Shanon menanyakan keberadaan orang yang memintanya mendatangi restoran kepada resepsionis. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, seolah ditelan bumi, akhirnya laki-laki yang digosipkan akan menikahi putri tunggal dari general manager di tempatnya bekerja mengiriminya sebuah pesan singkat. Laki-laki tersebut tanpa basa-basi mengajaknya bertemu di restoran yang dulunya menjadi langganan mereka. Tanpa banyak bertimbangan, ia pun langsung menyanggupi ajakan tersebut. Ia ingin mendapat penjelasan langsung dari orang yang sedang menjadi buah bibir di tempat kerjanya.
Mimik wajah Shanon datar saat melihat punggung laki-laki yang tengah dicarinya. Laki-laki tersebut sedang duduk memunggunginya sambil berbicara di telepon. Tanpa memutus tatapannya, ia bergegas mendekati keberadaan laki-laki tersebut.
Setelah berdiri beberapa langkah di belakang laki-laki tersebut, Shanon merasa darahnya mulai mendidih ketika mendengar orang yang memintanya datang tengah bermesraan melalui telepon. Ia sangat ingin memukul sekeras-kerasnya kepala laki-laki yang ternyata benar bermain api di belakangnya. Laki-laki yang tidak pernah terpikirkan akan mengkhianati dan membuat hatinya hancur berkeping-keping. Ia menahan keinginannya tersebut agar tidak membuat keributan di tempat umum, yang ujung-ujungnya akan mempermalukan dirinya sendiri. Ia menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurai sesak yang kian memenuhi rongga dadanya. Ia juga membiarkan laki-laki di depannya tersebut lebih dulu menyelesaikan kegiatannya bermesraan.
“Apa penjelasanmu mengenai kabar pernikahanmu yang tengah ramai dibicarakan oleh teman-teman kantor?” Pertahanan Shanon akhirnya runtuh setelah melihat laki-laki yang mengundangnya, menyudahi aktivitas meneleponnya. Tanpa meminta izin, ia langsung menduduki kursi kosong di hadapan laki-laki yang hingga detik ini masih berstatus sebagai kekasihnya.
Laki-laki yang tadinya ingin mengambil buku menu setelah kesibukannya dengan ponsel berhenti, terkejut saat mendengar pertanyaan tiba-tiba dari wanita di depannya, sebab ia tidak menyadari kedatangan Shanon.
“Sebaiknya kita pesan makanan dulu, tidak baik membahas persoalan dalam keadaan perut kosong. Aku janji akan menjelaskan semuanya kepadamu,” ujar laki-laki tersebut tanpa menjawab pertanyaan Shanon terlebih dulu. “Kamu mau makan apa, Sha? Biar aku pesankan ya,” tanyanya dengan santai. Bahkan, ekspresi wajahnya sedikit pun tidak memerlihatkan rasa bersalah.
“Kedatanganku ke sini bukan semata-mata ingin mengisi perut, jadi langsung saja ke inti pembicaraan,” Shanon menanggapinya dengan nada dingin dan penuh penekanan. Kontrol dirinya sudah sangat menipis melihat reaksi dan tingkah laku laki-laki di hadapannya.
“Baiklah kalau kamu tidak mau makan, tapi biarkan aku memesan makananku dulu. Saat ini perutku benar-benar sangat lapar.” Richard Pratama, laki-laki yang biasa disapa Richo dan sangat dicintai Shanon membalasnya dengan sangat santai. Bahkan, ia tidak terintimidasi atau marah melihat sikap dingin Shanon.
Emosi Shanon benar-benar tersulut melihat sikap dan ekspresi tanpa bersalah Richard saat membalas tanggapannya, padahal laki-laki tersebut sudah tertangkap basah bermain api di belakangnya. Bukan orang lain yang menangkapnya, melainkan oleh dirinya sendiri.
“Bagaimana jika benihmu berkembang di rahimku setelah kita melakukan hubungan itu?” Tanpa bisa dicegah lagi, mulut Shanon langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Richard tersentak. “Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku, Ric?” Shanon kembali menanyakan saat mulut Richard masih bungkam atas pertanyaan yang dilontarkannya.
“Jangan terlalu mendramatisir keadaan, Sha. Kamu tidak akan hamil, apalagi kita bercinta hanya sekali. Lagi pula saat itu aku menggunakan pengaman, jadi mustahil jika kamu sampai hamil,” Richard tetap menanggapi dengan santai, seolah hal tersebut sesuatu yang sangat biasa baginya.
Jawaban yang diberikan Richard membuat Shanon terenyak. Kini dirinya merasa seperti sedang dilempar ke dasar jurang yang paling dalam. Ia tidak menyangka bahwa laki-laki yang sangat dicintainya tersebut menyepelekan begitu saja hubungan intim yang mereka lakukan sebulan lalu.
“Richo, saat aku bersedia menyerahkan keperawananku, kamu berjanji akan segera menikahiku. Entah itu aku dalam keadaan hamil atau tidak. Jadi, sekarang buktikan dan tepati janjimu itu!” hardik Shanon tanpa memedulikan lagi di mana kini dirinya berada.
“Sha, dulu aku berkata seperti itu hanya untuk meyakinkanmu. Kejadian tersebut juga sudah sebulan berlalu, jadi lebih baik kamu tidak usah mengungkit-ungkitnya lagi.” Dengan tidak berperasaannya mulut Richard melontarkan rangkaian kata-kata seperti itu. “Sha, aku harap kamu tidak membesar-besarkan masalah sepele seperti itu. Aku berani memastikan bahwa kamu tidak akan hamil. Jikapun benar yang kamu takutkan terjadi, maka langsung digugurkan saja. Mengenai biaya untuk melakukan tindakan tersebut, kamu tidak perlu memusingkannya. Aku yang akan menanggung semua biayanya,” Richard melanjutkan perkataannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Gemuruh emosi yang menguasai Shanon langsung membuat tangannya berayun memberikan pelajaran mulut kejam Richard. Dada Shanon naik turun setelah ia melampiaskan emosinya. Ia sangat tidak menyangka bahwa laki-laki yang dicintainya ini tega menyuruhnya melakukan tindakan pembunuhan.
“Aku sangat berharap bajingan sepertimu tidak akan pernah layak untuk merasakan hidup bahagia. Bahkan, secuil pun tidak berhak. Disandingkan dengan binatang hina pun, posisimu masih jauh lebih rendah!” Shanon membalas semua perkataan Richard dengan nada penuh penekanan sekaligus emosi. Bahkan, kini kepalanya terasa berapi-api karena amarah, kecewa, dan sakit hati sudah berbaur menjadi satu.
Richard mengusap sudut bibirnya yang masih terasa kebas akibat tamparan kuat Shanon. Bukannya meminta maaf atas perkataan kejinya, tapi ia malah menyeringai dan menatap Shanon merendahkan. “Inilah dampaknya jika menjadi wanita terlalu polos dan selalu menggunakan perasaan. Hanya kamu satu-satunya wanita di dalam dunia percintaanku yang terlalu mendramatisir mengenai keperawanannya saat kuambil. Seharusnya kamu mengucapkan terima kasih karena berkesempatan mereguk kenikmatan bersamaku, dibandingkan wanita lain yang hanya bisa menanti kapan waktunya aku menjamah tubuh mereka. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang dengan sukarela membuka lebar-lebar pahanya hanya untuk aku …. ”
Kalimat menjijikkan Richard tidak sempat terlengkapi karena telapak tangan Shanon telah lebih dulu kembali mendarat di pipinya.
“Bajingan! Penjahat kelamin! Laki-laki jahanam!” maki Shanon geram secara bertubi-tubi. Harga dirinya sangat terluka karena selama ini ia telah disamakan dengan jalang yang haus akan belaian oleh Richard.
Richard berdecih saat telinganya menangkap makian Shanon yang penuh kemurkaan. “Bajingan seperti diriku inilah yang berhasil membuatmu memperoleh puncak kenikmatan surgawi. Saranku, sebaiknya jangan terlalu dipikirkan aktivitas intim yang pernah kita lakukan. Anggap saja itu sebagai kenang-kenangan saat aku masih bujangan. Kamu juga bisa menjadikannya pelajaran dasar ketika melakukannya kembali dengan kekasihmu kelak. Atau kalau kamu enggan melakukannya bersama orang lain, aku siap menjadi partner-mu meski statusku telah menikah. Itu tidak akan menjadi masalah besar untukku. Kamu tidak usah takut, aku jamin istriku tidak akan mengetahuinya.” Richard tersenyum licik saat menatap Shanon yang wajahnya kian merah padam karena amarahnya telah semakin membumbung .
Tidak tahan mendengar perkataan merendahkan sekaligus menjijikkan Richard, Shanon pun langsung menyiram wajah laki-laki di depannya tersebut dengan segelas air putih yang ada di atas meja.
“Aku menyesal pernah sangat mencintai seorang bajingan sekaligus penjahat kelamin sepertimu!” geram Shanon. “Mulai detik ini kita putus!” ucapnya tegas saat mengingat status hubungannya dengan Richard yang masih menjadi sepasang kekasih. Sebelum Richard memutuskannya, maka ia melakukannya terlebih dulu agar laki-laki tersebut tidak merasa di atas awan.
Richard sempat mengetatkan rahangnya ketika mendengar kalimat putus dari mulut Shanon. Ia kalah cepat. Dengan santainya ia mengusap wajahnya yang basah menggunakan telapak tangannya. “Penyesalanmu itu sia-sia, Sha, karena tetap tidak akan pernah bisa mengembalikan keperawananmu lagi. Jadi, syukuri saja kenikmatan yang pernah aku berikan padamu. Oh ya, nanti kamu tunggu saja undangan pernikahan dariku. Kamu akan menjadi salah satu tamu istimewaku nanti.” Richard mengedipkan sebelah matanya saat mengakhiri ucapannya.
Shanon langsung pergi karena tidak kuasa mendengar atau meladeni perkataan Richard yang semakin menyudutkannya. Namun, perkataan laki-laki itu ada benarnya juga, terutama mengenai penyesalannya yang sia-sia dan tidak akan pernah bisa mengembalikan mahkotanya. Ia membenci kepolosan dirinya sendiri yang dengan mudahnya jatuh ke dalam pesona seorang penjahat kelamin bernama Richard. Ia juga menyesal karena termakan janji manis dan rayuan gombal yang dilontarkan oleh mulut laki-laki itu, sebelum dirinya menyerahkan mahkotanya dengan sukarela.
Shanon menganggap dirinya sebagai wanita paling bodoh dan murahan, karena dengan mudahnya ia memberikan tubuhnya dijamah oleh laki-laki yang belum resmi menjadi suaminya. Kini ia hanya berharap bahwa ketakutannya tidak akan pernah menjadi kenyataan. Meski benar Richard menggunakan pengaman saat membobol keperawanannya, tapi tetap saja dirinya dihantui ketakutan.
