Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya.
“Kak aku pergi dulu, ya!
“Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!”
Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar.
“Maaf menunggu!
“Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang?
“Ke toko mesin jahit, Mas!
“Iya, maksudku ke toko mana?
“Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.”
“Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.”
Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan.
“Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan.
Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan.
Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota.
Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap.
Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.
<Bab 1Cahaya matahari perlahan redup menerangi bumi. Angin berembus menderu menghempas-hempaskan dahan-dahan di sekitarku. Deburan ombak terasa basah oleh uap air yang terbawa angin menerpa wajahku. Aku tersadar dari lamunanku. Sudah seharian aku duduk di tepi pantai merenung untuk mengambil keputusan yang menyangkut masa depanku. Ini adalah keputusan terberat yang akan aku ambil untuk masa depanku, keluargaku dan adik-adikku. Aku mendesah dalam hati.“Andai semua ini tidak pernah terjadi dan hanya mimpi.Aku menangis tergugu menangkupkan kedua tanganku, tubuhku bergetar menahan tangisan.“sanggupkah aku menghadapi semua ini,” rintihku.Terlintas kejadian semalam, bapaku terbaring lemah tak berdaya. Sakit livernya kambuh karena beban berat yang ditanggungnya.Aku mendengar bapak dan ibu berdebat ribut membahas masalah rumah yang digadaikan oleh pamanku yang akan disita oleh sang rentenir, yang sudah lewat jatuh tempo.
Bab 2Setelah peristiwa pelunasan dan penebusan sertifikat bapak menjadi pendiam dan sering marah-marah. Ibu juga menjadi pendiam dan sering menangis.Ditambah lagi suara-suara tetangga yang sangat menyakitkan dan tidak enak di dengar. Waktu ibu akan pergi belanja ke warung dia tanpa sengaja mendengar para tetangga membicarakannya.“Bu Ida itu kebangetannya tega sekali menjual anaknya,” kata bu Mita sibiang gosip.Sambil memilih-milih sayuran yang akan dimasaknya bersama tetangga lainya, mereka juga ikut nimbrung ngomongin Ibu.“Iya masak, anak ditukar untuk membayar hutang dan akan dinikahkan dengan pria yang sudah tua tega banget,” sahut mbak Ning.“kalau aku amit-amiiit jangan sampai,” mbok Yas nimbrung.“Orang tua kok kayak gitu, ngorbankan anaknya demi kesenangan sendiri tidak mikir kebelakangnya , tidak hati-hati dalam bertindak , gayanya aja sok kaya padahal banyak hutaaang,” kata bu Mita.
Bab 3Hari pernikahanku dengan pak Badrun akan ditentukan, hatiku semakin cemas dan khawatir mengingat akan diadakan berlangsungnya pernikahanku nanti. Untuk menenangkan hatiku aku berusaha untuk menghibur diri sendiri, dan berusaha mengingat kebaiakan-kebaikan pak Badrun. Sebenarnya pak Badrun itu tidak terlalu buruk, walaupun sudah berumur lumayan tampan, hidung mancung, berpostur tinggi, atletis dan hitam manis. Pak Badrun sering olah raga dan merawat diri, jadi walau sudah berumur tetap kelihatan lebih muda dari umurnya. Orangnya berpenampilan bersih dan rapi.Hari ini pak Badrun dan keluarganya akan datang untuk melamarku. Ibu sibuk di dapur menyiapkan masakan yang akan disajikan. Kini lengkap sudah hidangan di meja makan dan meja tamu. Tinggal menunggu kedatangan calon suamiku yaitu pak Badrun dan keluarganya.“tiin ... tiin ....”Pak Badrun membunyikan klakson mobil ketika sudah sampai depan rumahkuPak Badrun dan kel
