Begitu merasa sedikit membaik dan pulih, Aileen memutuskan untuk bekerja lagi. Perempuan itu bahkan mulai membantu Bi Rindi di dapur juga menyiapkan segala kebutuhan Ayres di sekolah maupun di rumah.
Arsen dan Namira yang melihat betapa keras kepala perempuan 19 tahun itu akhirnya cuma bisa menghela berat. Bingung harus mencegah seorang Aileen Nayara bagaimana lagi. Perempuan itu terlalu keras kepala."Aileen." Panggilan bernada dingin itu dibalas Aileen dengan deheman.Perempuan yang siang ini tengah mengepel lantai rumah dengan setelan baju tidur yang masih melekat di tubuh bahkan tidak berniat memandang Arsen sama sekali. Seolah wajah tampan majikannya kalah menarik dari lantai keramik yang basah."Lepas alat pelnya!" titah Arsen tegas yang dibalas Aileen dengan gelengan."Enggak bisa. Aku harus kerja, biar enggak dikira makan gaji buta," jawab perempuan itu sambil kembali melanjutkan kegiatan mengepelnya.Arsen mendengkus sebal. Kemudian, tanpa aba-aba, pria itu merebut alat pel di tangan Aileen dan segera melemparnya ke sembarang arah.PLETAK!Gagang pel beserta ember air pel itu terpelanting kemudian tumpah di dekat sofa ruang tengah. Tepat di atas karpet persia super tebal yang baru Aileen cuci dengan susah payah beberapa hari lalu.Benda itu malah kotor lagi."Santai aja dong, Om! Kalau mau marah ya marah aja. Dikira gampang apa nyuci karpet setebel dan segede ini?" tanya Aileen yang untuk pertama kalinya mengomeli sang majikan.Arsen yang diomeli kontan mengerjap terkejut. Tidak menyangka reaksi Aileen akan semarah itu hanya karena sebuah karpet yang basah."Kok kamu jadi marah ke saya? Kamu lupa saya siapa? Jangan mentang-mentang anak saya suka sama kamu terus kamu bisa seenaknya bersikap lancang kayak gitu ke saya, ya!" peringat Arsen malah ikutan mengomel.Aileen yang entah karena masih sakit atau memang sedang sensitif, justru malah terbawa suasana. Perempuan itu sampai lupa bahwa dia bekerja di rumah Arsen hanya sebagai pembantu saja."Emang kenapa kalau aku marah? Emang cuma majikan aja yang punya hak marah? Pembantu enggak punya hak apa-apa gitu?!" tanya Aileen balik ngegas."Lah siapa suruh kamu mau-mau aja jadi pembantu saya. Giliran soal hak, baru protes sekarang," komentar Arsen tidak mau kalah.Ayres yang mendengar keributan antara sang Papa dan pembantu kesayangannya, kontan berlari mendekat dan menarik ujung baju kedua orang itu. Aileen dan Arsen kompak menoleh."Enggak boleh bertengkar! Kata Ibu Guruku enggak boleh!" cegah Ayres yang akhirnya membuat Aileen diam.Beberapa saat kemudian, perempuan yang hari ini terlihat aneh itu memandang Arsen tajam."Dasar majikan sombong!" maki Aileen sebelum kemudian menghentakkan kaki sambil berjalan menjauh.Ayres bahkan mengerjap terkejut melihat perubahan sikap Aileen. Tidak menyangka perempuan itu bisa marah juga."Papa ngapain Bibi Ai? Kok dia marah gitu? Tumben loh," tanya Ayres yang hanya dibalas Arsen dengan angkatan bahu acuh.Sebenarnya, Arsen juga sedikit bingung dengan perempuan itu sejak pagi tadi. Setelah sembuh dari sakitnya, sepertinya kewarasan perempuan itu tertinggal di ranjang kamarnya.Aileen memang berbahaya jika dibiarkan berdiam diri terlalu lama."Mana Papa tahu. Kamu bujuk deh sana, Ibumu!" suruh Arsen sebelum kemudian melenggang menuju kamar.Ini hari minggu. Ayres libur. Arsen juga libur. Dan sepertinya ... kewarasan Aileen juga sedang berlibur.