“Inilah alasannya kenapa aku tidak ingin mencintai. Kamu hanya memanfaatkan ku, dan aku tau itu.” “Tapi anehnya aku tidak bisa membencimu, dan aku masih tetap mengharapkan cintamu.” “Aish, betapa bodohnya aku!” Untaian kata yang selalu berkeliaran dalam pikirannya. Masa putih abu yang menyenangkan telah berubah menjadi kenangan tersuram. Dia tahu penyesalan akan selalu datang meski tak pernah diharapkan. Entah itu soal ingatan ataupun sikap yang diselimuti oleh kenangan. Meski begitu, takdir tetap menuntunnya untuk berlari ke arah pujaan hatinya itu. Memaksa kedua rasa yang bertolak belakang untuk selalu bersama. Hingga pada akhirnya membuat hubungan mereka semakin merenggang.
View MoreAda rasa yang tak bisa diutarakan, ada benci yang tak bisa diungkapkan.
“Ayolah, kamu terlihat seperti wanita bodoh yang terobsesi dengan seorang pria,” celetuk salah seorang gadis yang tengah duduk melingkar. “Bukan terobsesi tapi mencintai!” jawab Nadya menyangkal. “Berjuang sendiri itu bukan cinta namanya!” balas Siska lagi, gadis yang sedari tadi duduk di samping kirinya. Mendengar hal itu entah kenapa membuat perasaan Nadya berdenyut nyeri menerima fakta yang terjadi. Kata sederhana yang mampu mengukir sebuah luka. Dia tau betul bahwa temannya itu tidak berniat untuk menyakiti perasaannya. Namun yah, hati kecilnya tidak akan pernah bisa mengelak. “Mengapa kisah cintaku harus berakhir seperti ini?” batinnya tersenyum miris. “Dan kenapa juga aku harus mencintainya saat itu?” Nadya tertawa hambar menikmati segala bentuk penyesalan. Pikirannya pun kembali berputar pada kisah yang amat sangat kentara jelas dalam ingatannya. Kisah dimana dia mulai berharap akan cinta dari seorang pria pujaannya. Hari pertama pembelajaran baru pun seolah menjadi saksi bisu kekagumannya. Teeeng... Bel berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah. Nadya berlari cepat melewati berbagai ruangan yang tampak sudah cukup ramai. Karena terlambat ia pun harus bersedia menduduki kursi yang masih tersisa. “Untung belom mulai,” gumam Nadya pelan sembari mengontrol deru napasnya. Tiba-tiba seorang guru berkacamata tebal datang sambil membawa setumpuk buku dan duduk di kursi tunggal samping kanan papan tulis tak bernoda. “Haaa kenapa harus fisika diawal pelajaran sih.” Nadya meremas pelan rambutnya sembari merutuki nasib malangnya. “Aku benar benar tidak ahli dalam hal ini.” Tangan Nadya bergerak menghempas buku-buku yang sudah beberapa saat lalu mendekap d dalami tas ranselnya. “Aku bahkan tidak mengerti kenapa sekolahku ini langsung menjalankan pembelajaran dihari pertama.” Tatapan tajam Marisa yang sedari tadi memperhatikan anak didiknya itu kini memandang sosok Nadya dengan kedua mata elangnya. “Kamu!” tunjuknya menggunakan spidol yang baru saja keluar dari tempat tinggalnya. “Ah maaf Bu,” ucap Nadya cepat sembari menundukkan kepalanya sopan. Tanpa terasa waktu berjalan dengan amat sangat cepat. “Akhirnya selesai juga!” Nadya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dengan senyuman merekah di wajahnya. “Senangnya sudah berakhir,” lontarnya lagi dengan tangan yang terus saja bergerak membereskan buku-bukunya asal. Ia berniat pergi meninggalkan rungan yang penuh dengan rumus itu secepat mungkin. Nadya berjalan dengan bahagia sambil memikirkan apa yang ingin dimakannya hari ini. Tak lama sebuah suara terdengar nyaring memanggil nama indahnya. “Nadya!” Kaki yang sedari tadi melangkah itu pun seketika terhenti dan berbalik. Lengkungan indah kembali terbit dengan hangatnya. Ia berdiam diri menunggu kedatangan seorang gadis berambut hitam legam yang sedari tadi memanggil namanya. “Lelet ih,” gerutu Nadya menarik pelan lengan kanan Frida, sahabatnya. Dia dan Frida memang mulai berteman sejak pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini. Meski keduanya selalu mendapatkan kelas yang berbeda tetapi tak menjadi penghalang untuk hubungannya yang malah semakin akrab. Sekarang Nadya sudah