Share

Amnesia Retrograde

"Pa, Bibi Ai enggak akan mati, kan?" tanya Ayres untuk kesekian kalinya.

Tapi, sama seperti sebelumnya, pria sipit itu hanya diam termenung sambil memeluk erat Ayres yang ada di pangkuan. Bahkan untuk memastikan bahwa Aileen masih bisa selamat kepada putranya saja, Arsen tidak berani.

"Papa jangan diem aja. Aku takut," rengek Ayres yang kini mulai menangis.

Untuk pertama kalinya, Arsen bahkan tidak mampu menyadari kehadiran Ayres. Jiwa pria itu seolah masih tertinggal di suatu tempat.

Namira yang baru saja sampai tentu saja langsung mengambil alih sang cucu dari gendongan putranya. Tanpa berucap apa-apa, Namira membawa Ayres menjauh dan mengantar bocah itu pulang dengan beberapa bujukan.

Karena lebih daripada Ayres, Arsen lebih butuh untuk ditolong. Untuk pertama kalinya, Namira melihat lagi ketakutan di mata pria itu. Antara lega sekaligus sedih, perempuan tua itu akhirnya duduk di samping Arsen.

"Arsen," panggil Namira sambil menyentuh sisi bahu Arsen.

Seketika, Arsen yang baru tersadar dari lamunan langsung terlonjak kaget. Begitu menyadari kehadiran sang mama sekaligus tidak menemukan Ayres di gendongannya, pria itu menoleh kanan kiri panik.

"Ayres mana, Ma? Kok dia bisa ilang?" tanya Arsen linglung yang hanya dibalas Namira dengan senyum getir.

"Saking khawatirnya, kamu bahkan sampai enggak sadar kalau Mama udah bawa anak kamu pulang," gumam Namira. Arsen hanya meringis merasa bersalah.

Tidak tahu harus merespon apa.

"Gimana Aileen? Dia enggak pa-pa, kan?" tanya Namira yang seketika membuat wajah Arsen berubah murung.

"Belum tahu, Ma. Dokternya belum keluar juga," jawab Arsen sambil menunduk lesu.

Namira menepuk pundak sang putra menenangkan. "Jangan khawatir. Aileen itu cucunya Mama yang kuat banget. Dia pasti enggak pa-pa." Namira berucap meyakinkan. Arsen mengangguk mencoba mempercayai ucapan sang Mama.

"Saya juga berharapnya gitu," gumam Arsen lirih.

Sejenak, ingatan duda tampan itu terlempar pada kejadian beberapa waktu lalu. Karena Aileen yang tidak kunjung terlihat di lantai dua mall, Arsen dan Ayres kembali turun ke lantai satu guna mencari perempuan itu.

Takut-takut jika sampai Aileen malah tersesat dan bingung mencari keduanya kemana di tempat yang lumayan luas itu. Tapi, begitu melihat perempuan itu tengah berlari panik di tengah kerumunan orang-orang, Ayres spontan mengejar sang Bibi.

Arsen yang lengah akhirnya ikut mengejar Ayres sampai halaman depan mall. Siapa yang sangka dari sana, Arsen dan Ayres justru dapat melihat secara langsung bagaimana tubuh Aileen terpental hingga terpelanting di trotoar yang lumayan jauh.

Kejadiannya terlalu cepat dan tiba-tiba. Sampai Arsen tidak sempat memikirkan apa-apa selain bekas darah Aileen yang melekat di telapak tangan juga sebagian bajunya.

Rasanya ... masih tidak percaya saja begitu menyadari perempuan itu tengah terluka separah itu sekarang. Apa Aileen benar-benar bisa selamat dengan luka separah itu?

"Kenapa kamu sekhawatir ini sama Aileen?" tanya Namira tiba-tiba.

Arsen menggeleng tidak tahu. Tidak mengerti juga dengan perasaannya yang terasa berantakan acapkali mendapati perempuan pendek itu terluka.

"Kamu cinta sama dia, kan?" tanya Namira lagi yang justru terdengar lebih menjurus ke pernyataan.

Arsen berpikir sejenak. Tapi, pria itu tidak menemukan jawaban sama sekali.

"Enggak tahu, Ma." Mendengar jawaban Arsen, Namira tersenyum simpul.

"Kalau gitu cari tahu. Yakinin diri kamu sendiri sebelum dia enggak ada di sisi kamu." Namira berucap ambigu yang membuat Arsen mengernyit semakin bingung.

