Share

Bab 5. Terjebak

Gadis itu, Bumi memandang Langit tak percaya. Kenapa juga ketemu cowok ini lagi? Cowok yang membuatnya terpaku beberapa saat lamanya. Bumi terdiam. Menyetandarkan motornya, tetap duduk di motor, bersedekap sambil menatap ke luar gubuk.

Hanya berteman suara hujan. Terus menggila dengan angin yang deras. Langit menatap Bumi dari samping. Gadis semanis madu membuatnya terlena untuk sepersekian detik. Masih dengan pakaian yang tadi. Flanel panjangnya telah basah oleh air  hujan.

“Kau bisa duduk di sampingku,” kata Langit setelah kesenyapan membosankan. Bumi bergeming. Ya ampun terbuat dari apa cewek ini? Langit mengibaskan rambutnya yang mulai memanjang dan menyugarnya, mencoba sabar.

“Bumi!” 

Tak ada suara, Bumi hanya membuka helm, menaruh di stang motor sebelah kanan. Dari ekor mata dilihatnya Langit menghujaninya dengan tatapan penuh. Senyum langit membuat Bumi kembali menatap luar gubuk. Badai yang menggila mau tak mau tempias ke tubuh Bumi. Langit berdiri, mendekati Bumi.

“Kamu bisa basah kuyup,” katanya tegas.

Bukannya menjawab, Bumi hanya melihat kecil ke arah Langit. Terkesima, itulah yang membuat Langit menelan salivanya langsung.

“Lepas flanelmu,” kata Langit akhirnya melihat Bumi tetap bergeming, padahal air hujan benar-benar membuatnya makin basah. 

Walau tak dianggap, Langit melepas jakit jinsnya. Cuek, Bumi hanya melirik sekilas. Ia kedinginan, tapi terlalu malas menanggapi Langit. Coba ada tempat berteduh lain, tak bakal ia berhenti di sini. Kenapa juga tak bawa mantel tadi? Bumi hanya menekan kekesalannya sendiri.

“Bumi,” kata Langit lembut. 

Walau bagaimanpaun ia tak ingin Bumi sakit karena kedinginan. Melihat ke atas, sepertinya hujan bakalan awet. Tetap diam, Langit akhirnya menarik tangan Bumi setengah memaksa.

“Turun, duduk sini Bumi, kau bisa sakit nanti!” ungkapnya tegas.

Akhirnya Bumi dengan terpaksa turun dari motor dan duduk di meja. 

“Lepas flanelmu,” kata Langit lagi. 

Meskipun malas, Bumi melepas juga kemeja flanel yang telah basah itu. Hanya dengan t-shirt hitam ngepas di tubuh semampainya, lekuk tubuh Bumi terlihat lebih jelas. Langit dibuat tak percaya karenanya. Gunung kembar itu tampak menantang sesuai tubuh tingginya, dengan rambut setengah basah. Menambah keseksian si gadis desa yang mungkin nyasar ini. Harusnya ia berada di antara bidadari kayangan. Langit dibuat termangu untuk terus menatap kemolekan di hadapannya. Bagaimanapun ia harus bertahan untuk tak tergoda, tapi, mana bisa?

Bumi merunduk, lalu mengangkat muka. Tepat saat Langit mendekatnya. Hidung mereka hampir beradu. Ya ampun ada makhluk indah seperti ini di hadapannya! Langit menggelengkan kepalanya beberapa saat, lalu menarik nafas dalam-dalam. Tuhan, beri aku kekuatan, batin Langit.

“Pakai ini,” kata Langit sembari menarik kemeja flanel Bumi dan menaruh di stang KLX-nya. Pelan, menjauh dari wajah Bumi, kemudian memakaikan jaket jins miliknya ke bahu Bumi.

“Makasih.” 

Akhirnya, keluar juga kata itu dari mulut Bumi. Setelah beberapa menit keduanya hanya diam. Kemudian Langit duduk di samping kirinya. Tak ada jarak, karena meja tak lebih dari 1,5 meter, keduanya diam kembali. 

Sama-sama diam mambuat Langit dipacu geregetan. Dengan ekor mata, Langit menatap sepuasnya wajah eksotis sawo matang itu. Hidung mbangirnya, bibir mungilnya, memporakporandakan otak nakal Langit. Bagaimanapun ia lelaki normal. Angannya sudah kemana-mana, betapa ingin menyentuh dan melumat sepenuhnya. Ah....

Dalam hati, Langit berdoa, hujan saja terus hingga subuh, biar ia bisa bersama Bumi yang beku ini semalaman. Haha, pemikiran gila. Mungkin ia harus mulai ngomong, walaupun sebenarnya, Langit bukan tipe orang yang kurang  suka banyak ngomong. Daripada sunyi begini?

“Kamu tinggal sama Pakde dan Bude Tejo?” tanya Langit memulai obrolan.

