ponsel mereka menyala seperti strobo.Meskipun wartawan dijauhkan, foto wakil bos Keluarga Valendra yang ditahan seperti preman pasti akan jadi berita utama keesokan harinya.Wajah Alexander kini merah padam karena marah.Rasa malu yang dia tanggung di depan umum membuatnya tampak seperti binatang buas yang kehilangan kendali."Valentina!" Dia berteriak, memutar kepalanya untuk menatapku, mata merahnya membara. "Kamu pikir bisa kabur? Darah Keluarga Wijaya itu mengikatmu pada

  • Kontrak dan Kebebasan   Bab 7

    Aku menerima tawaran itu tanpa ragu. Kesempatan untuk menulis lagi adalah satu-satunya yang kuinginkan.Sejak hari itu, hidup baruku dimulai.Aku mulai menulis setiap pagi pukul lima. Jemariku bergerak cepat di atas papan ketik, kata-kata keluar dari tempat yang kupikir sudah lama tertutup.Lima tahun di Keluarga Valendra memberiku pemahaman mendalam tentang dunia mafia.Aku tahu aturan mereka, aku tahu bagaimana kekuasaan merusak jiwa, dan bagaimana uang bisa membeli segalanya.Om Indra mengajarkanku bagaimana mengubah kebenaran gelap itu menjadi cerita yang memikat."Menulis bukan sekadar mencatat," katanya. "Menulis itu mengangkat kebenaran menjadi seni."Tiga bulan kemudian, draf pertama selesai.Om Indra mengirim naskah itu kepada seorang teman lamanya di dunia penerbitan.Dalam seminggu ada lima penerbit berebut untuk mendapatkannya.Minggu ketika buku itu rilis langsung menduduki peringkat satu daftar penjualan teratas Harian Metropolitan.Pakaian sederhanaku diganti dengan sete

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status