Share

Istri Kecil untuk Bos Duda
Istri Kecil untuk Bos Duda
Penulis: Writergaje23_

Tinggal di Rumah Saya

"Aduuuh ... lewat mana ini?" Perempuan pendek yang baru turun dari bus itu meringis bingung.

Masih sambil menyusuri trotoar jalan yang padat sore ini, Aileen menggaruk pipinya. Tidak tahu harus pergi ke mana.

Lagipula, Aileen hanya asal menaiki bus saja. Tidak peduli kendaraan umum itu akan membawanya kemana. Yang jelas dia hanya perlu untuk kabur dari rumah; menghindari sang ayah.

"Aku cari dia dulu. Mama enggak perlu khawatir."

Suara seorang pria lumayan dewasa yang tengah menelepon membuat Aileen menoleh ragu. Ingin bertanya takut dimarahi. Tidak bertanya takut semakin nyasar.

"Permisi, Om!" Pada akhirnya, perempuan pendek itu berani menyapa lebih dulu.

Tapi, lirikan pria dewasa itu membuat Aileen mengerjap takut. Apa dia sudah salah memilih orang untuk ditanyai?

Pria tadi mengangkat sebelah alisnya. Seolah tengah bertanya 'kenapa?' dengan raut tidak sabaran. Aileen mendadak gugup.

"Eung ... a-anu ... itu, Om. Mau nanya--"

"Cepetan! Saya nggak punya banyak waktu," tekan pria jangkung itu membuat Aileen semakin tergagap.

"Enggak jadi deh, Om. Maaf ganggu," jawab Aileen akhirnya sebelum kemudian berlari menjauh.

Pria bernama Arsen itu memandangi kepergian Aileen dengan kernyitan tidak mengerti. Ada apa dengan remaja aneh itu? Di jam empat sore begini, bagaimana bisa juga dia berkeliaran dengan baju tidur?

Entah dia diusir dari rumahnya saat baru bangun tidur atau bagaimana, yang jelas Arsen tidak mau tahu. Hal yang penting sekarang, putranya menghilang kemana?

"Ck ... seharusnya aku sewain dia perawat pengganti sejak awal," decak pria jangkung itu kesal.

***

Aileen menyerah. Di antara beberapa orang yang ia tanyai sepanjang jalan, tidak ada yang mampu perempuan itu dapatkan. Bahkan hanya untuk satu petak kamar kontrakan.

Memilih duduk di tepi trotoar bak orang gila yang lupa tempat tinggal, Aileen menggaruk rambut berantakannya semakin keras.

"Gimana ini?" bingung perempuan 19 tahun itu hampir menangis.

Kalau saja bukan karena Adimas yang ingin menikahkan Aileen dengan seorang duda, mungkin dia tidak akan sampai di sini sekarang. Ketimbang menjadi istri kesekian juragan beras tua itu, tentu saja Aileen lebih baik menjadi gelandangan atau paling tidak babu.

Di tengah kebingungannya, netra cokelat madu perempuan itu menangkap keberadaan seorang bocah di tengah jalan raya sore yang padat. Manik bulat dengan bulu mata lentik itu kontan mendelik terkejut.

"Eh! Itu anak siapa sendirian di tengah jalan?!" panik Aileen sambil bangkit berdiri.

Lalu, begitu menemukan sebuah sedan berwarna silver melaju dari arah kanan jalan, tanpa pikir panjang Aileen segera berlari sekuat tenaga. Begitu berhasil menjangkau bocah laki-laki itu, Aileen memeluknya kemudian menghempaskan tubuh mereka ke sisi jalan.

Beruntung saja, keduanya selamat. Meski nyatanya siku Aileen tergores cukup parah oleh aspal jalan.

"Ya Ampun! Hampir aja," lirih Aileen penuh syukur. Suara perempuan itu bahkan gemetaran saking terkejutnya.

Sedangkan bocah di dalam dekapannya tidak mengatakan apa-apa sama sekali. Dia hanya mendongak menatap wajah orang yang menolongnya dengan pelongoan takjub.