"Intinya Mama enggak cukup kalau dia cuma jadi cucunya Mama. Kalau emang bisa, Mama mau dia jadi istri kamu. Jadi Ibu buat Ayres juga. Ngerti, kan?"

***

Sudah sekitar dua hari Aileen belum membuka mata. Selama itu juga lah Arsen terus menunggunya tanpa mau digantikan oleh Namira.

Setelah penyelidikan lebih lanjut, rupanya penyebab Aileen berlari sepanik itu hingga tertabrak adalah seorang pria tua yang mengejarnya. Pria itu adalah orang yang sudah membeli Aileen melalui perantara Ayahnya.

Pria itu juga lah alasan Aileen nekad kabur dari rumah. Ia hanya tidak mau menikah dengan pria semacam itu. Mengingat seberapa takut perempuan itu padanya membuat Arsen tidak tenang dan memilih menemani Aileen hingga saat ini.

Bagaimana jika Aileen terbangun dan ketakutan begitu tidak menemukan siapapun di sampingnya?

"Ssh ...." Ringisan dari bibir pucat Aileen membuat Arsen yang tengah membaringkan kepala di sisi ranjang langsung duduk tegak.

Begitu melihat perempuan itu yang perlahan-lahan mulai membuka mata, Arsen tanpa sadar tersenyum senang.

"Gimana perasaan kamu? Ada yang masih sakit?" tanya Arsen beruntun.

Aileen tidak menjawab tapi perempuan itu terus memegangi kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Begitu merasakan perutnya bergejolak, perempuan itu juga mencoba bangkit duduk.

Tapi, karena tidak memiliki cukup tenaga, Aileen akhirnya jatuh berbaring lagi. Arsen segera membantunya duduk kemudian menyelipkan sebuah bantal di punggung Aileen sebagai penyangga.

"Pengen muntah," adu Aileen serak sambil menutup mulutnya yang mulai terasa mual.

Arsen dengan panik mencari sesuatu yang bisa menampung isi perut Aileen. Tapi, belum sempat menemukannya, Aileen sudah lebih dulu muntah ke sisi ranjang.

Arsen segera membantu memijat tengkuk perempuan itu. Wajah Aileen tampak begitu pucat. Bibir perempuan itu bahkan mengering dan pecah-pecah.

"Udah mendingan?" tanya Arsen cemas sambil menyodorkan segelas air yang langsung diminum Aileen sedikit.

Sejenak, Aileen menelengkan kepalanya sambil menatap Arsen lamat-lamat. Tatapan perempuan itu seolah kebingungan dan baru pertama kali melihat sosok Arsen.

"Om siapa?" tanya Aileen yang seketika membuat Arsen mengerjap terkejut.

Bagaimana bisa baru terbangun begini perempuan itu sudah bisa bercanda?

"Apaan sih. Saya nanya serius. Kamu udah mendingan atau belum? Saya lagi nggak mau bercanda," tanya Arsen lagi yang hanya dibalas perempuan pendek itu dengan garukan di pipi; tanda Aileen benar-benar sedang bingung.

"Aku enggak bercanda, Om."

"Kamu beneran enggak kenal saya?" tanya Arsen memastikan.

Aileen mengangguk jujur.

Kali ini, Arsen terdiam. Pria itu kemudian segera memencet tombol di sisi ranjang guna memanggil Dokter.

Begitu menjalani beberapa pemeriksaan lagi, lagi-lagi Arsen harus menghela napas berat. Aileen dinyatakan mengidap amnesia retrograde karena cidera keras di bagian dinding otaknya.

"Jadi sebenernya Om siapa? Kok aku juga bisa ada di sini?" tanya Aileen untuk kesekian kalinya setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan wawancara dari Dokter sebelumnya.

Arsen memandang perempuan itu sebentar sebelum kemudian menunduk lagi. Ia sebenarnya sedang berpikir harus mengaku sebagai siapa kepada Aileen.

"Sebenernya ... saya calon suami kamu. Kita udah pacaran 2 tahun, dan bentar lagi mau nikah. Tapi karena kecelakaan, kamu jadi amnesia gini sampai lupa sama saya," jawab Arsen akhirnya berbohong. Padahal, mereka hanya baru mengenal dua bulan.

Pikir Arsen, setidaknya untuk saat ini, biarkan saja begini. Nanti jika ingatan Aileen sudah kembali, perempuan itu hanya tinggal menyangkalnya, kan?

Lagipula ... ini kesempatan bagus. Sebelum perempuan itu mengingat semua sepenuhnya, setidaknya Arsen harus sudah menikahi Aileen dalam waktu dekat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status