Kiran begitu panik dengan keadaan Karel. Darah terus mengalir dari telapak tangan dia. Ia pikir hanya luka gores, ternyata benda tajam itu benar-benar melukai tangan dia. Rasanya begitu mencekam baginya menghadapi kondisi seperti ini. Ditambah lagi di dalam rumah hanya dirinya dan bibik.“Bik, ambil kotak obat, ya. Sekalian … pokoknya semua obat-obatan!” histerisnya sampai bingung harus melakukan tindakan seperti apa.Wanita paruh baya itu langsung melakukan apa yang diminta oleh majikannya. Segera berlari keluar dari sana dan mengambil kotak obat-obatan yang ada di dalam lemari. membersihkan luka dan darah di telapak tangan Karel.“Nak, darahnya nggak berhenti.” Tangis Kiran semakin menjadi, ketika cairan kental berwarna merah itu seakan terus mengalir keluar dari luka di telapak tangan Karel. Bahkan menetes di lantai yang saat itu masih berserakan pecahan kaca.Kiran histeris bahkan menangis, sementara Karel seolah tak memperdulikan kondisi luka di telapak tangan dan pergelangan ta
Seperti apa yang pernah dikatakan Ziel, melihat dan mendapati seseorang yang kita cintai dalam keadaan sakit, itulah sakit yang sebenarnya.Terkadang nasib suka mempermainkan sebuah keteguhan hati, hingga suka sekali mengajak bercanda dengan hal itu. Tahu jika dirinya tak bisa jika Karel sakit atau terluka, sekarang malah menghadapkannya pada situasi itu.Memegang kepalanya saat rasa nyeri seperti sedang ikut datang di waktu yang tak tepat. Ingin fokus pada dia, kenapa rasanya justru membuatnya ikut merasa sakit.“Ada apa?” tanya Davi melihat reaksi Ziel yang tampak meringis sambil memegangi kepalanya di bagian belakang.Ziel hanya menggelang menjawab pertanyaan itu dan kembali bersikap baik-baik saja.“Kamu balik ke ruang rawatmu, ya. Kondisimu masih belum pulih, Zi. Kalau terus dipaksakan, bisa-bisa …”“Aku baik-baik saja, Pa. Jangan terlalu fokus padaku,” sanggahnya langsung atas saran papanya. “Sebelum aku tahu kondisi Karel, jangan memaksaku untuk pergi kemana-mana.”Kiran masih
Arland dan Davian berada di sebuah ruang perawatan. Ya, Karel sudah dipindahkan setelah dokter menyatakan jika kondisi gadis itu merespon dengan baik.Luka fisik sepertinya akan pulih dengan cepat, tinggal menunggu Karel sadar karena efek obat bius juga. Hanya saja dokter seolah memperingatkan kalau Karel sepertinya mengalami hal yang mengganggu pemikiran dia. Hingga efeknya membuat tekanan darah yang terkadang naik tiba-tiba, bahkan detak jantung dia seolah tak beraturan.“Apa ada hal lain yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Arland ketika berbicara dengan dokter yang menangani Karel, saat mengecek kondisi dia.“Aku nggak bisa memastikan, tapi sepertinya dia mengalami tekanan hingga membuatnya mentalnya seperti terus dia ajak untuk baik-baik saja, tapi pada kenyataannya justru sebaliknya.”“Maksudnya?”“Karel memaksa dirinya untuk terlihat baik di depan kita semua, di depan semua orang, tapi pada kenyatannya pikiran dia sedang berkecamuk. Paham, kan?”Arland diam. Ia memaham
Langsung masuk ke dalam ruangan yang sudah diberitahukan oleh Davian. Tampak pandangan tertuju padanya karena datang tiba-tiba.“Zi, kamu kok malah ke sini,” komentar Arland malah dibuat kaget karena kondisi Ziel yang masih belum membaik, untuk kedua kalinya melarikan diri dari ruangan dia.“Kabur lagi, ya,” ujar dokter Reza menebak. Karena kalau meminta izin, untuk kondisi Ziel sepertinya tak akan diberikan.Ziel tak fokus pada papanya dan dokter Reza, karena yang jadi pemikirannya sedari tadi adalah Karelyn. Gadis itu tampak terlelap dengan luka di tangan dia yang tampak tertutup perban.“Dia kukuh ingin bertemu denganmu. Padahal kondisinya benar-benar belum membaik. Hanya penenang, sebentar lagi dia akan kembali sadar,” jelas Arland pada Ziel.Reza menyambar lengan Ziel yang duduk di kursi, kemudian mengecek kondisi dia. Lega, karena ternyata hasilnya sudah lumayan baik.“Jaga emosi. Kalau tidak, kondisimu nggak akan membaik.”Reza segera berlalu dari sana setelah pamit pada Arland
Arland dan Kiran kembali ke ruangan Karel. Mengingat kondisi Ziel juga masih belum stabil, keduanya berpikir untuk meminta dia kembali ke ruangannya. Hanya saja sampai di sana, justru malah mendapati adegan manis antara Karel dan Ziel.Kiran yang membuka pintu, kembali menutup dan memilih untuk keluar.“Kenapa?” tanya Arland ketika Kiran malah menutup kembali pintu.“Bisa aku minta tolong?”“Ya?”“Tas ku ketinggalan di ruangan Ziel. Davi juga lagi keluar kamu minta beliin makanan, kan,” terangnya.Arland mengangguk. “Aku ambil bentar, ya.”Jadilah, Arland kembali ke ruangan rawat Ziel, sedangkan Kiran memilih untuk duduk di kursi tunggu. Setidaknya ketika suaminya kembali, di dalam sudah mode aman.Selang beberapa menit, Arland kembali dengan tas milik Kiran di tangannya. Pun bertepatan dengan Davian yang membawa makanan yang barusan dia beli.Ketiganya masuk, disambut senyuman manis dari Karel. Ingin tak percaya, tapi harus diakui jika Ziel itu memang membawa pengaruh besar pada dia.