"Orang tua kamu kemana? Kenapa jalan di sini sendiri? Bahaya loh!" tegur Aileen mulai mengomel sambil membantu bocah laki-laki itu berdiri.

Ketimbang menyahuti omelan Aileen, dia malah memegangi perutnya yang sedari tadi terus berbunyi.

"Aku lapar, Bibi." Bocah itu mengadu sambil mendongak menatap Aileen dengan ekspresi cemberut.

Seketika, perempuan pendek itu mendadak 'speechless'. Matanya mengerjap sebelum kemudian mengangkat bocah itu ke dalam gendongan.

"Kasih tau aku nama kamu dulu. Baru kubeliin makan," ucap Aileen bernegosiasi sambil membawa bocah mungil itu ke tepi trotoar.

"Ayres, Bibi. Tadi ke sini sama Papa. Tapi karena kabur, jadinya nyasar," jawab bocah itu apa adanya.

Sejenak, Aileen merenung. Tangannya merogoh saku piyama hitam satin dan menemukan uang sepuluh ribu. Sisa uangnya hanya itu saja. Dia juga lapar. Sejak kabur dari rumah subuh tadi, dia belum menyentuh air apalagi nasi bahkan sampai detik ini.

Tapi ... sepertinya bocah di depannya ini lebih lapar. Terbukti dari bunyi perutnya yang sampai pada telinga Aileen.

"Yaudah, ayo Bibi beliin makanan! Kamu mau makan apa?" tanya Aileen sambil mengangkat bocah tampan itu lagi ke dalam gendongan.

"Ayam goreng!" jawab Ayres semangat.

Aileen mendadak meringis. "Kayaknya uangnya enggak cukup. Uang Bibi cuma segini. Nasi bungkus aja, ya? Biar dapet minumnya juga," tawar Aileen sambil membuka lebar-lebar uang berwarna merahnya yang sudah lusuh.

Seingatnya, uang ini sudah tinggal di sakunya sejak dua minggu yang lalu. Aileen bahkan lupa sudah berapa kali uang itu ikut tercuci.

"Iyadeh," jawab bocah itu pasrah.

Berikutnya, Aileen membawa Ayres ke warung nasi terdekat. Mereka mendapatkan sebungkus nasi dengan harga lima ribu, sebotol air seharga dua ribu setengah, juga beberapa permen yang diminta Ayres sebagai kembaliannya.

Uang Aileen tentu saja habis. Tapi, perempuan itu tidak merasa menyesal sama sekali. Justru, begitu melihat bagaimana lahapnya bocah tampan itu makan, perempuan itu malah tersenyum senang.

"Umur kamu berapa?" tanya Aileen penasaran.

"Kata Papa, baru masuk lima tahun, Tante. Sekarang udah sekolah dong," jawab bocah itu bangga.

Aileen mengangguk-angguk. "Sekolah di mana?" tanya perempuan itu basa-basi. Sekedar mengalihkan perhatian dari rasa laparnya yang semakin menjadi begitu melihat cara Ayres makan.

"Di TK Asmaul Husna. Deket dari rumah loh, di sana banyak bunga Gerbera. Kami yang tanam, bibitnya dikasih sama Papa," oceh bocah itu yang membuat Aileen melongo.

Bukan karena serius mendengarkan, tapi terlalu fokus melihat bagaimana cara mulut Ayres mengoceh sambil makan dengan ekspresi menggemaskan. Aileen bahkan tidak bisa menahan kekehan gelinya begitu mendapati bocah tampan itu tersedak.

"Makanya jangan makan sambil ngomong!" tegur Aileen sambil membukakan tutup botol air mineral untuk Ayres.

Selesai minum, bocah itu menyorot Aileen protes. "Tadi Bibi yang ngajak aku ngomong duluan!" sanggah Ayres yang semakin membuat Aileen tertawa.

Perempuan itu seolah lupa bahwa sekarang dia harus mencari rumah. Harus mendapat uang untuk makan. Harus punya pekerjaan.

Dia tidak akan kembali ke rumah Ayahnya. Pria itu sudah berniat menjualnya pada juragan di desa mereka. Seharusnya, jika memang Adimas masih menganggapnya seorang anak, dia tidak akan melakukan itu, kan?