Bab 4Aku tersadar dari pingsanku, lalu perlahan kubuka mataku dan sudah ada ibu di sampingku, ibu memijit-mijit kepalaku dan kakiku. Aku merintih kesakitan merasakan kepalaku yang terus berdenyut.“Aaargh ....”“Kamu kenapa, Rin?” tanya Ibu.“Tidak apa-apa, Bu!” mungkin hanya kelelahan saja,” jawabku.Ibu lalu berdiri melangkah keluar kamar, tidak lama kemudian ibu sudah kembali masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi beserta lauknya dan segelas teh manis hangat.“Ayo makan dulu!” Ibu perhatikan dari pagi tadi Kayaknya kamu belum makan, Rin,” perintah Ibu.Ibu menuju nakas mengambil obat.“Setelah makan, minumlah obat ini, pereda sakit kepala untuk meringankan sakitmu.”Ibu lalu menyodorkan sepiring nasi yang dibawanya dan obat sakit kepala. Aku mengganti posisiku yang semula tidur lalu bangun dan duduk menyandarkan punggungku di sud
Bab 5Enam bulan sudah usia perkawinanku dengan pak Badrun. Hatiku juga masih belum bisa menerima kehadirannya dan masih canggung jika berada di sampingnya, hari demi hari kulalui seperti biasa. Aku masih tinggal bersama keluargaku.Pak Badrun tidak setiap hari pulang, hanya satu sampai dua hari dia pulang ke rumah kemudian pergi lagi. Jika pulang aku melayaninya dengan baik sebagaimana istri pada umumnya. Menyiapkan baju, memasak dan menyiapkan keperluan-keperluan lainnya. Dia juga tidak banyak menuntut jadi aku tidak terlalu tertekan.Sejak pernikahan itu aku menjadi lebih pendiam dan banyak melamun.Melihat aku tidak bahagia membuat bapak semakin tertekan dan semakin memperburuk penyakitnya. keadaan ini membuat kesehatannya terganggu apalagi ditambah omongan-omongan tetangga yang terus memojokkan bapak, di suatu pagi.“aaargh ....!”“Hueek ... huueek ....!”Kulihat bapak muntah darah. Bapak kesakitan,
Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik, sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan dan kebahagiaan. Apalagi sejak bapak pergi untuk selamanya. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan. Terkadang hal itu membuatku menangis. Di malam hari ketika beranjak tidur, aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut. Aku selalu tidak terima dengan pernikahanku, aku merasa pernikahanku dengan pak Badrun tidak adil bagiku.Hari ini akan diadakan selamatan untuk memperingati ke empat puluhhari kematian bapak, ibuku mengadakan acara tahlilan mengirim doa untuk almarhum bapak. Ibu sudah mulai menerima kepergian bapak. Kesedihannya berangsur-angsur hilang.Ibu mendatangkan tukang masak dan meminta bantuan para tetangga, ibu mengumpulkan para tetangga untuk membantu memasak. Dan menyiapkan hidangan untuk acara“Acaranya tahlil nanti jam berapa, Bu Ida?”Bu Yayah tukang
Suamiku pak Badrun menelepon mengabarkan, hari ini dia akan pulang. Dan di sini akan lama karena ada urusan bisnis di kota ini. lambat laun aku mulai menerima kehadiran suamiku. Suamiku selalu bersikap lembut dan penuh kesabaran kepadaku. Biasanya dia pulang sampai rumah pukul lima sore. Ibuku sibuk di dapur memasak untuk di hidangkan nanti kalau suamiku pulang.“Rin, ini masakan sudah siap, nanti kalau suami Kamu pulang, tinggal memanasi saja.”“Ya Bu! Jawabku.Ibu datang menghampiriku dan mengajaku berbicara.“Rin, apakah Kamu sudah bisa menerima, pak Badrun?Aku terdiam menanyakan pada hatiku, lalu mendesah.“Entahlah, Bu!“Cobalah untuk menerimanya, agar hatimu tidak terlalu tersiksa, pak Badrun itu juga baik serta bertanggung jawab.Aku memikirkan kata-kata ibu, yang ku rasa benar perkataannya. Suamiku pak Badrun selalu membahagiakanku, tidak menuntut dan memaksakan apa pun padaku.
“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.“Nanti saja Mas, aku masih mual.”“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.“Aku keluar dulu ya, Rin?”“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.