Kiran mengarahkan pandangan pada Arland, seakan bingung mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ziel. Seketika kembali menatap putranya sambil tersenyum.
“Ziel, kamu masih lemah. Jangan banyak bicara dulu,” respon Kiran mengalihkan pertanyaan Ziel.
“Dia nggak terluka, kan?” Menahan rasa sakit di kepalanya, tapi saat pertanyaannya perkara Karel tak mendapatkan jawaban, itu justru lebih menyakitkan. “Dia di mana?”
“Zi, kamu tenang dulu,” sahut Arland berusaha menenangkan Ziel. Ia tak ingin jika kondisi putranya malah kembali buruk saat tahu kondisi sebenarnya. “Karel nggak kenapa-kenapa. Dia nggak terluka, karena kamu sudah berhasil menyelamatkann dia. Sekarang kamu tenang dan jangan banyak berpikir dulu.”
Papanya bilang Karel tak kenapa-kenapa, tapi dia di mana? Kenapa dia tak ada di sini? Apa mereka berbohong.
Ingin beranjak sebenarnya dari posisi ini, tapi rasanya benar-benar belum kuat.
Ziel hendak bangun dari posisi tidurnya, tapi Kiran melarangnya untuk bangun.“Jangan banyak bergerak, kondisimu masih lemah, Nak. Jangan membuat Mama cemas lagi.”Ya, kepalanya benar-benar terasa sakit. Sakit, hingga rasanya tak tertahan. Tapi jika menyangkut Karel, rasa sakit itu bisa ia abaikan.Ziel kembali ke posisi tidurnya, ketika mamanya melarang untuk bangun. Menatap fokus pada mamanya, bahkan ia seolah menelisik jauh ke dalam manik mata wanita paruh baya yang ada dihadapannya ini.“Mama sedang berbohong padaku?”“Maksud kamu apa, Zi?”“Mama yang bilang, kalau kebohongan akan berdampak lebih besar jika diteruskan. Jika mama membohongiku satu kali, lain aku nggak bisa lagi memberikan kepercayaan pada mama tentang hal apapun juga.”Peringatan yang diberikan Ziel seakan menghantam hatinya. Ya, benar. Bahkan ia sendiri yang berulang kali mengatakan dan
Kiran masih duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangan rawat Ziel. Setelah mendapatkan obat penenang, putranya sekarang dalam keadaan tertidur. Ya, setidaknya itu bisa sedikit membuat hati dia tenang.Pikirannya kini diliputi rasa khawatir tentang Karel. Ditambah lagi dengan Arland yang belum kembali, membuat dirinya semakin tak baik-baik saja dalam berpikir.Berniat untuk kembali menghubungi suaminya lewat telepon, tapi niat itu terhenti saat dua orang tampak berjalan cepat menghampiri dirinya. Langsung bangkit dari posisi duduk, menyambut mereka.“Ya ampun, Karel ... kamu dari mana aja, sih, Nak.” Bergegas menghampiri Karel dan memeluk gadis itu.“Maaf, Tante,” ucap Karel memeluk Kiran erat. “Aku bikin kalian semua khawatir. Maaf,” tambahnya merasa bersalah.Kiran mengangguk paham. Ia tak butuh penjelasan Karel saat ini, tapi yang jadi fokus utamanya adalah kondisi Ziel. Dia menginginkan gadis ini.“Kak Ziel gimana Tante?” tanya Karelyn.“Tadi sempat drop, karena dia ngotot mau
Ziel sudah dipindah ke ruang perawatan, itu pertanda jika kondisi dia mulai membaik. Meskipun dokter mengatakan kalau dia butuh waktu beberapa hari untuk memulihkan luka, apalagi di bagian kepala, tetap saja sikap keras kepala dia tak bisa ditahan. Karena belum apa-apa, sudah menelepon sekretarisnya di kantor untuk membahas pekerjaan. Ditambah lagi dengan adanya Karelyn yang berada di sekitarnya, seolah apa yang dia rasakan jadi tak begitu penting dibandingkan kondisi gadis itu.“Mama kenapa?”Kiran menggeleng, tapi raut wajahnya mungkin sudah bisa ditebak oleh Ziel. Duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur putranya itu.“Jangan menyalahkan dia,” ujar Ziel langsung.“Apa yang kamu katakan, sih, Nak. Karel itu posisinya sama denganmu di hati Mama. Justru sekarang mama memikirkan kalian berdua,” jelas Kiran.Karel tampak tertidur di sofa dengan sebuah sweater yang dia tutupkan sebagai selimut. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, wajar jika dia mengantuk dan lelah. Apalag
Karel yang tadinya tidur, tiba-tiba terbangun ketika mendengar suara orang-orang yang tengah mengobrol. Matanya mengantuk, bahkan terasa perih untuk melek, hanya saja berusaha untuk bangun.Duduk dan menatap ke sekeliling. Ia dapati adanya Kiran, Arland dan Ziel sedang mengobrol.“Sudah pagi, ya,” gumamnya perlahan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Pandangan Ziel terarah padanya, kemudian tersenyum simpul. “Sudah bangun.”Beranjak dari posisinya dan berjalan gontai, hendak menghampiri ketiganya yang berada dekat tempat tidur Ziel. Hanya saja karena masih mode ngantuk dan belum bangun sempurna, seketika ia mengaduh karena lututnya menabrak sudut meja kaca yang jelas-jelas ada di depan langkahnya.“Ya ampun, Karel. Hati-hati dong, Nak.” Kiran langsung menghampiri Karel yang tampak mengaduh dan meringis memegangi lutut.Ziel spontan bangun dari posisi tidurnya, hanya saja tertahan ketika merasakan sakit di kepalanya saat bangun.“Nggak apa-apa, kan?” tanya Ziel.“Nggak,” jawab Kare
