Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik, sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan dan kebahagiaan. Apalagi sejak bapak pergi untuk selamanya. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan. Terkadang hal itu membuatku menangis. Di malam hari ketika beranjak tidur, aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut. Aku selalu tidak terima dengan pernikahanku, aku merasa pernikahanku dengan pak Badrun tidak adil bagiku.
Hari ini akan diadakan selamatan untuk memperingati ke empat puluh
hari kematian bapak, ibuku mengadakan acara tahlilan mengirim doa untuk almarhum bapak. Ibu sudah mulai menerima kepergian bapak. Kesedihannya berangsur-angsur hilang.Ibu mendatangkan tukang masak dan meminta bantuan para tetangga, ibu mengumpulkan para tetangga untuk membantu memasak. Dan menyiapkan hidangan untuk acara
“Acaranya tahlil nanti jam berapa, Bu Ida?”
Bu Yayah tukang masak menanyakan acara tahlil, agar dia tepat waktu dalam menyelesaikan dan menyiapkan masakannya.
“jam setengah tujuh
malam, usai magrib.” Jawab Ibuku.“Oh, kalau begitu aku mau mulai memasak, biar nanti masakannya matang tepat waktu.”
“Silakan! Bahannya juga sudah saya persiapkan semuanya.
Bu Yayah berjalan ke arah dapur, mulai meracik bumbu dan mulai memasak. Para tetangga ikut sibuk membantu. Melihat kesibukan mereka, aku keluar kamar ikut membantu.
“Eh, mbak Arini! Sehat mbak?” tanya bu Sri tetanggaku.
“Alhamdulillah, sehat Budhe,” jawabku.
Aku menjawab pertanyaan bu Sri sambil bersalaman dengan ibu-ibu yang sedang memasak di dapur. Seperti biasa di desaku jika ada salah satu warga yang sedang punya hajat atau lelayu, mereka dengan suka rela datang membantu. Tapi kalau yang tukang masak tidak suka rela tapi bayaran karena pekerjaannya berat sendiri. Mereka bekerja dengan sendau-gurau dan berbinang-bincang.
“Suami mbak Arini, kok nggak kelihatan,” tanya bu Sri tetanggaku yang terkenal kepo sekampung.”
“Tidak bisa pulang, Budhe karena lagi sibuk.”
“Kok suami mbak Arini, jarang pulang ya?” jangan-jangan ada main di luaran, mbak Arini nggak curiga, apa?”
Sebenarnya aku sebel menjawab pertanyaan ini, dalam hati aku merasa semakin suamiku tidak pulang semakin lebih baik, tetapi berhubung bu Sri orang tua dan aku menghormatinya jadi aku menjawabnya dengan hati dongkol.
“Nggak bu Sri, aku percaya pada suamiku.”
Lalu aku pergi meninggalkannya. Kalau terus diladeni malah nanti pertanyaannya ke mana-mana.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam empat sore, para tetangga yang ikut membantu memasak sudah mulai pamit satu persatu. Rumah sudah mulai sepi tidak seramai tadi.
“Assalamualaikum!"
Terdengar suara salam yang tak asing bagiku, pamanku datang dengan wajah lesu dan kekawatiran. Aku melihatnya terasa dadaku ingin meledak dan tanganku gatal ingin mencakar-cakar tubuhnya.
“Berani-beraninya paman datang ke sini!” mau apa lagi, ha!” mau menghancurkan hidup kami lagi!” pergi!!!!!
“Hik! Hiik! Hiiik! ....”
“Paman tahu tidak, semuanya gara-gara paman, aku harus menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Semua masa depan dan harapanku hancur gara-gara Paman!”
Aku menangis tersedu-sedu, paman hanya diam pasrah dan semakin menundukkan kepalanya Mendengar aku menangis dan ribut-ribut, ibu bergegas menghampiriku. Melihat kedatangan paman ibu lebih bersikap keras pada paman.
“Mau apa!” Mas datang ke rumahku lagi! Mau menyakiti keluargaku lagi!” ha, jawab! Belum puas apa yang, Mas Karjo lakukan pada keluargaku!” tega Kamu!!!
Ibu menangis tergugu, menahan sakit hatinya yang telah tersakiti oleh kakaknya sendiri.
“Lihatlah!” akibat perbuatanmu, suamiku meninggal dan Arini harus merelakan dirinya menikah dengan pria dewasa,” cerca ibuku.
Paman terus tertunduk tidak berani menatap ibu. Dengan suara tercekat paman berkata pada ibu.
“Maafkan!” Maafkanlah aku, Ida! Aku tidak bermaksud menipumu,” pinta Paman.
“Gampang sekali ya, Mas!” Kamu minta maaf, Kamu tidak memikirkan bagaimana suamiku, menanggung beban yang tidak dilakukannya.”
“Sungguh bukan niatku, melakukan itu. Situasilah yang membuatku begini, waktu itu rekan kerjaku membawa lari semua uangku, aku yang bertanggung jawab, sedangkan pihak yang berwajib mencari-cariku.
Paman terus menjelaskan pada ibuku, untuk mendapatkan maaf dari ibu.
“Aku benar-benar menyesal Ida, maafkanlah aku, kumohon!” sungguh aku tak ada niat untuk mencelakakan keluargamu.
Paman menangis, langsung menubruk kaki ibu dan berkali-kali memohon maaf pada ibu.”
“Maafkan!” maafkanlah aku, Ida!” Kamu boleh melakukan apapun kepadaku, Kamu boleh melaporkan diriku ke polisi, jika Kamu mau, asal kau mau memaafkan diriku.
“Aku, tidak setega itu, Mas! Kalau aku mau, sudah dari dulu Ku laporkan kelakuanmu itu.
Dengan suara lirih pak Karjo berkata.
“Maafkan aku! Aku tidak bisa mengganti uangmu yang aku pinjam, sekarang semua asetku sudah terjual habis dan aku mengalami kerugian. Bahkan istriku pergi meninggalkanku pulang ke rumah orang tuanya bersama anak-anakku.
Mendengar penjelasan pamanku, suasana jadi hening, semua terdiam dengan pikirannya masing-masing.
Ibu merasa iba mendengar cerita paman. Bagaimanapun juga paman juga saudara kandungnya. Ibu akhirnya hatinya luluh. Begitu juga dengan diriku.
Ibu menyuruh paman untuk istirahat. Ibu tidak tega melihat keadaan paman yang tidak terurus, tampak kusut dan kumal. Ibu menyuruh paman untuk mandi dan menyiapkan makanan. Serta memberikan pakaian bersih milik bapak, ibu pinjamkan untuk paman.
“Mandi dulu sana!” ini pakaian bersih dan setelah itu makan.”
Paman pun beranjak dari tempat duduknya, masuk ke kamar mandi. Sedangkan aku masih belum bergeser dari tempat dudukku, entah apa yang berkecamuk di dalam pikiranku. Antara memikirkan tentang masa depanku, dengan melanjutkan hidup berumah tangga bersama orang yang tidak kucintai.
“Kak!kak!”
Suara panggilan adikku lasmi. membuyarkan lamunanku.
“Ada apa, Lasmi?”
“Bantu aku, Kak!” memindahkan kursi-kursi ini,” pinta adikku lasmi.
“Oh, ya sebentar!
Aku beranjak dari kursi yang aku duduki, berjalan menghampiri adikku Lasmi yang sibuk menggeser-geser kursi. Lalu ikut membantunya. Setelah selesai kami berdua membentangkan karpet, untuk duduk para tamu.
Sementara ibu dan bu Yayah sibuk mempersiapkan hidangan dan minuman untuk disajikan kepada para tetangga dan sanak saudara, yang akan ikut tahlilan.
Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam, acara tahlil akan segera dimulai, para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Pamanku setelah selesai mandi dan makan, ikut serta menyambut para tamu.
Pandanganku tertuju kepada paman, hatiku merasa iba dengan keadaan paman. Rasa benci dan jengkelku padanya Perlahan-lahan hilang. Aku merasa apa yang dikatakan paman itu benar, paman tidak mungkin setega itu pada keluarga adiknya sendiri. Situasi dan keadaanlah yang membuatnya seperti itu. Aku mencoba memahami dan mengerti keadaan paman. Aku merasa ini sudah menjadi jalan takdirku. Dalam hati, aku berdoa semoga ke depannya menjadi kebaikan bagi diriku dan keluargaku.
“Assalamualaikum!”
“wa’alaikumsallam!”
Serentak para tamu menjawab.
Karena pak kaum sudah datang, acara tahlilpun dimulai.
Suamiku pak Badrun menelepon mengabarkan, hari ini dia akan pulang. Dan di sini akan lama karena ada urusan bisnis di kota ini. lambat laun aku mulai menerima kehadiran suamiku. Suamiku selalu bersikap lembut dan penuh kesabaran kepadaku. Biasanya dia pulang sampai rumah pukul lima sore. Ibuku sibuk di dapur memasak untuk di hidangkan nanti kalau suamiku pulang.“Rin, ini masakan sudah siap, nanti kalau suami Kamu pulang, tinggal memanasi saja.”“Ya Bu! Jawabku.Ibu datang menghampiriku dan mengajaku berbicara.“Rin, apakah Kamu sudah bisa menerima, pak Badrun?Aku terdiam menanyakan pada hatiku, lalu mendesah.“Entahlah, Bu!“Cobalah untuk menerimanya, agar hatimu tidak terlalu tersiksa, pak Badrun itu juga baik serta bertanggung jawab.Aku memikirkan kata-kata ibu, yang ku rasa benar perkataannya. Suamiku pak Badrun selalu membahagiakanku, tidak menuntut dan memaksakan apa pun padaku.
“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.“Nanti saja Mas, aku masih mual.”“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.“Aku keluar dulu ya, Rin?”“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.
Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota. Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku. “Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.” “Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku. “Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku. “Masak apa, Bu?” “Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya. “Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa. Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual. “Huek ... hueek
Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan s
Kehidupanku berjalan seperti biasa, hari-hari kulalui lebih banyak aku jalani sendiri bersama ibu dan Lasmi dan Ratih. Suamiku tidak selalu hadir menemani masa kehamilanku, dia pulang tidak tentu sebulan sekali bahkan kadang dua bulan sekali. Dia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Aku berusaha mengerti dan menerimanya.Kini usia kehamilanku sudah menginjak delapan bulan, menurut perkiraan satu bulan lagi aku akan melahirkan. Aku duduk melamun di dalam kamar sambil menunggu Kedatangan suamiku. Hari ini suamiku mengatakan akan pulang, dia berjanji besok siang akan mengantarku periksa dan membeli baju dan perlengkapan bayi.Deru suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku bangun dari rebahanku, untuk melihat siapa yang datang. Saat akan berjalan adikku Lasmi mengatakan kalau suamiku sudah pulang.“Mbak, itu suami kamu sudah pulang,” kata Lasmi.Aku berjalan ke luar kamar menyambut kedatangan suamiku. Kulihat suamiku tampak letih. Aku mengha
Aku memikirkan suamiku yang nomornya tidak aktif, padahal hari perkiraan lahir tinggal satu hari lagi, aku ingin memberi tahunya kalau anaknya akan lahir. “Aduh, perutku rasanya mules, apa aku akan melahirkan sekarang, ya, tapi perkiraan lahirnya menurut dokter Hana besok tanggal dua puluh” batinku. Ibu masuk ke kamarku dan melihat keadaanku yang meringis kesakitan. “Kamu itu kenapa, Rin?” tanya ibuku. “Perutku mules, Bu,” jawabku. “Apa jangan-jangan kamu akan melahirkan, bukankah tanggal dua puluh besok perkiraannya, Rin!” bisa jadi maju, Rin,” kata ibuku. “Aku tidak tahu, Bu, mungkin saja,” kataku. “Ya sudah, ayo kita ke klinik sekarang, aku akan menyuruh Lasmi mengantarkanmu nanti ibu menyusul,” kata ibu. Ibu memanggil-manggil Lasmi. “Lasmi ... Lasmi ...!” “Iya, Bu, ada apa?” jawab Lasmi. “Ini antar kakakmu Arini ke klinik sekarang, kayaknya mau kelahiran.” “Oh, ya, ayo kak,” kat
Aku semakin gelisah, keberadaan suamiku belum ada titik terang, padahal dia seharusnya tahu kalau aku sekarang sudah melahirkan.“Apa mas Badrun, kenapa-napa ya,” batinku.Pikiranku terus melayang-layang.“Semoga dia di beri keselamatan dan tidak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.Hari ini ibuku berencana menemui adik iparnya yaitu om Hadi, dia sengaja tidak memberi tahuku.“Mau ke mana, Bu?”“Ini mau ke pasar, ada sesuatu yang ingin ibu beli, kamu mau titip apa?” jawab ibuku.“Enggak, Bu, Ibu pergi ke pasar sama siapa?” kataku.“Sama Lasmi,” kata ibuku.Ibu kemudian berangkat, sampai di perjalanan meminta Lasmi untuk mengganti arah.“Belok kanan, ya, Las! Pinta ibu.“Loh kok belok kanan, Bu, katanya mau ke pasar,” kata Lasmi.“Sudah Kamu nurut saja kata ibu!“Iya, Bu,” kata Lasmi.
Om Hadi datang ke rumahku di pagi hari ketika aku selesai memandikan anakku yang bernama Arsy, mengetahui kedatangan om Hadi ibu segera menyambutnya dan mempersilahkan masuk.“Mbak, hari ini aku jadi mencari keberadaan suami Arini, foto copi ktpnya mana?” kata om Hadi.“Ya, sebentar aku ambilkan,” kata ibu sambil bergegas masuk ke kamar mengambil foto copi ktp suamiku.Aku keluar dari kamar ikut menemui dan menyalami om Hadi.“Kamu jangan berharap terlalu banyak, aku akan berusaha semampuku,” kata om Hadi.“Ya, Om, terima kasih, telah mau meluangkan waktu untuk membantuku,” kataku.“Ini foto copi ktpnya,” kata ibu sambil menyerahkan foto copi suamiku pada om Hadi.Setelah menerima foto copi ktp suamiku, om Hadi kemudian mengamatinya. Tak berapa lama om Hadi berkata.“O, kalau alamat ini ada di luar kota, aku bisa memakan waktu seharian penuh perjalanan pula