***Arsen terlonjak kaget begitu Aileen tiba-tiba menyembul dari kolong meja dapur. Perempuan yang siang ini masih dengan wajah masamnya, menatap Arsen sambil memutar bola mata jengah."Mau ngapain ke dapur? Masak belum azan zuhur udah lapar sih, Om? Aku belum masak!" tanya Aileen jutek.Arsen mendelik tidak suka. Kenapa semakin lama perempuan ini semakin menjengkelkan saja? Sebenarnya apa masalah hidupnya?"Lah suka-suka saya dong mau ke dapur atau lapar kapan aja. Emang masalah buat kamu?" tanya Arsen sewot.Aileen mengendikkan bahu acuh sebelum kemudian melangkah meninggalkan dapur. Arsen semakin mengernyit tidak mengerti. Mata pria sipit itu memandangi sekitar dapur yang sudah bersih.Tapi, anehnya, di jam dua belas siang ini, perempuan itu bahkan belum memasak apapun sama sekali. Biasanya, dialah yang paling semangat menyuruh Bi Rindi untuk memasak lebih awal sekalian membantu agar Ayres tidak perlu menunggu lama untuk makan siang.Segera mengambil air dingin di kulkas kemudian menenggaknya hingga tandas, Arsen kembali berjalan menuju kamar kalau saja Ayres tidak menarik ujung bajunya dengan panik. Bocah lima tahun itu menatap sang Ayah linglung."A-Ayah ... Bibi Ai berdarah!" cerita Ayres yang seketika membuat Arsen tertegun.Berdarah? Memangnya perempuan itu kenapa?"Berdarah gimana maksud kamu? Dia jatuh? Atau gimana? Kok bisa sih?" tanya Arsen beruntun. Kini, dia malah ikut-ikutan panik."Liat sendiri aja, Papa," jawab Ayres sambil menarik-narik sang Ayah agar melihat keadaan sang Bibi.Arsen berjalan cepat mengikuti langkah pendek sang putra. Begitu sampai di lantai bawah, pria itu semakin terperangah begitu mendapati banyak bercak merah di bagian belakang rok selutut yang dikenakan Aileen."Aileen!" Arsen memanggil cepat.Aileen menoleh masih dengan wajah jengkelnya. Perempuan itu menatap Arsen tidak sabaran. Sepertinya sangat tidak suka karena kegiatan menyapunya diganggu oleh sang majikan."Apa? Mau sesuatu?" tanyanya ketus yang membuat Arsen malah menggaruk tengkuk salah tingkah."Itu!" Arsen menunjuk ke bagian bawah.Aileen mengernyit tidak mengerti. "Kenapa, Om?" tanya perempuan pendek itu lagi."Kamu ... k-kamu lagi datang bulan, ya? Kayaknya kamu tembus tuh," tanya sekaligus jawab Arsen yang seketika membuat perempuan itu mengerjap.Kepalanya menoleh ke belakang sambil meraba bagian belakang tubuhnya panik. Lalu, begitu menyadari bercak darah di sana, perempuan itu membalikkan tubuh malu.Tanpa menunggu lama, Aileen melempar asal sapu di tangannya kemudian berlari kembali ke kamar. Ayres memandangi kepergian sang Bibi dengan pelongoan tidak mengerti."Itu Bibi Ai beneran berdarah loh, Pa. Kok dibiarin bukannya dibantuin? Nanti kalau dia mati kehabisan darah gimana?" tanya Ayres yang hanya dibalas Arsen dengan kerjapan bingung."Eung ... itu bukan darah. Bibi kamu cuma enggak sengaja dudukin saus tomat tadi. Tenang aja, ya?" alibi Arsen yang tentu saja dipercayai saja oleh Ayres."AAA MALU!" Teriakan menggelegar dari dalam kamar Aileen membuat Arsen dan Ayres lagi-lagi harus