Karel kembali masuk ke dalam ruangan Ziel. Tadi masih mode santai, tapi sekarang karena tahu kenapa Ziel ngambek, ia malah takut berhadapan dengan dia.Ziel memang tak pernah membahas perihal masalah cowok yang berada di sekitarnya. Pun selama ini ia juga tak tahu, kan … seperti apa perasaan dia sebenarnya yang menganggap dirinya layaknya seorang adik. Hanya saja maaf, jika tanpa sengaja dirinya mendengar semua pembicaraan antara Kiran dan Ziel semalam.Kaget, shock dan semua rasa bercampur aduk ketika semua yang ia dengar dari Ziel, seolah membuatnya tak percaya. Berpikir jika selama ini hanya dirinya yang terkesan memendam rasa yang berbeda, tapi ternyata Ziel juga sama.Berjalan menghampiri sosok yang masih fokus pada tab yang ada dihadapan dia. Seakan benar-benar merasa kesal pada dirinya. Padahal ia juga tak tahu apa permasalahan Arga yang di maksud oleh Giska.“Kak.”“Hmm,” sahut Ziel singkat. Hanya saja tanpa berniat mengarahkan pandangannya pada Karel yang berdiri di sampingny
Menarik napasnya dalam dan menetralisir deguban jantungnya tak tak beraturan. Benar-benar, pertanyaan Kiran lebih mengerikan daripada sikap bar-bar Ziel beberapa hari ini padanya.“Tante kenapa juga sampai nanya kayak gitu, sih. Horor banget,” gumamnya masih bergidik ngeri.Langsung menuju ke arah kamar mandi dan membersihkan diri. Dari kemarin ia belum mandi dan sekarang rasanya serasa isi otaknya begitu tenang. Seakan masalah ikut terangkat kesiram air.Berniat untuk tidur, tapi seketika ia teringat akan papanya. Membuat hatinya kembali merasa sesak.“Papa sekarang lagi ngapain, ya? Apa papa nggak penasaran dengan kondisiku?”Menyambar ponselnya dan berniat untuk menelepon laki-laki paruh baya itu. Hanya saja rasanya masih takut jika panggilannya tak direspon. Yakin jika dirinya masih diingat sebagai anak? Atau jangan-jangan sudah dilupakan begitu saja karena saking bencinya?“Atau chat aja, ya,” gumamnya berpikir. “Yaudah, langsung telpon ajalah. Terserah papa mau marah, ngomel ata
Kiran begitu panik dengan keadaan Karel. Darah terus mengalir dari telapak tangan dia. Ia pikir hanya luka gores, ternyata benda tajam itu benar-benar melukai tangan dia. Rasanya begitu mencekam baginya menghadapi kondisi seperti ini. Ditambah lagi di dalam rumah hanya dirinya dan bibik.“Bik, ambil kotak obat, ya. Sekalian … pokoknya semua obat-obatan!” histerisnya sampai bingung harus melakukan tindakan seperti apa.Wanita paruh baya itu langsung melakukan apa yang diminta oleh majikannya. Segera berlari keluar dari sana dan mengambil kotak obat-obatan yang ada di dalam lemari. membersihkan luka dan darah di telapak tangan Karel.“Nak, darahnya nggak berhenti.” Tangis Kiran semakin menjadi, ketika cairan kental berwarna merah itu seakan terus mengalir keluar dari luka di telapak tangan Karel. Bahkan menetes di lantai yang saat itu masih berserakan pecahan kaca.Kiran histeris bahkan menangis, sementara Karel seolah tak memperdulikan kondisi luka di telapak tangan dan pergelangan ta
Seperti apa yang pernah dikatakan Ziel, melihat dan mendapati seseorang yang kita cintai dalam keadaan sakit, itulah sakit yang sebenarnya.Terkadang nasib suka mempermainkan sebuah keteguhan hati, hingga suka sekali mengajak bercanda dengan hal itu. Tahu jika dirinya tak bisa jika Karel sakit atau terluka, sekarang malah menghadapkannya pada situasi itu.Memegang kepalanya saat rasa nyeri seperti sedang ikut datang di waktu yang tak tepat. Ingin fokus pada dia, kenapa rasanya justru membuatnya ikut merasa sakit.“Ada apa?” tanya Davi melihat reaksi Ziel yang tampak meringis sambil memegangi kepalanya di bagian belakang.Ziel hanya menggelang menjawab pertanyaan itu dan kembali bersikap baik-baik saja.“Kamu balik ke ruang rawatmu, ya. Kondisimu masih belum pulih, Zi. Kalau terus dipaksakan, bisa-bisa …”“Aku baik-baik saja, Pa. Jangan terlalu fokus padaku,” sanggahnya langsung atas saran papanya. “Sebelum aku tahu kondisi Karel, jangan memaksaku untuk pergi kemana-mana.”Kiran masih