Seperti yang sudah direncanakan, Kiran pulang bareng Davian dan Arland ada tugas malam ini dan kemungkinan hingga dini hari. Sementara Ziel menemani Karelyn.“Mau makan?” tanya Ziel pada Karel.“Sudah tadi sama Tante,” jawab Karel.Ia duduk dengan kedua kaki yang berjuntai. Hanya tangannya yang sakit, bukan berarti satu tubuhnya ikutan sakit. Sedikit pusing saja, mungkin ini efek tranfusi darah, hingga tubuhnya butuh sedikit penyesuaian.Ziel duduk di kursi, menatap fokus pada layar ponselnya. Tiba-tiba benda itu diambil alih dengan cepat oleh Karel.“Karel …”“Katanya kakak mau menemaniku di sini, tapi kok sibuk sama hp terus.”“Menemani, bukan mengobrol, kan?”Langsung mengembalikan benda pipih itu pada Ziel. Nyebelin, bisa-bisanya dia membantah. Harusnya kan ngasih kalimat yang manis atau apa gitu untuk mengalah. Tetap, ya … meskipun Ziel sudah bilang sayang dan cinta sekalipun, sifat asli dia masih terus aktif.Karel merebahkan badannya, memejamkan kedua matanya perlahan. Berharap
Setelah dirasa lebih tenang, ia memilih untuk kembali masuk ke dalam. Dan apa yang ia saksikan? Gadis itu justru masih berada di posisi duduk, menatap ke arah pintu masuk sambil menangis.Padahal ia tak marah, tapi ternyata sikapnya barusan membuat dia merasa jika dirinya marah. Segera menghampiri dan langsung memeluk Karel.“Aku nggak marah, kenapa menangis?”Memeluk Ziel dengan tangisannya yang bahkan ia rasa seperti mau kehilangan sosok dia dari sekitaran kehidupannya. Marah dan kesalnya dia mungkin tak terlihat, tapi kata-kata yang diucapkan Ziel padanya seperti sebuah sentilan untuknya.“Aku sudah jujur, tapi kakak seolah nggak percaya,” ucapnya masih terisak.“Aku percaya,” balas Ziel. “Aku percaya dengan semua yang kamu katakan.”Melepaskan diri dari pelukan Ziel, kemudian menghapus kasar kedua pipinya.“Jangan marah dengan apa yang akan ku jelaskan.”Ziel diam.“Kalau gitu aku nggak jadi menjelaskannya. Aku nggak bisa kalau kamu kesal padaku. Gini aja sikapmu sudah nggak enak,
Membuka kedua matanya dan mengerjap-ngerjap ketika terdengar obrolan di sekitarnya. Mengusap matanya dan menatap ke sekitar, tampak Kiran dan Arland tengah bicara berdua.“Tante sama Om udah di sini.”Karel langsung bangun dari posisi tidurnya. Tampak selang infus juga sudah dilepas dari pergelangan tangannya. Benar-benar, ya … mode tidur yang seperti orang pingsan. Bahkan ia sedikitpun tak terbangun ketika jarum itu dilepas dari kulitnya.“Udah bangun, Sayang. Gimana tidurmu?” tanya Kiran menghampiri.“Nyenyak, Tante. Sampai aku nggak sadar infusku sudah dilepas,” ungkapnya menunjukkan tangannya yang hanya terlihat sebuah plester ditempel pada bekas jarum infus.Kiran terkekeh mendengar perkataan Karel.“Tidurnya ditemani Ziel, iyalah nyenyak. Om datang aja sampai nggak ada yang kebangun, loh,” sambung Arland.Haruskah ia merasa malu, tapi tidak juga. Ia juga pernah tidur di dekat Ziel juga kok sebelumnya. Namun tiba-tiba otaknya ia mengingat sesuatu.“Tapi Kak Ziel mana?” tanyanya.