terlonjak kaget.Mendengar itu, Arsen tanpa sadar tidak bisa mengendalikan senyum gelinya. Jadi, itu alasan mood perempuan itu begitu berantakan sejak pagi tadi?Aileen hanya sedang PMS, ya?"Itu kenapa Bibi Ai teriak, Pa?" tanya Ayres lagi."Enggak pa-pa. Biarin aja," jawab Arsen asal sambil menahan kekehan gelinya.Dipikir-pikir, Aileen menggemaskan juga kalau sedang marah seperti sejak tadi pagi. Seharusnya perempuan itu PMS setiap hari saja."Jadi, kamu beneran hamil?" Arsen bertanya tidak percaya. Hari ini, dia dan Aileen memang pergi ke rumah sakit guna memeriksakan dugaan Arsen. Syukurnya, hasil lab dari Dokter menjawab semua. Aileen benar-benar hamil. Usia kandungannya masih sangat muda. "Kita bakal punya anak, Aileen." Arsen menegaskan sekali lagi sambil memeluk tubuh mungil istrinya yang masih mematung tidak percaya. Rasanya ... terlalu tiba-tiba. Aileen belum siap. Dia benar-benar tidak siap. "Tapi aku masih terlalu muda buat punya anak, Mas." Aileen menyuarakan sesuatu yang sedari tadi mengganjal di hatinya. "Loh? Tapi kamu kan udah punya anak. Tuh, si Ayres," jawab Arsen sambil terkekeh geli. "Itu beda. Ayres kan udah gede, enggak perlu kulahirin dulu. Ini beda lagi. Aku ... nggak berani melahirkan," jelas Aileen jujur. Arsen memandang Aileen lekat. Bingung dengan pola pikir sang istri. Setahunya, perempuan yang sudah menikah paling ingin punya anak. Biasanya, mereka bahkan melakukan berbagai macam cara a
"Sekarang udah berani sama Mama Ai lagi?" Arsen bertanya begitu malam ini ia menemani Ayres tidur.Bocah sipit yang akhirnya mengetahui siapa dalang di balik semua teror yang didapatinya, hanya mengangguk. Tapi, Ayres tidak terlihat berniat menemui Aileen sama sekali.Padahal, semuanya sudah selesai. Bi Rindi sudah keluar dari rumah mereka. Rindu juga sudah meminta maaf atas perlakuan sang Bunda.Arsen bahkan juga bertanya apa Rindu benar masih menyukainya seperti dulu. Dan jawaban mengejutkan perempuan itu, sejenak membuat Arsen memikirkannya hingga detik ini."Seharusnya Pak Sakya tahu. Perasaan aku sama Bapak masih sama kayak dulu. Meski aku bilang udah enggak sekali pun, yakin aja aku pasti lagi bohong."Begitulah kalimat yang Rindu ucapkan padanya tadi siang di kantor. Tepat setelah perempuan itu menyerahkan proposal juga meminta maaf mewakili Bundanya.Arsen tidak pernah berpikir bahwa Rindu akan berkata demikian. Melihat dari sikap perempuan itu yang profesional dan normal dala
"Apa aku sebaiknya pergi dari rumah aja, ya?" Aileen bertanya pada Arsen.Arsen yang malam ini hampir terlelap karena sudah luar biasa mengantuk, kontan saja terbangun dan melotot galak. "Kamu gila?!" bentak Arsen sebal.Aileen menggeleng yakin. "Enggak. Seharusnya aku emang pergi sejak awal. Kalau kayak gitu, mungkin Ayres enggak bakal diteror lagi. Dia juga enggak mungkin takutin apapun lagi setelah ini," jelas Aileen memaparkan spekulasinya jika sampai ia benar-benar pergi dari rumah ini."Kamu pikir cuma Ayres aja yang bisa butuh kamu? Saya juga bisa! Apa selama ini kamu tinggal di rumah ini buat Ayres aja?" tanya Arsen tidak habis pikir.Mendengar omelan suaminya, Aileen jadi merasa bersalah. Perempuan itu kemudian berbaring membelakangi Arsen sambil mengusap air mata yang diam-diam mengalir dari sudut mata."Bukan gitu. Aku cuma enggak tahan liat Ayres ketakutan di rumahnya sendiri. Aku enggak bisa liat dia nangis terus-terusan kayak gitu gara-gara aku. Dia keliatan takut banget