Gelengan kepala Bumi membuat Langit meringis.

“Lalu?” tanya Langit menuntut jawaban.

Akhirnya wajah segula aren pasir itu menoleh.

“Maksudnya?” 

Hujan, parau, dingin terdengar suara Bumi nan seksi. Tengkuk Langit meremang, sebeku ini, bagaimana Langit mampu menekan rasa ingin tahunya?

“Tinggal dimana?” lanjut Langit.

“Deket,” jawab Bumi singkat.

“Mana?” tanya Langit lagi.

“Kenapa?” Malah ganti nanya. Bumi mengerling, melihat ke arah Langit yang makin terpaku pada tatapan mata jernih Bumi.

“Aku nggak boleh tahu?” suara Langit menggantung.

“Boleh.”

“Dimana?” 

Bumi menarik nafas cukup panjang, melihat tepat iris mata Langit sejenak. Meskipun begitu mampu menggelegakkan jantung Langit seolah copot dari lantai 5 gedung pencakar langit. Pencakar langit lantainya 5 doang? Haha....

“Kenapa?” Langit bertanya dengan suara parau. Ia bingung mau ngomong apa dengan tatapan Bumi yang takjub itu. Bukan menjawab, Bumi mengalihkan pandangannya ke arah berlainan.

“Aku cuma mau ngembaliin dompetmu, nggak boleh?” 

Wajah Bumi menoleh kembali ke Langit mulutnya terbuka sedikit, kaget.

“Oh,” jawab Bumi mengangguk-angguk. Sudut bibirnya tertarik ke atas, senyuman singkat!

“Titipkan saja ke Bude atau Pakde tejo.”

Jawab yang membuat Langit melongo akut. 

“Atau kuambil besok,” lanjutnya membuat tampang Langit berubah-ubah tak karuan.

“Aku mau antar saja,” jawab Langit bersikeras.

“Ngerepotin entar,” sambar Bumi cepat.

“Aku nggak merasa repot.” Langit menekankan suaranya. Bumi mendelik sewot, seakan heran dan berkata mengapa.

“Biar aku tahu rumahmu,” jawab Langit akhirnya, seolah tahu isi hati Bumi.

Ya ampun ini cewek bener-bener, deh, gerutu Langit dalam hati sambil mengetuk-ketukkan jari di atas meja.

Mulut mungil itu tersenyum kembali. Maduuuu!

Hening kembali. Langit melirik Bumi beberapa kali, wajahnya tetap dingin, menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Semakin menggelap, air masih tumpah ruah dari atas. Drrt... drrt..., suara ponsel berbunyi. Langit segera mengambil ponsel dan membuka layar. 

“Waalaikumsalam,” jawab Langit serius.

“....”

“Nggak usah Pakde, tak apa, sudah berteduh dari tadi, kok.”

“....”

“Aman.”

“....”

“Makasih Pakde, nggak usah, aku bisa balik sendiri entar nunggu hujan agak reda.”

“....”

“Oke, waalaikumsalam.” 

“Pakde Tejo,” kata Langit pada Bumi yang melihatnya penuh tanya.

“Oh,” kepalanya mengangguk.

Langit masih ingin berlama-lama dengan Bumi, gadis yang aneh dan dingin ini. Udara yang benar-benar dingin memang membuat suasana makin gelap dan buram, suram. Membeku. Langit menggeser tubuh, merapat tubuh Bumi. 

“Dingin?” tanya Langit. Dilihatnya bibir Bumi mulai membiru. Duh, Langit jadi khawatir, harusnya tadi  ia mengiyakan saran Pakde Tejo yang berniat menjemput. Kalau sampai Bumi sakit? Langit pasti tak akan memaafkan dirinya sendiri.

Bumi diam, tapi Langit tahu dia sangat kedinginan. Perlahan, Langit merangkul bahunya, mendekatkan ke tubuhnya. Tenang, bagaimanapun juga, ia masih waras, tak bakal menyakiti cewek siapapun itu. 

Tubuh Bumi menolak, tapi akhirnya diam saja dengan perlakuan Langit. Langit memegang kepala Bumi, menyandarkan ke bahu kekarnya. Bumi diam, manut, tak ada penolakan apapun. Mungkin karena terlalu kedinginan atau apa Langit tak tahu. Bukannya ia mengambil kesempatan dalam kesempitan tapi suasana mendudkung. Duh... gimana coba? Langit menggeram sendiri.

Diaturnya detak jantung yang berderap bagai tap-tap aneh yang makin tak karuan. Hujan makin mereda dan tinggal sedikit rintik. Bumi menegakkan tubuhnya, sedikit menjauh. Rangkulan Langit kulepas.

“Makasih,” kata Bumi lalu melepaskan jaket jins.

“Kau pakai saja,” kata Langit segera dan menahan Bumi melepaskan jaket itu.