menginjakkan kakinya di kelas dua SMA. Tak usah ditanya, dirinya sendiri pun bahkan tidak menyangka sudah sebesar ini. Setelah berjalan melewati beberapa ruangan, akhirnya kedua insan tersebut sampai ke tempat tujuan. Mereka bergegas duduk di kursi yang tidak memiliki penghuni. “Mau pesen apa?” tawar Frida setelah mendaratkan bokongnya. “Nasi goreng sama teh dingin aja,” jawab Nadya setelah menentukan pilihannya. Dalam sekejap Frida pun menghilang, memesan makanan yang akan menjadi menu keduanya. “Dia lama sekali.” Nadya bergumam pelan setelah menunggu beberapa saat. Ya, tentu saja, sekolah ini merupakan salah satu dari beberapa sekolah ternama dan pastinya banyak siswa yang bersekolah di sini. Mungkin itulah yang menjadi alasan utama mengapa di kantin mereka harus sabar mengantri. Setelah lama menunggu, akhirnya Frida datang membawa nampan berisi makanan yang mereka pesan. Dari aromanya saja sudah membuat Nadya mabuk kepayang. Tanpa diperintah sekalipun, kini tangannya sudah bergerak menyendokkan nasi coklat itu kedalam mulutnya dengan lahap. “Kamu belum makan?” tanya Frida setelah berhasil menelan makanan yang baru saja dikunyahnya. “Hm... ” Gumaman kecil keluar dari mulutnya sebagai jawaban. Tak ingin berbicara karena perutnya sudah sangat kelaparan. “Pantes, lihat tuh piringmu tak ada sedikitpun noda.” “Mubajir kalo disisain,” jawab Nadya santai menanggapi ledekan sahabatnya yang masih sibuk mengunyah itu. “Bagaimana kelasmu? Menyenangkan?” Mulut Nadya kembali terbuka setelah pergi menjauh dari riuhnya suasana kantin. “Ya gitu deh.” Frida berucap acuh tanpa ekspresi. Namun tak lama ia kembali bersuara dengan nada ketusnya. “Kamu tau gak sih, aku sekelas lagi sama si biangkerok itu.” “Mira maksudnya?” Nadya mengangkat satu alisnya bingung. “Iya, emangnya siapa lagi kalo bukan dia, aish benar-benar menyebalkan!" rutuk Frida lagi sembari menendang udara di sekitarnya. “Yaudahlah, toh kisahnya aja udah berlalu.” “Gak bisa! Dia itu udah rebut pacar aku” “Pokoknya aku mau bales dia!” ungkap Frida dengan sungguh-sungguh. “Terserah kamu deh, yang penting aku udah ngasih tau ya.” Malas rasanya bagi Nadya untuk memperpanjang permasalahan yang mungkin saja kembali meledak. “Kamu gak akan bela Mira kan?” Mata tajam Frida pun melirik gadis yang masih setia melangkahkan kakinya. “Ya enggalah!” “Lagian aku juga gak mau masuk dilingkarkan itu lagi kali!” Entah kenapa Nadya merasa kesal sendiri mengingat hal yang baru saja ia maksudkan.Entahlah, semacam diberi rasa lalu dibuang begitu saja. "Ayo!" Cekalan tangannya semakin mengerat. Langkahnya pun dipercepat menggiring Nadya yang hanya mengikuti tanpa berucap. "Tunggu disini, biar gue yang pesen." Belum juga ia terduduk, sosok jangkung itu sudah hilang dari penglihatan. Kini hanya Nadya yang tersisa dengan tatapan bingungnya. "Dasar, gak bisa dipercaya!" Sinis Frida menyambut kedatangan tamu menyebalkannya. "Urus aja pacar lo sana!" Raga berucap dengan delikan tajam. Setelahnya ia kembali bergerak cepat untuk menemui gadis yang mungkin saja masih menunggu kedatangannya. Namun sebelum hal itu terjadi, Frida mengejar Raga dan memeluk tubuhnya dari belakang. "Jangan pergi," cicitnya pelan. Frida semakin mengencangkan pelukannya. Raga tak menolak, ia hanya ter
Kamu, sosok yang akhir-akhir ini menjadi canduku. Berbeda dari biasanya, dihari sabtu pagi ini sosok Nadya sudah tampil rapi dengan pakaian simpelnya. Satu semprot parfum menempel di pergelangan tangan kirinya. Dengan cepat ia melangkah pergi setelah mengembalikan alat riasnya itu ke tempat semula. “Bentar lagi,” gumam Nadya dengan mata yang terus melirik jam di pergelangan tangannya. Detik demi detik terlewati, ia tetap melangkah cepat meninggalkan lingkungan rumahnya yang kini terlihat semakin mengecil. “Huuu lama banget, sih.” Suara Yunia memenuhi pendengaran. Nadya tak mengubris, ia hanya menyeka keringatnya kemudian terduduk lelah disamping sahabatnya yang terus berucap tanpa henti.
