Share

Sesal

Author: Ayu Rahayu
last update Last Updated: 2021-09-17 15:23:43

Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik, sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan dan kebahagiaan. Apalagi sejak bapak pergi untuk selamanya. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan. Terkadang hal itu membuatku menangis. Di malam hari ketika beranjak tidur, aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut. Aku selalu tidak terima dengan pernikahanku, aku merasa pernikahanku dengan pak Badrun tidak adil bagiku.

Hari ini akan diadakan selamatan untuk memperingati ke empat puluh

hari kematian bapak, ibuku mengadakan acara tahlilan mengirim doa untuk almarhum bapak. Ibu sudah mulai menerima kepergian bapak. Kesedihannya berangsur-angsur hilang.

Ibu mendatangkan tukang masak dan meminta bantuan  para tetangga, ibu mengumpulkan para tetangga untuk membantu memasak. Dan menyiapkan hidangan untuk acara

“Acaranya  tahlil nanti jam berapa, Bu Ida?”

Bu Yayah tukang masak menanyakan  acara tahlil, agar dia tepat waktu dalam menyelesaikan dan menyiapkan  masakannya.

“jam setengah tujuh

malam, usai magrib.” Jawab Ibuku.

“Oh, kalau begitu aku mau mulai memasak, biar nanti masakannya matang tepat waktu.”

“Silakan! Bahannya juga sudah saya persiapkan semuanya.

Bu Yayah berjalan ke arah dapur, mulai meracik bumbu dan mulai memasak. Para tetangga ikut sibuk  membantu. Melihat kesibukan mereka, aku keluar kamar ikut membantu.

“Eh, mbak Arini! Sehat mbak?” tanya bu Sri tetanggaku.

“Alhamdulillah, sehat Budhe,” jawabku.

Aku menjawab pertanyaan bu Sri sambil bersalaman dengan ibu-ibu yang sedang memasak di dapur. Seperti biasa di desaku jika ada salah satu warga yang sedang punya hajat atau lelayu, mereka dengan suka rela datang membantu. Tapi kalau yang tukang masak tidak suka rela tapi bayaran karena pekerjaannya berat sendiri. Mereka bekerja dengan sendau-gurau dan berbinang-bincang.

“Suami mbak  Arini, kok nggak kelihatan,” tanya bu Sri tetanggaku yang terkenal kepo sekampung.”

“Tidak bisa pulang, Budhe karena lagi sibuk.”

“Kok suami mbak Arini, jarang pulang ya?” jangan-jangan ada main di luaran, mbak Arini nggak  curiga, apa?”

Sebenarnya aku sebel menjawab pertanyaan ini, dalam hati aku merasa semakin suamiku tidak pulang semakin lebih baik, tetapi berhubung bu Sri orang tua dan aku menghormatinya jadi aku menjawabnya dengan hati dongkol.

“Nggak bu Sri, aku percaya pada suamiku.”

Lalu aku pergi meninggalkannya. Kalau terus diladeni malah nanti pertanyaannya ke mana-mana.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam empat sore, para tetangga yang ikut membantu memasak sudah mulai pamit satu persatu. Rumah sudah mulai sepi tidak seramai tadi.

“Assalamualaikum!"

Terdengar suara salam yang tak asing bagiku, pamanku datang dengan wajah lesu dan kekawatiran. Aku melihatnya terasa dadaku ingin meledak dan tanganku gatal ingin mencakar-cakar tubuhnya.

“Berani-beraninya paman datang ke sini!” mau apa lagi, ha!” mau menghancurkan hidup kami lagi!” pergi!!!!!

“Hik! Hiik! Hiiik! ....”

“Paman tahu tidak, semuanya gara-gara paman, aku harus menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Semua masa depan dan harapanku hancur gara-gara Paman!”

Aku menangis tersedu-sedu, paman hanya diam pasrah dan semakin menundukkan kepalanya Mendengar aku menangis dan ribut-ribut, ibu bergegas menghampiriku. Melihat kedatangan paman ibu lebih bersikap keras pada paman.

“Mau apa!” Mas datang ke rumahku lagi! Mau menyakiti keluargaku lagi!” ha, jawab! Belum puas apa yang, Mas Karjo lakukan pada keluargaku!” tega Kamu!!!

Ibu menangis tergugu, menahan sakit hatinya yang telah tersakiti oleh kakaknya sendiri.

“Lihatlah!” akibat perbuatanmu, suamiku meninggal dan Arini harus merelakan dirinya menikah dengan pria dewasa,” cerca ibuku.

Paman terus tertunduk tidak berani menatap ibu. Dengan suara tercekat paman berkata pada ibu.

