“Tegar sayang, kamu haus ya? Ini Tante buatkan susu untuk kamu.”
Ziya tersenyum manis sambil mengocok-ngocok sebentar kemudian menyodorkan botol susu pada mulut mungil Rendi yang sudah terbuka sambil menangis.
“Tegar?” ulang Bu Dewi yang sudah berdiri di ambang pintu kamar Ziya.
Mungkin hanya Ibu Dewi yang bisa masuk kamar Ziya dengan tidak sungkan. Selain beliau adalah pemilik rumah yang dikontrak oleh Ziya, Ibu Dewi juga sudah menganggap Ziya seperti anaknya sendiri. Ibu Dewi tidak mempunyai anak perempuan dan ketiganya anak laki-laki saja, makanya sejak kedatangan Ziya sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
“Ah Bu Dewi, iya aku kasih nama Tegar Wijaya.”
Ziya menjawab ucapan Bu Dewi dan tersenyum lebar tanpa beban dan terlihat sangat bahagia dengan keponakannya itu.
Tentunya Bu Dewi paham nama Wijaya adalah nama Papanya Ziya dan Zoya. Sebenarnya penasaran kenapa Ziya memberi nama itu, tapi karena tidak ingin membuat Ziya tidak nyaman dia urungkan niatan bertanya itu.
Ziya sengaja memberi nama Tegar Wijaya. Tegar yang artinya, agar dia bisa tegar dalam menghadapi segala macam cobaan hidup dan Wijaya adalah diambil dari sang Papa. Zain Wijaya nama Papa Ziya dan Zoya.
“Kalau bayi memang begitu, Ziya. Haus nangis, ngantuk nangis, pipis nangis, lapar nangis dan semua rasa ditunjukkan dengan menangis,” ujar Bu Dewi sambil mendekat ke arah Ziya di ranjang.
“Iya, Bu. Sekarang aku sudah sedikit mengerti bagaimana menangani seorang bayi. Ternyata apa yang kita rasakan bisa dirasakan bayi juga ya?” sahut Ziya cepat sambil membelai pipi Rendi.
“Iya, makanya kamu harus senang dan bahagia agar Tegar bisa merasakan hal itu juga!” tekan Bu Dewi seraya mengelus-elus bahu Ziya lembut dan hanya dijawab anggukan saja oleh Ziya.
“Kamu sudah sholat?” tanya Bu Dewi setelah melihat jam di dinding tergantung di tembok yang sudah menunjukkan waktu sholat Dhuhur.
Ziya mengikuti arah pandang Bu Dewi ke arah tembok tersebut.
“Belum Bu, dari tadi gak mau diam, nangis terus,” aduh Ziya sambil menatap lelah ke arah Topan.
“Ya sudah, biar Ibu yang jaga Tegar. Kamu buruan sholat sana!”
Sebenarnya Ziya tidak ingin meninggalkan Tegar dengan orang lain meski dengan Bu Dewi yang sudah dianggap seperti Mamanya sendiri tapi karena dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim makanya dia menyetujui usul Bu Dewi.
Ziya hanya diam saja tanpa menjawab ucapan Bu Dewi. Membuat Bu Dewi langsung menarik Topan yang berada di atas kasur dan mengendongnya. Menimang-nimang dan membelai pipinya tidak lama, bayi tampan itu tertidur.
“Aku sholat dulu Bu,” balas Ziya pada akhirnya karena melihat Tegar yang sudah tertidur di gendongan Bu Dewi.
Di akhir sholatnya Ziya menegadahkan kedua tangannya untuk berdoa. Dalam doa itu dia memohon diberikan kemudahan dalam urusan dunia dan akhiratnya serta diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah buat sang Kakak.
Ziya hendak melanjutkan doanya tapi terdengar tangis Tegar yang sangat keras membuatnya segera merapikan mukenanya dan melipat dengan sajadahnya juga.
Naluri keibuannya merasa terpanggil mendengar tangisan keponakannya itu. Setelah mendekati Bu Dewi, Ziya langsung mengambil Tegar dari gendongan Bu Dewi yang berada di teras rumah. Bukan bermaksud tidak sopan tapi dia merasa panik dan takut terjadi sesuatu dengan bayi itu.
Ibu Dewi hanya tersenyum tipis melihat sikap Ziya, mungkin dia khawatir dengan ponakan yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Keterdiaman Bu Dewi tidak sengaja menyadarkan Ziya yang sudah mengendong Tegar. Entah kenapa bayi itu langsung diam ketika sudah di dalam gendongan Ziya.
“Maaf Ibu, saya panik. Saya tidak bermaksud tidak sopan sama Ibu!” sesal Ziya dengan satu tangannya menyentuh punggung tangan Bu Dewi.
Sebagai seorang Ibu tentunya Bu Dewi sangat paham dengan situasi ini. Dia tidak menyalahkan Ziya tapi dia salut dengan sikap Ziya yang langsung tanggap untuk menenangkan Tegar meski Ziya tidak berpengalaman dan usia dia masih terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu.
“Sudah tidak perlu minta maaf. Harusnya Ibu yang minta maaf, tadi Tegar tiba-tiba menangis dan biasanya kalau bayi menangis dia itu kehausan makanya Ibu beri susu yang di botol itu. Tapi ternyata tidak juga diam malah semakin kencang saja eh, pas kamu datang dia langsung diam,” jelas Bu Dewi berbicara dengan menampilkan senyum payahnya merasa tidak bisa menenangkan Tegar.
“Bukan, Ibu tidak salah. Saya yang harus minta maaf,” sesal Ziya kembali masih dengan rasa bersalah.
“Mungkin Tegar sudah nyaman denganmu makanya ketika bangun tidak dalam gendongan kamu dia jadi menangis. Tidurkan saja di dalam sekalian kamu istirahat! Biar urusan yang lain, Ibu yang akan urus dengan tetangga-tetangga di sini.”
Ziya paham maksud Bu Dewi yang dikatakan urusan itu, acara masak-memasak untuk acara pengajian Zoya nanti malam.
“Makasih banyak ya, Ibu,” ucap Ziya dengan mengenggam tangan Bu Dewi. Entah apa yang terjadi kalau tidak ada beliau. Ziya bahkan tidak sanggup memikirkannya.
“Makasih ya, Ibu-ibu semua,” imbuh Ziya menatap pada beberapa tetangga yang masih sibuk dengan pekerjaanya itu.
“Iya, namanya juga tetangga saling membantu,” jawab salah satu Ibu yang sedang mengupas dan merajang bawang.
Ziya akhirnya menuruti perintah Ibu Dewi, dia masuk kamar dan membaringkan Tegar yang sudah kembali tidur saat sudah dalam gendongannya dengan pelan. Setelah itu dia juga membaringkan tubuhnya di sebelah Tegar. Mendekapnya agar kalau bangun dia bisa langsung menenangkannya. Kebiasaan seorang bayi adalah tiba-tiba menangis dan terbangun.
Ziya memaksakan matanya untuk terpejam meskipun sulit. Baru juga bisa memejamkan mata beberapa menit. Tiba-tiba dia teriak dengan keras.
“Kak, Kakak Zoya, jangan tinggalkan aku!”
“Ziya, bangun ...,”
Ibu Dewi langsung mendekati dan mengoyang-goyang bahu Ziya supaya sadar. Setelah beberapa menit akhitnya Ziya dapat membuka matanya kembali dan memandang sedih ke arah Ibu Dewi. Syukur Tegar tidak terbangun oleh teriakan itu.
“Kamu mimpi buruk, Ziya?” tanya Ibu Dewi setelah melihat Ziya sudah duduk dan terlihat cemas.
Bu Dewi berpikir kemungkinan Ziya masih belum bisa melepas dengan ikhlas kepergian Zoya, maklum Ziya hanya punya Zoya tapi sekarang dia sendirian wajar masih memikirkan hal itu.
Ziya belum menjawab pertanyaan Bu Dewi, dia menoleh ke arah Tegar yang masih terlelap dan membelai pipinya.
“Aku mimpi Kak Zoya sedang mengendong Tegar. Setelah itu dia bilang lagi supaya aku jangan meninggalkan anaknya! Setelah itu dia menghilang,” jelas Ziya dengan buliran bening yang sudah membasahi pipinya.
Bu Dewi langsung memeluk Ziya, memberi kekuatan pada gadis malang itu. Ziya terlihat kuat tapi dia menyembunyikan kesedihan yang sangat besar.
“Kamu sebaiknya membersihkan diri dulu, setelah mandikan Tegar karena hari sudah sore.” Beritahu Bu Dewi.
Tanpa menunggu lama Ziya langsung menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya sendiri dulu sedangkan Tegar dijaga oleh Bu Dewi. Setelah itu memandikan Tegar yang kebetulan sudah bangun beberapa menit yang lalu.
Hari telah berganti malam dan acara pengajian sudah di mulai. Beberapa warga sekitar rumah sudah berkumpul di depan rumah. Mereka membacakan sholawat dan membacakan doa. Sampai acara berakhir Ziya masih bisa tersenyum karena masih ada beberapa orang yang menemani di rumah.
Bersambung....
“Ini surat wasiat yang saya bilang sama kamu, Ziya,” Pak Dirman memberikan map berwarna coklat di hadapan Ziya.“Isinya apa, Pak?”“Bukalah dulu, nanti kalau ada yang tidak jelas saya jelaskan!” perintah Pak Dirman.Ziya menoleh ke arah Kienan dan mendapatkan anggukan pelan dari suaminya tersebut. Gadis itu mulai membuka dan membaca dengan detail lalu tiba-tiba menutup mulutnya karena kaget. Kienan yang mulai binggung mengambil alih map tersebut. Setelahnya tersenyum tipis.“Kamu, koq gak kaget, Mas?”“Saya dan Pak Kienan sudah tahu penyebab Pak Zain melakukan itu,” sindir Pak Dirman dengan tersenyum.Ziya menatap aneh pada suaminya itu seakan meminta penjelasan.“Ziya, biar saya jelaskan saja!” ucap Pak Dirman yang langsung mengalihkan atensi Ziya.Lalu Pak Dirman mulai menjelaskan yang seperti dijelaskan suami tadi malam. Ziya mengangguk-anggukan kepalany
Sesuai pembicaraan dengan Kienan, Ziya akan mendatangi tempat mantan pengacara sang Papa. Sekedar ingin mengetahui apa yang belum dia tahu. Kienan sebenarnya akan ikut mengantarkan istrinya itu, namun karena ada meeting yang tidak bisa ditunda akhirnya Ziya batal pergi.“Mas, aku berangkat sendiri bisa koq!” rengek Ziya pada sambungan telepon pada Kienan. Rasa penasaran sudah membuncah begitu tahu suaminya membatalkannya dia sangat kecewa.“Mas, bilang jangan ya jangan. Kamu bandel amat sih!” jawab Kienan dengan sedikit teriak karena Ziya membantah ucapannya.“Mas, ih ... jahat banget sampai bentak-bentak aku. Ya sudah nanti kamu tidur di kamar tamu saja, aku lagi males ketemu kamu!” putus Ziya hendak menutup ponselnya.“Iya, iya deh!” sela Kienan cepat yang membuat Ziya menyungingkan senyum.“Kenapa? Takut ya, tidur sendiri,” cibir Ziya sembari tertawa terbahak.Kienan tidak menjaw