Sepasang laki-laki dan perempuan sedang duduk di teras depan sebuah rumah kontrakan. Mereka sangat berharap pemilik kontrakan segera membukakan pintu, karena keduanya sudah tidak tahan menjadi sasaran empuk nyamuk-nyamuk yang tengah dilanda kelaparan. “Aduh!” Vikha memukul lengannya sendiri yang digigit nyamuk tanpa izin. “Tris, Shanon ke mana ya? Sudah hampir setengah jam kita berada di sini, tapi ia belum juga membukakan pintu.” Gadis berambut lurus itu mulai menanyakan keberadaan pemilik rumah kepada sahabatnya yang juga tengah sibuk menghalau nyamuk menjamah tubuhnya sendiri. “Coba kamu ketuk lagi pintunya, siapa tahu Shanon sudah tidur,” pinta Tristan Danendra, laki-laki berkacamata yang juga merupakan sahabat Shanon. “Hei, apa yang kalian lakukan di rumahku?” Shanon berseru setelah memasuki halaman tempat tinggalnya sambil mengendarai sepeda motornya ketika ia melihat ada tamu yang sedang menunggunya. “Akhirnya penderitaan kita gara-gara kawanan nyamuk ini berakhir sudah, Tri
Sesuai rencana yang telah dibuat kemarin malam, hari ini sebelum matahari menyapa bumi, Tristan dan kedua sahabatnya sudah dalam perjalanan menuju bagian timur pulau Bali. Tepatnya di kabupaten Karangasem. Bukan tanpa alasan Tristan dan kedua sahabatnya sepakat melakukan perjalanan saat langit masih gelap. Hal itu dikarenakan ketiganya belum pernah mengunjungi destinasi yang dituju dan cenderung memakan waktu lumayan lama, walau sebenarnya Tristan telah mendapat sedikit informasi mengenai letak wilayah tersebut dari teman kantornya. Ide untuk mengunjungi tempat itu berasal dari Vikha yang sangat penasaran dengan unggahan beberapa temannya di media sosial mengenai keindahan sebuah taman bunga yang terlihat layaknya hamparan salju. Untuk menghilangkan rasa penasarannya akan tempat tersebut, Vikha mendesak Tristan dan Shanon agar mau mewujudkan keinginannya itu. “Sha, coba lihat ini. Bukankah tempatnya sangat bagus?” Vikha menunjukkan unggahan salah satu temannya di i*******m miliknya ke
Seperti yang sudah direncanakan, keempatnya akan mengunjungi obyek wisata Taman Edelweiss dan Taman Jinja menggunakan sepeda motor. Arya akan membonceng Vikha dengan motornya sendiri, sedangkan Shanon dan Tristan berboncengan menggunakan sepeda motor milik sepupu Arya yang belum dipakai. “Ar, apakah kita tidak perlu menggunakan helm?” tanya Shanon sebelum motor yang dikemudikan Tristan melaju. “Tidak usah, Sha. Jaraknya lumayan dekat dari sini,” jawab Arya santai. “Siap?” tanyanya pada Vikha yang sudah nyaman dengan posisi duduknya. Shanon menanggapi jawaban Arya dengan anggukan. “Tris, jangan ngebut ya,” Shanon mengingatkan Tristan. “Kamu tenang saja, Sha. Kita pasti selamat sampai tempat tujuan,” balas Tristan sambil terkekeh. “Oh ya, jangan lupa pegangan yang erat, Sha. Aku tidak keberatan jika kamu mau menjadikan pinggangku sebagai pegangan saat berboncengan,” imbuhnya menggoda dan spontan membuat Shanon yang duduk di belakangnya memukul pundaknya cukup keras. “Cepat jalan, ja
Sebelum Tristan, Shanon, dan Vikha bertolak ke vila, Arya mengajak mereka bersantap siang di salah satu rumah makan sederhana yang ada di pinggir jalan. Arya sengaja mengajak ketiganya ke rumah makan yang memang menyediakan beberapa menu khas Bali bagian timur. Setelah tadi mata ketiga temannya dimanjakan oleh pemandangan Taman Edelweiss dan Taman Jinja yang memesona, kini giliran nasi sela, sate lilit ikan tuna serta olahan ikan tuna lainnya yang akan memanjakan lidah mereka. Bahkan, Shanon dan Vikha tidak sungkan-sungkan menambah porsi makannya agar kebutuhan perut keduanya terpenuhi. Arya dan Tristan hanya menggelengkan kepala melihat kelahapan dua gadis cantik yang tengah asyik bersantap siang tersebut. Tidak sampai di situ, Vikha dan Shanon pun sepakat membeli beberapa tusuk sate lilit serta pepes telengis untuk dinikmatinya menuju vila. Tentu saja hal itu membuat Arya dan Tristan tidak habis pikir terhadap kelakuan dua sahabatnya tersebut yang ternyata tidak jaga image dalam urus