“Maafkan!” Maafkanlah aku, Ida! Aku tidak bermaksud menipumu,” pinta Paman.

“Gampang sekali ya, Mas!” Kamu minta maaf, Kamu tidak memikirkan bagaimana suamiku, menanggung beban yang tidak dilakukannya.”

“Sungguh bukan niatku, melakukan itu. Situasilah yang membuatku begini, waktu itu rekan kerjaku membawa lari semua uangku, aku yang bertanggung jawab, sedangkan pihak yang berwajib mencari-cariku.

Paman terus menjelaskan pada ibuku, untuk mendapatkan maaf dari ibu.

“Aku benar-benar menyesal Ida, maafkanlah aku, kumohon!” sungguh aku tak ada niat untuk mencelakakan keluargamu.

Paman menangis, langsung menubruk kaki ibu dan berkali-kali memohon maaf pada ibu.”

“Maafkan!” maafkanlah aku, Ida!” Kamu boleh melakukan apapun kepadaku, Kamu boleh melaporkan diriku ke polisi, jika Kamu mau, asal kau mau memaafkan diriku.

“Aku, tidak setega itu, Mas! Kalau aku mau, sudah dari dulu Ku laporkan kelakuanmu itu.

Dengan suara lirih pak Karjo berkata.

“Maafkan aku! Aku tidak bisa mengganti uangmu yang aku pinjam, sekarang semua asetku sudah terjual habis dan aku mengalami kerugian. Bahkan istriku pergi meninggalkanku pulang ke rumah orang tuanya bersama anak-anakku.

Mendengar penjelasan pamanku, suasana jadi hening, semua terdiam dengan pikirannya masing-masing.

Ibu merasa iba mendengar cerita paman. Bagaimanapun juga paman juga saudara kandungnya. Ibu akhirnya hatinya luluh. Begitu juga dengan diriku.

Ibu menyuruh paman untuk istirahat. Ibu tidak tega melihat keadaan paman yang tidak terurus, tampak kusut dan kumal. Ibu menyuruh paman untuk mandi dan menyiapkan makanan. Serta memberikan pakaian bersih milik bapak, ibu pinjamkan untuk paman.

“Mandi dulu sana!” ini pakaian bersih dan setelah itu makan.”

Paman pun beranjak dari tempat duduknya, masuk ke kamar mandi. Sedangkan aku masih belum bergeser dari tempat dudukku, entah apa yang berkecamuk di dalam pikiranku. Antara memikirkan tentang masa depanku, dengan melanjutkan hidup berumah tangga bersama orang yang tidak kucintai.

“Kak!kak!”

Suara panggilan adikku lasmi.  membuyarkan lamunanku.

“Ada apa, Lasmi?”

“Bantu aku, Kak!” memindahkan kursi-kursi ini,” pinta adikku lasmi.

“Oh, ya sebentar!

Aku beranjak dari kursi yang aku duduki, berjalan menghampiri adikku Lasmi yang sibuk menggeser-geser kursi. Lalu ikut membantunya. Setelah selesai kami berdua membentangkan karpet, untuk duduk para tamu.

Sementara ibu dan bu Yayah sibuk mempersiapkan hidangan dan minuman untuk disajikan kepada para tetangga dan sanak saudara, yang akan ikut tahlilan.

Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam, acara tahlil akan segera dimulai, para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Pamanku setelah selesai mandi dan makan, ikut serta menyambut para tamu.

Pandanganku tertuju kepada paman, hatiku merasa iba dengan keadaan paman. Rasa benci dan jengkelku padanya Perlahan-lahan hilang. Aku merasa apa yang dikatakan paman itu benar, paman tidak mungkin setega itu pada keluarga adiknya sendiri. Situasi dan keadaanlah yang membuatnya seperti itu. Aku mencoba memahami dan mengerti keadaan paman. Aku merasa ini sudah menjadi jalan takdirku. Dalam hati,  aku berdoa semoga ke depannya menjadi kebaikan bagi diriku dan keluargaku.

“Assalamualaikum!”

“wa’alaikumsallam!”

Serentak para tamu menjawab.

Karena pak kaum sudah datang, acara tahlilpun dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilema Arini   Mendapat kontrakan

    Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.

  • Dilema Arini   Rencana Arini

    Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La

  • Dilema Arini   Kontrak pertama Lasmi

    Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R

  • Dilema Arini   Kemarahan Badrun

    Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!

  • Dilema Arini   Akibat Lasmi terlambat pulang

    Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda

  • Dilema Arini   Gambar desain Lasmi

    “Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status