Ternyata tanpa disadari, waktu sudah menjelang Subuh mereka baru menyelesaikan acara mandinya. Yang pada akhirnya tidak tidur karena menunggu sholat Subuh sekalian. Kedua pasangan suami istri itu memanfaatkan waktu yang ada itu untuk mengobrol, duduk di atas ranjang sembari menyandarkan punggungnya.“Mas ...”“Hm.”“Memang sejak kapan kamu tahu kalau Kak Zoya selingkuh?” tanya Ziya tiba-tiba karena dia penasaran akan hal itu.Kienan menghela napas panjang, sebenarnya dia telah menutup masalah itu tapi kalau melihat Ziya seperti itu pasti dia tidak akan berhenti bertanya. Masih bertahan dengan diam membuat Ziya menoleh untuk melihat wajahnya.“Mas, koq gak dijawab sih?” tutur Ziya ketus sambil memalingkan wajahnya menjauh dari Kienan.Kienan memiringkan posisi duduknya agar bisa melihat wajah Ziya yang kesal itu. Sambil tersenyum pria itu berkata. “ Sebenarnya, sudah Mas tutup masalah itu,
Ziya beranjak turun dari atas meja tapi Kienan menahannya. “Hey, mau ke mana?” tanyanya dengan alis mengerut.“Mau bersihin beling itu, Mas.”“Udah, gak usah. Mas saja kamu makan saja,” ucap Kienan seraya menekan bahu Ziya untuk duduk kembali di bangku yang sudah dia siapkan.“Ta-”“Duduk atau kita lanjutan yang tadi di sini sekarang?” ancam Kienan tidak memberi kesempatan Ziya untuk menyelesaikan ucapannya.Ziya menghela napas lalu menuruti ucapan suaminya itu. Mulai menyendokkan nasi dan lauk sedangkan Kienan mulai mencari keberadaan alat kebersihan untuk membersihkan pecahan gelas itu.Kienan pasti tidak akan membiarkan Ziya melakukan pekerjaan itu karena sebentar lagi istrinya itu akan memberi kepuasan padanya. Lelaki itu sampai tersenyum sendiri mengingat kejadian yang sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Terlalu bersemangat ketika mendapatkan lampu hijau dari Ziya.Z
“Masuk, yuk!” ajak Kienan setelah mengurai pelukannya. Ziya memluk lengan suaminya itu mengikuti langkah Kienan untuk masuk dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Namun di sela-sela perjalananya Ziya masih belum puas karena belum mendapatkan jawaban dari suaminya.“Mas ....”“Hmm.”“Maaf,” ucap Ziya dan menghentikan langkahnya ketika di depan pintu kamar.Kienan terlihat acuh dan tidak membahas permintaan maaf istrinya. “Mas, mandi dulu ya. Nanti bicara lagi,” sahut Kienan sambil menutup mulutnya setelah menguap. Rupanya rasa ngantuknya kembali datang.Sampai di dalam kamar, Kienan langsung masuk ke dalam kamar mandi sedangkan Ziya menuju lemari untuk mengambilkan baju tidur Kienan. Dia sengaja mengambil piyama yang sama dengan dirinya. Senyum mengembang dari bibirnya tidak sabar melihat Kienan mengenakan piyama couple dengannya.Setelah hampir sepuluh menit, pintu kamar mandi
Saat ini Ziya hanya menemani Tegar saja hingga kebosanan menderanya. Namun karena ada Mbak Lastri juga menemaninya, jadi tidak terasa sekali.Sambil menunggui Tegar yang sedang rebahan di lantai beralaskan karpet, Ziya dan Mbak Lastri saling bercerita. Tentang banyak hal. Dari masa kecil Mbak Lastri, kehidupannya di kampung dan sejak bekerja di rumah ini.Sedangkan Kiara sedang ada di luar rumah karena ada pertemuan dengan teman-temannya. Teman yang bagaimana juga Ziya tidak paham.Mbak Lastri mulai bercerita saat Ziya meninggalkan akad nikah waktu itu. Bagaimana perasaan dan semua kesedihan Kiara karena Lastri juga ikut menunggui di rumah sakit, apalagi saat Dokter berkata kalau detak jantung Kienan sempat menghilang. Kiara seperti orang gila yang tidak ingin kehilangan putranya.Seminggu setelah Kienan dinyatakan sehat dan keluar rumah sakit, masalah datang lagi di perusahaannya yang mengakibatkan Kienan harus masuk di ruang ICU lagi. Setahu Lastri masa