Share

Acara Tujuh Hari Zoya

“Tegar sayang, kamu haus ya? Ini Tante buatkan susu untuk kamu.”

Ziya tersenyum manis sambil mengocok-ngocok sebentar kemudian menyodorkan botol susu pada mulut mungil Rendi yang sudah terbuka sambil menangis.

“Tegar?” ulang Bu Dewi yang sudah berdiri di ambang pintu kamar Ziya.

Mungkin hanya Ibu Dewi yang bisa masuk kamar Ziya dengan tidak sungkan. Selain beliau adalah pemilik rumah yang dikontrak oleh Ziya, Ibu Dewi juga sudah menganggap Ziya seperti anaknya sendiri. Ibu Dewi tidak mempunyai anak perempuan dan ketiganya anak laki-laki saja, makanya sejak kedatangan Ziya sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

“Ah Bu Dewi, iya aku kasih nama Tegar Wijaya.”

Ziya menjawab ucapan Bu Dewi dan tersenyum lebar tanpa beban dan terlihat sangat bahagia dengan keponakannya itu.

Tentunya Bu Dewi paham nama Wijaya adalah nama Papanya Ziya dan Zoya. Sebenarnya penasaran kenapa Ziya memberi nama itu, tapi karena tidak ingin membuat Ziya tidak nyaman dia urungkan niatan bertanya itu.

Ziya sengaja memberi nama Tegar Wijaya. Tegar yang artinya, agar dia bisa tegar dalam menghadapi segala macam cobaan hidup dan Wijaya adalah diambil dari sang Papa. Zain Wijaya nama Papa Ziya dan Zoya.

“Kalau bayi memang begitu, Ziya. Haus nangis, ngantuk nangis, pipis nangis, lapar nangis dan semua rasa ditunjukkan dengan menangis,” ujar Bu Dewi sambil mendekat ke arah Ziya di ranjang.

“Iya, Bu. Sekarang aku sudah sedikit mengerti bagaimana menangani seorang bayi. Ternyata apa yang kita rasakan bisa dirasakan bayi juga ya?” sahut Ziya cepat sambil membelai pipi Rendi.

“Iya, makanya kamu harus senang dan bahagia agar Tegar bisa merasakan hal itu juga!” tekan Bu Dewi seraya mengelus-elus bahu Ziya lembut dan hanya dijawab anggukan saja oleh Ziya.

“Kamu sudah sholat?” tanya Bu Dewi setelah melihat jam di dinding tergantung di tembok yang sudah menunjukkan waktu sholat Dhuhur.

Ziya mengikuti arah pandang Bu Dewi ke arah tembok tersebut.

“Belum Bu, dari tadi gak mau diam, nangis terus,”  aduh Ziya sambil menatap lelah ke arah Topan.

“Ya sudah, biar Ibu yang jaga Tegar. Kamu buruan sholat sana!”

Sebenarnya Ziya tidak ingin meninggalkan Tegar dengan orang lain meski dengan Bu Dewi yang sudah dianggap seperti Mamanya sendiri tapi karena dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim makanya dia menyetujui usul Bu Dewi.

Ziya hanya diam saja tanpa menjawab ucapan Bu Dewi. Membuat Bu Dewi langsung menarik Topan yang berada di atas kasur dan mengendongnya. Menimang-nimang dan membelai pipinya tidak lama, bayi tampan itu tertidur.

“Aku sholat dulu Bu,” balas Ziya pada akhirnya karena melihat Tegar yang sudah tertidur di gendongan Bu Dewi.

Di akhir sholatnya Ziya menegadahkan kedua tangannya untuk berdoa. Dalam doa itu dia memohon diberikan kemudahan dalam urusan dunia dan akhiratnya serta diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah buat sang Kakak.

Ziya hendak melanjutkan doanya tapi terdengar tangis Tegar yang sangat keras membuatnya segera merapikan mukenanya dan melipat dengan sajadahnya juga.

Naluri keibuannya merasa terpanggil mendengar tangisan keponakannya itu. Setelah mendekati Bu Dewi, Ziya langsung mengambil Tegar dari gendongan Bu Dewi yang berada di teras rumah. Bukan bermaksud tidak sopan tapi dia merasa panik dan takut terjadi sesuatu dengan bayi itu.

Ibu Dewi hanya tersenyum tipis melihat sikap Ziya, mungkin dia khawatir dengan ponakan yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Keterdiaman Bu Dewi tidak sengaja menyadarkan Ziya yang sudah mengendong Tegar. Entah kenapa bayi itu langsung diam ketika sudah di dalam gendongan Ziya.

