Adrian pov.
Apa kalian pernah mendengar bernafas tapi tak hidup?
Mungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedang menunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu berusaha untuk mengakhiri ini semua, namun mungkin Tuhan terlalu baik padaku. Karena semakin aku mencoba, jiwaku selalu terselamatkan. Jika nenek selalu merapal doa tiap malam di kamar dinginnya nan gelap agar aku sembuh, aku juga melakukan hal yang sama namun dengan permintaan yang berbeda, yaitu aku selalu memohon pada Tuhan jika hidupku tak berarti, ambil saja karena aku sudah tak butuh itu semua.
Aku tahu jika aku sakit, tapi bukan ragaku. Melainkan isi pikiranku. Aku tidak ingat keseluruhan ceritaku kenapa aku bisa sampai seperti ini. ya, dokter memvonisku Amnesia sebagian, ditampah depresi dan PTSD. Lengkap bukan penyakitku? Aku kehilangan sebagian memori masa laluku, termasuk bagaimana aku bisa menjadi seperti ini dan seorang wanita yang aku cintai tiba-tiba hilang begitu saja dari muka bumi. Dan sekali lagi, jika hidup adalah sebuah keajaiban aku ingin kembali mengingat memori itu atau setidaknya bisa bertemu kembali dengannya karena aku sangat merindukannya.
Setiap hari banyak obat masuk ke dalam tubuhku, itu belum ditambah suntikan yang menyakitkan jika aku mulai menyakiti diriku sendiri atau kepalaku yang tiba-tiba sakit seakan mau pecah. Bayang-bayang aneh tiba-tiba masuk ke dalam pikiranku. Jeritan meyayat, sebuah permintaan tolong, langit gelap, deburan ombak dan juga tawa-tawa misterius yang menyesakkan dadaku. Bahkan aku juga sering bemimpi tentang hal itu, membuatku bangun tengah malam dan berteriak histeris. Oh Tuhan, kapan aku bisa bermimpi indah?
“Lily....” aku tak mengerti kenapa tiba-tiba mulutku mengucapkan kata itu. gadis di depanku ini mempunyai wangi lavender yang begitu familir di hidungku. Wajahnya Asia-nya sangat cantik dengan kulit kuning langsat dan rambut panjang hitamnya mengingatkanku dengan seseorang. Apalagi suaranya.....
Akh....! tiba-tiba kepalaku sakit sekali. Terpaksa aku melepaskan tangannya yang benar-benar tak ingin aku lepaskan. Suara-suara itu kembali memenuhi rongga kepalaku. “Adrian....baiklah...aku menerima lamaranmu.....Adrian....awas.......!”
Semakin aku merasakan dentuman hebat di kepalaku. “Arrrghhh.....” erangku sambil memegangi kepalaku. Aku melihat nenek begitu panik. Oh tidak, kenapa nenek masih saja cemas padahal sudah melihatku seperti ini hampir setiap hari. Aku melihat Margareth tergesa meninggalkanku dan.....dan....gadis itu juga berlalu pergi meninggalkanku.
“Lily.....” erangku lirih. Sebuah wajah yang samar menari-nari di kepalaku sebelum akhirnya petugas medis menghampiriku dan membawaku menjauh untuk mendapatkan obat penenang dan penghilang rasa sakit.
*****
“Mungkin gadis itu bisa membantu memulihkan kesehatan tuan muda Nyonya.” Dokter Antoni menatap Anna Smith dengan serius. “Saya tahu ini memang penuh resiko jika membiarkan tuan muda kembali mengingat keseluruhan memori masa lalu di hidupnya. Namun cepat atau lambat ingatannya akan kembali.”
Anna menarik nafas. terpekur di kursinya. Selama dua tahun ini dia selalu mengarang cerita bohong tentang kecelakaan itu agar Adrian tidak semakin kesakitan. Karena setiap melihat cucunya itu menderita dan bahkan mencoba bunuh diri, Anna seperti kehilangan separuh dari jiwanya.
“Apalagi ini tentang Lily.” Lanjut Antoni. “dia sudah mulai mengingat Lily ketika bertemu dengan gadis itu.”
“Jadi apa yang harus saya lakukan dokter?” wajah Anna tampak putus asa.
“Sudah saatnya nyonya. Kita harus mengakhiri ini semua.”
“Maksudnya?” Anna tak mengerti.
“Sepertinya gadis itu bisa membantu tuan muda sembuh tanpa banyak rasa sakit. Berikan teman untuknya agar dia bisa melupakan traumanya sedikit demi sedikit.”
Ana tampak berfikir, apakah kalimat dokter Antoni ini adalah jalan terbaik bagi cucunya. Tapi bagaimana jika suatu saat nanti Adrian tersadar dari amnesianya dan kembali mencari sosok Lily yang sudah tiada?
Akh biarkan saja. yang terpenting adalah bagaimana saat ini Adrian bisa melalui ini semua dengan baik.
“Margareth....” panggil Anna kemudian. Wanita dengan rambut digelung itu mendekat dengan patuh.
“Cari tau siapa gadis itu tadi. Siapa tahu dialah keajaiban yang diberikan Tuhan atas doaku selama ini.”
“Baik nyonya.”
*****
Elisabeth pov.
“Operasinya besok pagi.” Andreas melirik mama yang tengah tertidur di ranjangnya
“Bagaimana paman bisa mendapatkan uang?” ucapku heran. “Bukankah mama tidak punya asuransi?”
Andreas menunduk. “Paman mencari pinjaman.” Ia berhenti lantas mengambil nafas. “dengan sebuah jaminan.”
Aku terkejut namun berusaha untuk menguasai keadaan. Tak mungkin aku berteriak di rumah sakit ini atas tindakan gegabah Andreas.
“Paman menjadikan rumah dan toko sebagai jaminan.”
Paman!” aku mengusap wajah frustasi. “Bagaimana.....bagaimana....bisa?”
Andreas menatapku.
“Tak ada pilihan lain El. Tak mengapa aku kehilangan semua yang kumiliki asal buka Lita.” Air mukanya tampak keruh. Terlihat jika matanya sudah merembes basah. Rupanya Andreas tidak main-main dengan kalimatnya.
Aku tak menjawab. harus berkata apalagi sekarang. Menyalahkan dia atas tindakan gegabahnya padahal itu semua memang untuk kebaikan mama? Sejujurnya akupun bersyukur mama bisa lekas operasi. Itu berarti kesempatan mama jauh lebih banyak. Namun aku bingung, apa yang harus aku lakukan agar rumah dan toko bisa terselamatkan?
******
Pagi ini aku bergantian menjaga mama dengan Andreas. Pria itu menyuruhku pulang untuk istirahat sebentar sebelum aku kembali lagi ke rumah sakit untuk operasi mama. Aku neyetujui usul itu. selain karena aku juga butuh istirahat untuk memulihkan kondisiku, juga mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Bahkan secangkir kopi pun tak mempan untuk mengusir kantuk ini. Aku butuh tidur, itulah obat paling manjur untuk saat ini.
Rumah kecil di pinggiran kota Budapest ini merangkap toko di depannya. Setelah menikah, mama dan Andreas membuak toko swalayan kecil di depan rumah kami, dan aku rasa hidup mereka cukup bahagia dengan kesederhanaan ini, apalagi lahir seorang anak laki-laki kecil yang sekarang berusia enam tahun bernama Nicholas. Adikku yang lucu sekali.
Baru saja aku hendak memejamkan mataku saat tubuhku bergoyang. Aku membuka mata dengan malas dan mendapati Nick menarik-narik bajuku.
“Ada apa Nick?” aku menggeser tubuhku. “Apa kamu lapar?”
Dia menggeleng. Baguslah jika dia tidak lapar, karena aku malas pergi membeli makanan sementara Rebecca pergi bekerja.
“Ada yang mencari kakak.” Jawab Nick dengan logatnya yang khas.
Aku mengerutkan kening. “Mencari kakak? Kamu yakin?” tanyaku sanksi. Siapa yang mengenalku di sini selain keluargaku dan paman Sam pemilik toko daging seberang rumah.
Mata biru itu bergerak-gerak.”Aku juga tidak tahu. Paman itu rapi sekali....”
Aku tercenung sejenak, mencoba mengumpulkan nyawaku sebelum akhirnya beranjak menyingkap selimut dan turun ke lantai bawah diikuti Nick disampingku.
Lelaki itu belum pernah kutemui sama sekali. Pria berkulit putih dengan rambut pirang itu terlihat modis dengan setelan jas hitam dan rambut disisir ke belakang. Memperlihatkan aura misteris sekaligus berwibawa yang barcampur menjadi satu.
Aku kira dia adalah seseorang aneh yang tak akan tersenyum. Nyatanya saat aku tiba di depannya, dia langsung berdiri engan sopan dan tersenyum padaku.