Buatlah dia tertawa dan pada akhirnya dia akan jatuh cinta. Kali ini, setelah jam pelajaran berakhir Nadya tak langsung pergi meninggalkan lingkungan sekolah seperti biasanya. Dengan seragam coklatnya ia melangkah menuju ruang kelas yang selama ini ia rindukan. “Hey Nad!” Sapa seorang gadis berkacamata lembut ketika ia baru saja mendorong pintu untuk masuk. “Sini-sini!” Seru gadis lainnya mempersilakan Nadya untuk duduk disampingnya. “Udah lama deh kayanya gak kumpul gini, kangen tau!” Syafira berucap heboh sambil memeluk Nadya erat. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian siswa sekitar. “Eh kalian udah pada hafal belum sih puisin
Mau dibenci atau disukai, yang penting jadi diri sendiri. “Nad, buruan cek mg kamu!” Teriak Yunia kencang ketika Nadya baru saja menekan tombol hijau pada layar ponselnya. “Emang ada apa?” Nadya balik bertanya setelah mengusap beberapa kali telinga kirinya. “Kak Raga ngomen postingan kamu, buruan cek pokoknya ya.” Tuuut...tuuut... Belum sempat Nadya merespon ucapan dari temannya itu, sambungan telepon sudah terputus sebelah pihak. “Maksudnya apa sih?” Gumam Nadya terheran-heran. Ia menatap kosong benda digenggamnya itu. Tak lama tangannya kembali bergerak menjelajahi berbagai notifikasi.
Terkadang ada sejumlah rasa yang tak bisa diutarakan begitu saja. “Rajin bat mbak, udah bel dari tadi juga masih aja nulis.” Ema melangkahkan kakinya dengan bibir yang terus berucap. Kedua gadis disamping kanan kirinya hanya melangkah dengan bibir terkatup. “Berisik!” Balas Yunia mendelik tajam. Tangannya masih sibuk bercengkerama dengan pulpen hitamnya itu. “Eh Nad, kamu pulang naik bus?” “Iya,” Nadya menjawab singkat dengan suara yang sedikit pelan. “Hari ini bareng aku ajalah, lumayan hemat cuan.” Risa kembali bersuara dengan tangan yang mulai menarik kursi kayu untuk didudukinya. “Lah kamu mau kemana?” Heran Yunia menatap gadis
Dia itu seperti bawang, yang semakin dikupas semakin menunjukkan sisi baru. “Eh kak Raga?” Nadya terkejut sesaat menatap sosok Raga yang berdiri didepan pintu kelasnya. “Ada apa ya?” Ujarnya lagi karena tak ada respon apapun dari lawan bicaranya itu. “Gak pa-pa, cuma lewat,” jawab Raga acuh setelah sekian lama membisu. Meski begitu, lelaki tampan itu tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. “Yaudah kalo gitu aku duluan ya.” “Eh bentar,” tiba-tiba Raga mencekal pergelangan tangan Nadya pelan. “Lo temen deketnya Frida?” “Em yah,” Nadya menjawab ragu dengan pipi yang mulai memanas. Bagaimana tidak, posisi keduanya kali ini sungguh membuatnya meleleh seketika. Sosok Raga yang tinggi itu menunduk seolah ingin menyamakan tinggi badannya dengan Nadya. Matanya menatap lekat dengan tangan yang masih bert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments