Selama hampir satu jam, Marigold menghabiskan waktunya untuk mengagumi setiap sudut kamar yang kini menjadi miliknya. Kamar yang lebih luas, lebih hebat, lebih mewah, dan lebih semuanya dari villa tempat dirinya menjalani perawatan sebelum malam pertama.Kasur empuknya memiliki empat tiang, persis kasur milik princess yang dilihatnya di tivi-tivi. Lampu hias yang imut dan cantik di dua meja nakas, di samping ranjang. Juga sebuah televisi layar datar yang besar, menghiasi dinding Kemudian ada sebuah ruang ganti yang luar biasa besar dan lengkap, biasanya disebut orang sebagai walk-in closet."Wah, ini sungguh mewah," gumamnya seraya meraba meja, lengkap dengan semua perlengkapan make up. Dilihatnya merk dari make up itu juga tidak sembarangan. Itu adalah sebuah brand ternama milik internasional. "It's amazing," pekiknya girang.Kemudian Marigold membuka lemari besar yang tertanam di dinding. "Apakah ini semua milikku? Baju, kaos, celana panjang, celana pendek, semuanya dari merk terken
"Sudah, jangan cerewet," bentak Marigold sambil mulai memanjat pohon.Marigold memanjat dengan penuh semangat. Well, sudah lama dirinya tidak memanjat pohon. Diabaikannya suara-suara teriakan dari bawah. Dalam sekejap, Marigold sudah tiba di dekat wanita yang masih memegang dahan pohon dengan sangat erat. Namun, wanita itu tidak lagi menangis, melainkan memandang takjub pada Marigold yang memanjat pohon dengan cepat kayak anak monyet."Kamu baik-baik saja?" tanya Marigold ramah sambil mengulurkan tangan. Sebuah anggukan samar membuat Marigold menghembuskan lega. "Ayo kita turun sama-sama. Aku akan membantumu. Jangan takut.""O-oke."Marigold turun dari pohon dengan merayap perlahan karena harus memegangi tangan wanita ini."Hati-hati. Hati-hati."Namun, pijakan Marigold berikutnya tidak kuat hingga membuatnya terpeleset dan terjatuh dengan menyeret wanita itu bersamanya. Teriakan histeris dari para pelayan meredam suara keras dentuman jatuhnya Marigold dan wanita itu di rumput."Anda
"Tuan Max.""Hm," sahut Maximilian tanpa mengalihkan perhatiannya dari meneliti dokumen lalu menandatanganinya. "Ada apa, Martin?" tanyanya sambil menutup map dokumen, lalu mendongak menatap asisten pribadinya yang berdiri gelisah di depannya."Ada berita dari Edelweis mansion.""Oh, berita apa?" tanya Max acuh tak acuh sambil berdiri dari kursi kerja, lalu meraih jas di gantungan kayu di sebelahnya. Max tidak terlalu tertarik dengan berita dari Edelweis mansion. Pasti berita yang hendak disampaikan Martin, tidaklah jauh dari kehebohan para istrinya. Setiap hari dirinya mendapat laporan dari mansion nya mengenai keseharian para istri. Hal itu membuat Max jenuh dan muak. Jadi Max menganggapnya angin lalu."Saat mendengar berita ini, tolong kendalikan amarahmu," ucap Martin dengan raut wajah serius.Max menghentikan gerakannya mengenakan jas. Sorot mata penasaran ditujukan pada asisten pribadinya. Kemudian Max melanjutkan kembali mengenakan jas nya."Amarahku? Memangnya apa yang telah t
RS Internasional, ruang rawat VVIP. Pukul 21.50"Lho anda kenapa datang kemari lagi, Tuan Max?" tanya Martin heran, ketika baru saja menutup pintu ruang rawat VVIP dimana Marigold dirawat. Martin merasa janggal melihat Max berada di rumah sakit, padahal saat ini seharusnya atasan sekaligus sahabatnya ini sedang melakukan penerbangan ke Inggris untuk melakukan pertemuan dengan investor."Malam ini aku akan melakukan telecoference dengan para investor itu. Aku mengatakan pada mereka bahwa istriku sakit. Jadi dengan menyesal, aku tidak bisa bertemu mereka secara langsung. Dan para investor itu menyetujui pertemuan secara virtual," jawab Max sambil melonggarkan dasinya. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya lanjut seraya mengedikkan dagunya ke arah pintu kamar yang masih tertutup."Sedang tidur," jawab Martin sambil membuka pintu lagi dan membiarkan Max masuk terlebih dahulu. "Apa anda akan menginap disini?" tanyanya ketika melihat Max duduk di sofa dan merebahkan kepalanya di sana."Menurutmu
Marigold mengernyitkan keningnya karena terkejut ketika mendengar suara benda terlempar di dekatnya. Marigold sedikit membuka matanya, tetapi langsung buru-buru menutupnya kembali. Marigold meringis melihat sosok tuan milyader yang menjulang tinggi di sebelahnya. Hanya dengan posisi berdiri yang kaku, Marigold bisa mendeteksi kemarahan suaminya."Kamu adalah milikku. Tubuhmu milikku. Pikiran dan hatimu juga milikku. Siapa pun yang ingin merebut dan memilikimu, akan berurusan denganku!"Deg.Perkataan Tuan Max yang terdengar posesif, sontak membuat jantung Marigold seolah berhenti berdetak. Di satu sisi, dirinya merasa bangga karena dirinya telah menjadi milik seorang milyader terkenal yang kaya dan tampan. Namun disisi lain, hati Marigold menjadi resah sebab perkataan itu tidak akan terucap jika tidak ada yang memicunya."Lalu.. apa yang memicunya? Apa yang membuatnya marah?" batin Marigold sambil mencari posisi yang nyaman untuk mengamati apa yang dilakukan tuan milyader. Sejurus kem
Senyum terus mengembang di bibirnya. Martin tidak pernah merasa bersemangat dalam menjalankan tugas dari Max seperti sekarang ini. Meskipun Martin sudah mendapatkan data lengkap tentang seorang pria bernama Nolan, namun ini akan menjadi sebuah alasan bagi dirinya untuk bertemu dengan Nina, gadis cantik yang sudah mengusik pikirannya.Kini mobilnya sudah berhenti di depan lahan parkir sebuah Dojo milik ayah Nina. Martin melirik jam tangannya, lalu merapikan kerah kemejanya. Dojo nampak sepi, karena memang sudah waktunya tempat latihan karate untuk mengakhiri jam latihannya hari ini. Dan sengaja, Martin datang saat Nina pulang kerja.Tangan Martin mendorong pintu kaca yang terbagi dalam motif kotak-kotak kayu. Meja resepsionis dan lobi dojo nampak lengang. Suasana hening dan tidak seorang pun yang terlihat disana. Apa Nina sudah pulang? Terlambat kah dirinya datang?"SIALAN! LEPASKAN AKU, BRENGSEK!"Sebuah suara bentakan dari arah dalam dojo, membuat Martin terkejut. Martin bergegas mem
Nina menyeruput latte macchiato tanpa benar-benar menikmatinya. Minuman perpaduan kopi dan susu dengan takaran yang seimbang ini, biasanya menjadi minuman kesukaan Nina ketika menikmati secangkir kopi di kafe.Tetapi hari ini suasana terasa gerah. Dengan adanya teman minum kopi yang menyebalkan dan suasana canggung, membuat perut Nina terasa begah. Lelaki tampan nan keren yang duduk di depannya sedang menikmati secangkir kopi espresso panas, tampak acuh tak acuh meski mendapatkan serangan sinar laser berjilid-jilid dari Nina."Percuma menikmati pahitnya kopi, jika kamu terus menambahkan susu sebanyak itu ke dalam cangkirmu. Yang ada, kamu itu meminum susu beraroma kopi," komentar datar Martin saat melihat Nina kembali menambahkan susu putih ke dalam kopi macchiato nya.See.. Bukan cuma sosoknya yang sok belagu, tetapi juga mulutnya yang suka bicara tanpa saringan. Rasanya Nina ingin menuangkan cairan hitam pekat yang sedang diminum laki-laki itu ke atas kepalanya sendiri. Nina berpiki
Max pulang ke Edelweis mansion disambut oleh beberapa pelayan. Langkahnya menuju ruang kerja, dicegat oleh Chrysan, istri keduanya."Malam, Tuan Max," ucap Chrysan lembut. "Aku membuat camilan kesukaanmu. Ini masih hangat, baru keluar dari oven. Akan kuantarkan sendiri ke ruang kerjamu."Max memandang datar pada Chrysan yang berdiri cantik sambil membawa nampan berisi kue yang harum, menyambut kepulangannya. Dengan kedua tangan yang dimasukkan saku, Max berjalan pelan mendekati Chrysan yang wajahnya semakin berbinar karena mendapat perhatian dari tuan milyader."Bawa camilan itu beserta dirimu ke kamarku saja. Aku menunggumu disana," bisik lembut Max di telinga Chrysan. Lalu tanpa menunggu jawaban dari istri keduanya, Max langsung melangkah pergi.Chrysan yang mendengar bisikan mesra itu langsung sumringah. Wajah cantiknya berseri-seri. Dari perkawinan nya dengan Tuan Max beberapa bulan yang lalu, baru satu kali dirinya berbaring di ranjang tuan milyader, yaitu saat malam pertama pern