Aileen tidak tahu apa yang salah dengan putranya. Tapi, sejak ia menemukan bocah itu sudah kembali di rumah mereka, kenapa Ayres malah jadi takut padanya?Ada apa? Apa sebelumnya Aileen sempat melakukan kesalahan? Apa Ayres hanya sedang marah pada Aileen karena semalam Aileen berhenti mencarinya dan memilih tidur di rumah?"Sayang ... kamu enggak mau makan? Mau Mama bikinin atau beliin sesuatu?" tanya Aileen untuk kesekian kalinya.Mencoba mengajak bocah sipit berbicara. Tapi, lagi dan lagi, bocah itu tetap tidak mau menyahutinya. Yang dilakukan Ayres hanya bersembunyi di pelukan Papanya. Ayres seolah tidak berani dekat-dekat dengan Aileen."Udah, kamu balik aja sana ke kamar dulu. Ntar kalau udah tenang dan mau cerita, mungkin dia mau bicara sama kamu. Kamu istirahat aja, kalau saya butuh sesuatu nanti saya panggil Bi Rindi." Arsen menegur sambil mengelus punggung tangan istrinya.Pada akhirnya, Aileen menjawab dengan satu anggukan. Perempuan itu juga kasihan dengan Ayres yang terus
Aileen menggigit kuku jemarinya gusar. Perempuan itu terus memandangi sekitar jalanan panik. Sedangkan Arsen, hanya menggenggam sebelah tangan Aileen erat. Berniat menenangkan sang istri sekaligus dirinya sendiri."Apa kita balik ke kebun binatang aja ya, Mas? Kita cari di sana sekali lagi. Mungkin aja dia masih di sana cuma kita belum cari yang bener aja," pinta Aileen yang dibalas Arsen dengan gelengan."Di sana udah ada yang jaga. Lagian gerbang kebun binatangnya juga udah dikunci, biar enggak ada yang bisa keluar masuk lagi. Kalau emang Ayres ketemu di sana, pasti mereka hubungin kita." Arsen menjelaskan yang dalam hati dibenarkan Aileen.Perempuan itu kemudian menatap jalan yang mereka lewati lagi. Takut jika sampai sang putra malah tidak tertangkap matanya."Kita pulang dulu, ya? Ini udah larut banget. Kamu juga belum makan, kan?" tanya Arsen yang ditanggapi Aileen dengan gelengan."Enggak," jawab Aileen final. Terdengar tidak ingin dibantah atau bernegosiasi lagi."Kalau gitu k
"Udah bawa botol minumnya, kan?" Aileen bertanya sekali lagi.Ayres mengangguk. "Udah, Mama. Udah bawa bekal juga. Terus aku juga bawa wortel mentah," jawab bocah sipit itu tanpa mau melunturkan senyumnya.Aileen mengernyit bingung. "Kamu buat apa bawa wortel mentah? Kalau mau lauk wortel, Mama masakin aja." Perempuan pendek itu bertanya heran."Emang kapan aku suka wortel, Mama? Aku kan mau kasih makan kelinci. Pasti di kebun binatang ada kelinci," sahut Ayres yang dibalas Aileen dengan cubitan gemas di pipi gembul putranya."Yaudah sana! Berangkat sama Papa ke sekolah. Inget loh ya, jangan jauh-jauh dari Bu Guru!" peringat Aileen sambil mengaitkan tas bocah itu di punggungnya.Ayres menempelkan tangan di pelipis; memasang posisi hormat. Berikutnya, bocah itu berlari keluar diikuti Aileen dari belakang.Tapi, begitu sudah membuka pintu mobil, bocah itu malah berbalik dan berlari lagi menuju sang Mama. Aileen mengernyit. Apa lagi?"Kamu ketinggalan sesuatu?" tanya Aileen begitu Ayres