Menemukan lokasi Virgin Beach atau penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Pantai Bias Putih, ternyata tidak semudah mencari obyek wisata lain karena terkendala akses jalan menuju tempat tersebut. Padahal pantai tersebut letaknya cukup dekat dengan Candidasa, tepatnya di Desa Bugbug. Sesuai namanya, pantai ini belum terlalu banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional, mungkin dikarenakan lokasinya yang tersembunyi dan jauh dari lalu-lalang kendaraan. Namun perlu diketahui bahwa, pemandangan laut di Virgin Beach sangatlah indah. Selain lembutnya pasir putih saat diinjak, air lautnya pun sangat jernih. “Nama Pantai Bias Putih yang diberikan warga sekitar untuk tempat ini mungkin dikarenakan warna pasirnya ya, Sha?” Vikha merentangkan kedua tangannya, berharap udara segar memenuhi setiap ruas tubuhnya. “Bisa jadi, Kha, sedangkan dinamai Virgin Beach kemungkinan karena pantainya belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik atau internasional. Letaknya pun cender
Kecanggungan dirasakan Shanon terhadap Tristan saat mereka sedang menikmati sarapan bersama. Ia merasa malu ketika mengingat dirinya ketiduran dalam dekapan laki-laki yang kini duduk tenang di hadapannya. Ia tidak memungkiri mendapat kenyamanan saat lengan-lengan kekar milik Tristan mendekap tubuhnya. Kemarin Tristan membangunkannya saat tengah malam dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar bersama Vikha. Meski terkejut menyadari dirinya ketiduran, tapi Shanon masih sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada Tristan yang telah bersedia dan sukarela meminjamkan dadanya. Berbeda halnya dengan Tristan yang berusaha terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin malam bersama Shanon. Padahal, ia juga tengah didera rasa canggung sama seperti Shanon, mengingat kedekatan mereka kemarin malam. Bahkan, kini ia tidak berani menatap Shanon yang duduk tepat di depannya berlama-lama. “Sebelum meninggalkan vila, alangkah baiknya kita periksa kembali barang bawaan masing-masing
“Aku tidak asal tuduh, Kha,” Tristan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Aku memang belum pernah menemani seorang perempuan menonton drama romantis. Namun, aku pernah melihat perempuan menangis tersedu-sedu saat menonton adegan romantis. Entah karena perempuan tersebut terharu atau iri melihat keromantisan yang terpampang di layar televisi,” imbuhnya. “Siapa perempuan itu, Tris? Pacarmu?” cecar Vikha penasaran. Ia merasa waspada jika ternyata sahabatnya ini telah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis secara diam-diam, sama halnya seperti Shanon dulu. “Kakakku,” Tristan menjawabnya dengan santai dan tersenyum ke arah Vikha yang tertawa setelah mendengar jawabannya. Ia menyempatkan diri menatap Shanon yang tengah menundukkan kepala di belakang kemudi melalui spion di atasnya. “Tris, aku boleh buka ini?” Vikha menunjukkan snack berukuran jumbo yang berbahan dasar rumput laut kepada Tristan. “Silakan, Nona. Aku membawanya ke sini tujuannya memang un
Sepulangnya berlibur minggu lalu, ketiga sahabat itu telah kembali berkutat pada rutinitas dan tanggung jawabnya terhadap pekerjaan masing-masing. Sejak itu pula Vikha jarang bisa bertemu Tristan di kantor, walau sekadar ingin makan siang bersama, karena mereka memang berbeda divisi. Lain halnya dengan Shanon, sahabatnya itu dan Tristan bekerja di divisi yang sama. Pikiran Vikha sering terganggu saat mengingat celetukan yang dilontarkan Shanon di mobil waktu itu. Bukan hanya itu, penolakan Tristan secara tidak langsung atas celetukan tersebut juga kerap membuatnya sedih. Vikha mengurungkan niat ketika hendak menyandarkan punggungnya yang terasa kaku pada kursi kerjanya saat mendengar ponselnya bergetar. Setelah membaca pesan yang diterimanya, ia segera membalas ajakan makan siang dari Shanon. Ia bergegas merapikan meja kerjanya sambil menunggu Shanon menyambanginya untuk berangkat bersama menuju tempat makan siang. “Makan siang di mana, Kha?” tanya Rena, rekan kerja yang satu divisi