"Bibi, punya hp? Pinjem dong!" tanya sekaligus pinta bocah itu yang tanpa Aileen sadari sudah selesai makan.

Aileen menoleh linglung sebelum kemudian mengangguk. "Punya. Mau dipake buat apa?" tanya Aileen balik.

"Mau telepon Papa. Biar dia bisa jemput aku ke sini," jawab Ayres sambil mengeluarkan sesuatu dari manik kalungnya.

Ternyata ada nomor telepon yang tergulung rapi di sana.

"Ini, Bi." Bocah itu menyodorkan nomor tersebut pada Aileen.

Aileen segera mengeluarkan ponsel di saku piyamanya sebelum kemudian menelepon Papa Ayres. Tidak butuh waktu satu menit untuk mendapati panggilannya diangkat.

"Halo." Aileen menyapa cepat.

"Siapa?" tanya pria di seberang sana to the point.

Sejenak, Aileen merasa deja vu. Suaranya seperti seseorang yang pernah Aileen dengar.

"Eung ... Papanya Ayres, ya?" tanya Aileen agak gugup.

"Dia di mana? Saya ke sana sekarang," tanya pria itu cepat.

"Aku enggak tau tepatnya. Intinya kami lagi di warung nasi dekat lampu merah. Yang spanduknya warna hijau," jawab Aileen sambil memperhatikan sekeliling.

Tut!

Tidak ada jawaban lagi. Pria di seberang sana langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Aileen jadi bingung apakah pria itu akan menjemput putranya atau tidak.

Tapi, begitu beberapa saat kemudian Aileen menemukan seorang pria berjas menghampiri keduanya, perempuan itu melongo. Apalagi begitu pria jangkung itu segera menggendong Ayres.

"Ketemu juga kamu, huh?!" kesal Arsen sambil menggeplak pelan lengan putranya.

"Eh, Om yang tadi," gumam Aileen terkejut membuat Arsen menoleh.

"Kamu?" tanya Arsen begitu mengenali remaja dengan piyama satin hitam itu.

"Dia Bibi yang nolongin aku, Papa. Tadi aku hampir ketabrak mobil. Terus juga aku dikasih makan sama dibeliin permen," cerita Ayres apa adanya membuat raut wajah Arsen berubah lebih bersahabat.

"Makasih sudah nolongin dan kasih makan anak saya. Ini buat kamu," ucap Arsen sambil mengeluarkan beberapa uang merah muda dari saku jasnya.

Aileen menggeleng cepat. "Enggak perlu, Om."

"Yasudah," jawab Arsen sambil memasukkan kembali uangnya ke dalam saku.

Baru saja akan berbalik hendak pergi, suara perut Aileen justru menghentikan gerakan pria jangkung itu. Aileen menunduk sambil meringis malu.

Dasar perut kurang ajar!

"Kamu ... mau kemana? Kenapa jam segini malah kelayapan pakai baju begitu?" tanya Arsen tiba-tiba.

Aileen mendongak. "Eung ... gimana, ya? Aku kabur dari rumah, Om." Perempuan pendek itu menggaruk tengkuknya sambil terkekeh hambar.

"Karena apa---eh, lupain. Bukan hak saya nanya hal kayak gitu," potong Arsen cepat. "Nama kamu siapa?" lanjut pria itu bertanya.

"Aileen, Om. Aileen Nayara." Arsen mengangguk-angguk sejenak.

"Jadi kamu lagi butuh tempat tinggal sementara, ya?" tanya Arsen memastikan.

Aileen mengangguk jujur.

"Yasudah, kalau gitu tinggal di rumah saya aja." Pria jangkung itu menjawab enteng.

"Hah?" Aileen masih tidak mengerti.

"Kamu tinggal di rumah saya. Tapi enggak gratis. Jadi ART deh. Mau nggak?" tawar Arsen yang semakin membuat Aileen bingung.

Kira-kira, lebih baik hidup mewah tapi menjadi istri duda tua bangka atau hidup apa adanya sebagai pembantu di rumah orang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status