“Tapi,” desisnya pelan. Suaranya bergetar, dingin.

“Tak apa, pakai aja,” jawab Langit.

Hening.

“Aku antar kamu pulang,” ujar Langit setengah memaksa. Bumi menggelengkan kepala tapi udara menjelang malam gini, mana bisa Langit membiarkan Bumi sendirian pulang? Jalanan sudah sepi senyap dari tadi. 

“Tak perlu,” jawab Bumi bersikeras. Ia menaiki motor, memakai helm, lalu menghidupkan mesin motor. Dicobanya menyetater dengan kaki kanan. Namun, grek, grek, mesin mati. Diulang lagi, sama saja. 

Langit menahan senyum. Kan makanya mending manut saja kenapa sih biar kuanterin pulang? Batin Langit berpikir miring. Tapi, faktanya....

“Biar aku, deh,” kata Langit mengambil alih stang motor sebelah kanan, lalu mulai menyetaternya. Beberapa kali dicoba, tetap tidak bisa. Bumi turun dari motor, gantian Langit ke atas motor. Dicobanya sekali lagi, gagal lagi. Ditolehnya Bumi.

“Ayolah, biar aku hubungi Pakde Tejo untuk urus motormu ini, aku antar kamu pulang,” kata Langit. “Toh nggak nyala juga kucoba.”

Tak ada jawaban dari Bumi. Langit turun dari motor, melihat ke bagian bawah. Cek mesin motor, mungkin ada yang tidak beres? Ah, sama saja, mending biar diurus Pakde Tejo. Melihat wajah Bumi, Langit mana tega? Dicobanya menyetater ulang entah untuk keberapa kali. Tetap saja tak bisa nyala.

“Kuantar pulang, ya,” ujar Langit setelah motor tetap macet.

Menyerah, Bumi akhirnya setuju dengan anggukan kepalanya pasrah.

Segera Langit telepon Pakde Tejo.

“Ya, assalamualaim. Pakde, motor Bumi macet di persimpangan agak utara.”

“....”

“Di gubuk bekas orang jualan....”

“....”

“Oh, baiklah.”

“....”

“Tak apa, nunggu hujan reda tadi, kebetulan saja, kok.”

“....”

“Tak perlu, biar aku antar Bumi.”

“....”

“Dekat kebun krisan kedua. Pakde suruh pekerja Pakde urusin motor bumi, ya.”

“....”

“Iya, di gubuk.”

“....”

“Oke.”

Langit menoleh ke Bumi.

“Beres,” kata Langit. Bumi hanya mengangguk kecil.

Segera Langit memakai helm lalu naik ke KLX. Kemeja flanel bumi ditaruhnya di stang depan. Ribet juga tapi tak apalah.  Bumi membonceng di belakang, itupun tak ada acara pegang tangan. Hmmm, dasar ini cewek sebeku es. 

Dilajukannya motor perlahan, lalu mulai cepat karena jalanan sepi. Menembus kebun alpukat, sawah, lalu perkebunan krisan. Beberapa kali lengkungan jalan dilewatinya.

“Rumahmu dimana?” tanya Langit menoleh ke belakang setelah sampai di pusat desa.

“Maju lagi, perempatan itu belok kanan,” jawab Bumi sedikit teriak serak karena suara deru motor. Langit mengangguk kemudian melajukan motor ke arah seperti yang dikatakan Bumi. Setelah melewati pasar desa, motor menuju perempatan. Ada 4 ruko berjejer di situ.  

“Situ,” tangan kirinya menunjuk sebuah ruko, bagian pojok kiri. Ada tulisan Bumi Florist di bagian atas ruko. Motor berhenti. Bumi turun dari boncengan, mengambil flanel yang ditaruh di depan.

“Makasih,” kata Bumi perlahan.

Beberapa saat Langit terdiam.

“Nggak suruh aku mampir?” tanya Langit menggoda. Pertanyaan itu mampu membuat Bumi salah tingkah sendiri. Desahan nafasnya terlihat berat. Wajahnya memucat. 

“Boleh,” akhirnya keluar juga jawaban yang diharapkan Langit.

“Lewat belakang saja,” katanya kemudian. Lalu berjalan ke belakang ruko. Ada garasi terbuka di sana. Bumi membuka pintu lewat garasi. 

“Kumasukkan motornya?” tanya Langit ragu.

“Boleh,” sahut Bumi sambil membuka pintu garasi agak besar. Pelan, Langit mengikuti langkahnya dengan menuntun motor kemudian diparkirnya motor di garasi. Melalui sudut netra, Langit melihat Bumi menunggu bersandar di pintu. Cepat Langit melepas helm, menaruhnya di motor. Tubuh Langit berbalik saat pemandangan di hadapan membuat Langit terpekik panik.

“Bumi!”

@@@

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status