“Maaf Ibu, saya panik. Saya tidak bermaksud tidak sopan sama Ibu!” sesal Ziya dengan satu tangannya menyentuh punggung tangan Bu Dewi.

Sebagai seorang Ibu tentunya Bu Dewi sangat paham dengan situasi ini. Dia tidak menyalahkan Ziya tapi dia salut dengan sikap Ziya yang langsung tanggap untuk menenangkan Tegar meski Ziya tidak berpengalaman dan usia dia masih terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu.

“Sudah tidak perlu minta maaf. Harusnya Ibu yang minta maaf, tadi Tegar tiba-tiba menangis dan biasanya kalau bayi menangis dia itu kehausan makanya Ibu beri susu yang di botol itu. Tapi ternyata tidak juga diam malah semakin kencang saja eh, pas kamu datang dia langsung diam,” jelas Bu Dewi berbicara dengan menampilkan senyum payahnya merasa tidak bisa menenangkan Tegar.

“Bukan, Ibu tidak salah. Saya yang harus minta maaf,” sesal Ziya kembali masih dengan rasa bersalah.

“Mungkin Tegar sudah nyaman denganmu makanya ketika bangun tidak dalam gendongan kamu dia jadi menangis. Tidurkan saja di dalam sekalian kamu istirahat! Biar urusan yang lain, Ibu yang akan urus dengan tetangga-tetangga di sini.”

Ziya paham maksud Bu Dewi yang dikatakan urusan itu, acara masak-memasak untuk acara pengajian Zoya nanti malam.

“Makasih banyak ya, Ibu,” ucap Ziya dengan mengenggam tangan Bu Dewi. Entah apa yang terjadi kalau tidak ada beliau. Ziya bahkan tidak sanggup memikirkannya.

“Makasih ya, Ibu-ibu semua,” imbuh Ziya menatap pada beberapa tetangga yang masih sibuk dengan pekerjaanya itu.

“Iya, namanya juga tetangga saling membantu,” jawab salah satu Ibu yang sedang mengupas dan merajang bawang.

Ziya akhirnya menuruti perintah Ibu Dewi, dia masuk kamar dan membaringkan Tegar yang sudah kembali tidur saat sudah dalam gendongannya dengan pelan. Setelah itu dia juga membaringkan tubuhnya di sebelah Tegar. Mendekapnya agar kalau bangun dia bisa langsung menenangkannya. Kebiasaan seorang bayi adalah tiba-tiba menangis dan terbangun.

Ziya memaksakan matanya untuk terpejam meskipun sulit. Baru juga bisa memejamkan mata beberapa menit. Tiba-tiba dia teriak dengan keras.

“Kak, Kakak Zoya, jangan tinggalkan aku!”

“Ziya, bangun ...,”

Ibu Dewi langsung mendekati dan mengoyang-goyang bahu Ziya supaya sadar. Setelah beberapa menit akhitnya Ziya dapat membuka matanya kembali dan memandang sedih ke arah Ibu Dewi. Syukur Tegar tidak terbangun oleh teriakan itu.

“Kamu mimpi buruk, Ziya?” tanya Ibu Dewi setelah melihat Ziya sudah duduk dan terlihat cemas.

Bu Dewi berpikir kemungkinan Ziya masih belum bisa melepas dengan ikhlas kepergian Zoya, maklum Ziya hanya punya Zoya tapi sekarang dia sendirian wajar masih memikirkan hal itu.

Ziya belum menjawab pertanyaan Bu Dewi, dia menoleh ke arah Tegar yang masih terlelap dan membelai pipinya.

“Aku mimpi Kak Zoya sedang mengendong Tegar. Setelah itu dia bilang lagi supaya aku jangan meninggalkan anaknya! Setelah itu dia menghilang,” jelas Ziya dengan buliran bening yang sudah membasahi pipinya.

Bu Dewi langsung memeluk Ziya, memberi kekuatan pada gadis malang itu. Ziya terlihat kuat tapi dia menyembunyikan kesedihan yang sangat besar.

“Kamu sebaiknya membersihkan diri dulu, setelah mandikan Tegar karena hari sudah sore.” Beritahu Bu Dewi.

Tanpa menunggu lama Ziya langsung menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya sendiri dulu sedangkan Tegar dijaga oleh Bu Dewi. Setelah itu memandikan Tegar yang kebetulan sudah bangun beberapa menit yang lalu.

Hari telah berganti malam dan acara pengajian sudah di mulai. Beberapa warga sekitar rumah sudah berkumpul di depan rumah. Mereka membacakan sholawat dan membacakan doa. Sampai acara berakhir Ziya masih bisa tersenyum karena masih ada beberapa orang yang menemani di rumah.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status