“Kenalkan, nama saya Justin.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
*******
Elisabeth pov. Pertemuanku dengan pria bernama Justin tadi tak mudah aku lupakan begitu saja. Pria itu mengusikku, mengusik pikiranku tentu saja. Anggap saja dia seseorang yang ingin mengambil sesuatu dari hidupku. Tidak...aku tidak menyebutnya jahat, aku tahu dia sedang menjalankana perintah. Tapi aku merasa jika timming-nya tepat sekali. Bagaimana dia tahu jika ibuku sekarang sakit, bagaimana dia tahu jika papa tiriku membuat pinjaman dengan rumah dan toko sebagai jaminan dan kami kini sedang kesulitan, bagaimana dia tahu bahwa aku dulu kuliah sebagai perawat meskipun pada akhirnya bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Bagaimana? Bukankah timming-nya pas saat dia menawariku untuk bekerja pada keluarga Smith dengan iming-iming membayar semua pinjaman yang ayah tiriku lakukan yaitu dengan Membantu cucu mereka untuk sembuh dari penyakit PTSD dan gangguan paniknya hanya karena kemarin di rumah sakit, pria yang duduk di atas kursi roda itu bisa menyebutkan s
Adrian POV. Elisabeth Soedarjo. Itulah nama dari gadis yang merawatku sekarang. dia datang tadi pagi, mengetuk pintuku perlahan saat aku sedang asyik melihat hujan yang turun dari langit. Aku ingat, bahwa dia adalah gadis di rumah sakit itu. sepertinya dunia memang sempit, bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini. Merawatku dengan baik. Aku memang tak peduli pada siapapun yang sudah merawatku selama ini. karena mereka selalu berorientasi dengan uang, bukan karena perasaan tulusnya menjaga seseorang. Entahlah berapa yang nenek berikan, tapi aku sering mendengar mereka bergumam di belakagku ‘kalau tid
Elisabeth pov. “Selamat pagi tuan muda.” Aku tersenyum lebar. Sepagi ini dia sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Seperti biasa, dia hanya menoleh padaku dengan tidak begitu antusias. Aku beranjak mematikan lilin aromatherapi yang berada di sudut kamar lalu membuka jendela. Cuaca sedang bagus hari ini, dan aku berniat mengajaknya untuk berjalan-jalan disekitar rumah. kata ibu udara pagi cocok untuk kesehatan. “Apakah tuan muda siap untuk berjalan-jalan pagi?” tanyaku lantas mengambil sebuah mantel berwarna hitam dari dalam almari. “jalan-jalan?” dia menoleh. &
Elisabeth POV. Stella berkata bohong. Gadis itu mengatakan padaku sebelum dia pergi bahwa Adrian adalah seorang pria yang menyusahkan. dia sering histeris, tak pernah mau merespon apapun yang Stella katakan dan yang paling menyedihkan adalah pria itu seperti mayat hidup. Tapi menurutku tak seperti itu. ya....meskipun pada dasarnya Adrian lebih terkesan apatis, namun menjaganya ternyata begitu sangat mengasyikkan. Dia menerima suapanku dengan baik setiap kami makan, bahkan beberapa hari ini dia sudah mulai makan bersama neneknya di ruang utama. Setiap pagi kami memberi makan merpati, kali ini kami berjalan beriringan tanpa menggunakan kursi roda lagi. Bukankah ini seperti keajaiban? Padahal aku belum ada sebulan tinggal disini. &nb
Adrian POV. Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secara teratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok di depannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik. Mas
Mereka berdua menyusuri satu persatu lukisan yang terpajang rapi di galeri itu. berbagai lukisan dari beberapa seniman yang mengadung banyak makna bagi para pecinta seni lukis. “Kamu bisa melukis El?” Adrian menyapu pandangannya pada satu persatu lukisan di galeri itu. dia tidak tahu mengapa setiap mendengar dan melihat lukisan ada perasaan tertarik yang luar biasa di benaknya, padahal dia juga tak bisa melukis. Seakan ia mempunyai hubungan emosional yang begitu dengan dengan lukisan, Elisabeth menggeleng, lantas tersenyum. “Aku menggambar pohon saja wujudnya bukan pohon.” Jawabannya membuat Adrian menoleh. “Maksudku aku sama sekali tidak bisa.” Adrian mengangguk kecil, menyusuri lukisan-lukisan
Elisabeth pov. Aku tahu jika menerima ajakan David untuk bertemu adalah sebuah kesalahan besar. Itu sama saja aku sedang mencoba untuk kembali mendekati dia atau sedang membuka kembali luka lama. Namun nyatanya, meskipun aku mencoba menolak, tetap saja aku berada di tempat ini sekarang. sebuah cafe di pusat kota Budapest yang sangat ramai bersama David tentunya. Pas sekali dia menghubungiku semalam karena hari ini memang aku libur. Awalnya aku ingin pulang dan menjenguk mama, tapi entah kenapa lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengatakan tidak setelah dia mengatakan ‘ayo besok keluar untuk minum kopi El.’ Pria blasteran Jerman itu memang luar biasa pandai dalam mengaduk-aduk perasaanku. Kami pacaran
Sesuai janjinya, David mengantarku sampai di depan pintu gerbang rumah keluarga Smith ketika mengantarku pulang. Itupun sebenarnya aku bersikeras tidak mau, tapi aku kenal David, ia bukanlah tipe orang yang pantang menyerah dalam semua hal dan ia pasti akan berusaha dengan banyak cara agar bisa mengantarku. “Kapan hari liburmu El?” tanyanya saat aku berusaha melepaskan seat belt. “Setiap hari minggu aku libur.” Jawabku acuh tak acuh. “Bagus!” soraknya girang. “Jadi setiap minggu, aku akan menjemputmu di sini.” Aku tidak menjawab, hanya memutar bola mataku dengan malas. Lagipula apakah ia adalah orang yang banyak wakt