Alena memandang rumah berwarna biru laut dengan pekarangan luas dihadapannya. Dia baru saja turun dari becak yang mengantarnya dari stasiun.
Tampak senyum di wajahnya yang manis dan teduh. Mengingat kenangan masa kecilnya di rumah ini. Sudah dua tahun, ia tidak pulang. Dan tiga hari yang lalu, Ayahnya menyuruh pulang karena ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan.
Selama ini, Alena merantau bekerja di luar pulau. Ia ikut keluarga bibinya di Kalimantan, dan bekerja menjadi staff administrasi sebuah perusahaan tambang batu bara.
Gadis itu membuka pagar hitam yang tidak terlalu tinggi dan memasuki pekarangan."Lena ... kok nggak telepon dulu kalau sudah sampai, 'kan bisa dijemput Ayah?"
Seorang wanita setengah baya muncul dari pintu dan menghampirinya dengan tergopoh.
Gadis muda itu tersenyum dan segera memeluk sang wanita.
"Nggak jauh juga jarak stasiun ke rumah, Bu. Tadi begitu sampai bandara Adisucipto, langsung ada jadwal kereta Pramex. Jadi Lena naik Pramex biar cepat sampai," jawab gadis itu sambil mencium pipi Ibunya.
"Kok sepi. Ayah sama Lek Dirman kemana?"
"Pergi mengantar Masmu sebentar, Nduk. Udah bersih-bersih dulu sana, habis itu makan baru istirahat."
"Mas Arman juga pulang, Buk? Asyiikkk ...." teriaknya riang.
Ibu Marini tersenyum melihat polah anak perempuannya. Segera di siapkan makan siang, setelah putrinya itu masuk ke dalam kamar yang telah ditinggalkan selama dua tahun ini.
***Keluarga kecil itu saling duduk berhadapan dengan lelaki yang lebih tua dari Ayahnya, menurut tafsiran Lena. Dan ia tidak mengenal sama sekali siapa lelaki bermata tajam dan berkumis itu.
Lelaki paruh baya itu memandang Lena dengan tatapan menusuk tanpa berkedip, membuatnya salah tingkah dan jengah.
"Kalian berdua … hampir tidak bisa dibedakan," ucap lelaki itu dengan suara berat dan parau yang terdengar menakutkan bagi Lena.
Kening Lena mengernyit tanda tak paham. Tapi, ia tidak berani menatap lagi lelaki itu. Karena baginya, pandangan mata lelaki tua itu begitu menusuk seakan menguliti tubuhnya.
"Ehm ... begini Lena. Beliau ini namanya Seno. Kakak kandung ayah satu-satunya dan tinggal di Jakarta," jelas Ayah Lenna.
"Ayah punya Kakak? Kok Lena baru tahu? Mas Arman tahu juga selama ini?"
Pandangannya beralih pada Kakaknya--Arman yang tampak terkejut dan menunduk.Kembali, Alena tertegun dan memandang satu-persatu anggota keluarganya. Ibu yang duduk disampingnya pun, diam dan tampak gelisah. Lena mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak semestinya.
"Ngene, Nduk ...." (Begini, Nak)
"Wes. Biar aku yang menjelaskan, Bim. Semua dengarkan." Om Seno tiba-tiba menyela pembicaraan Ayah Lena.
"Bima, bapakmu ini adalah adik kandungku satu-satunya. Kami terlahir dari keluarga bangsawan yang terhormat dan bahagia sebelum akhirnya Bima bertemu dengan ibumu lalu meninggalkan kami," ujar Seno sambil melirik sinis sang adik ipar.
Lena menoleh ke arah Ibunya yang tetap bergeming dan menunduk.
"Lalu dengan alasan cinta, mereka hidup sederhana di kota ini dan lahirlah Arman. Tidak lama kemudian, ibumu kembali hamil. Dan melahirkan kamu ... bersama kembaranmu." lanjut Seno menjelaskan dengan masih menatap Lena melalui tatapan menusuknya.
Gadis itu terhenyak, kemudian menatap bergantian pada Ayahnya dan Seno. Terdengar isakan kecil dari arah sang Ibu.
Sedangkan Arman, segera memalingkan wajah dari pandangan adiknya. Seakan ia menghindar dengan tatapan menelisik sang adik."Maksudnya apa, Om? Di mana kembaran Lena?" tanya gadis itu dengan sedikit bergetar.
"Namanya Avena. Dia juga cantik sepertimu, wajah kalian bagai pinang dibelah dua. Tapi, dia sudah menikah dengan seorang putra milyader."
"Sudah hentikan, Mas. Lena tidak tahu apa-apa. Biar nanti Bima yang menjelaskan sendiri," sahut Pak Bima sendu.
"Kenapa selama ini Lena nggak tahu, Yah? Sebenarnya apa yang kalian semua sembunyikan? Ibu, Mas Arman ... kenapa hanya diam?" Ia menatap satu-persatu keluarganya dengan wajah sendu dan mata berkabut
Seno berdehem kecil, seperti memberi isyarat agar mereka semua tidak ada yang menyela pembicarannya.
"Vena kecil sering sakit dan Bima tidak punya cukup uang untuk membawanya ke rumah sakit. Kemudian anak itu, Om ambil dan jadi anak angkat juga adik bagi Davin, putra Om." Seno menjeda kalimatnya dengan meneguk kopi yang sudah mulai dingin di atas meja.
"Beberapa tahun yang lalu, ada seorang pemuda kaya mempersunting Kakakmu. Tapi, tiba-tiba dia menghilang," lanjut Seno dengan wajah kaku.
Isakan Ibu Lena semakin keras terdengar. Sedang Pak Bima hanya diam mematung dengan matanya mengembun dan menatap langit-langit rumah.
"Lalu ... maksud Om Seno, apa?" tanya Lenna lirih hampir tidak terdengar. Dia semakin merasa ada yang tidak beres sedang terjadi dan semua mengarah pada dirinya.
Kehadiran Om Seno, dan kejutan bahwa ternyata dia punya kembaran, membuat instingnya semakin yakin jika kedatangan kakak Ayahnya itu hanya akan membawa malapetaka bagi keluarganya.
"Anak pintar. Kau langsung mengerti arah pembicaraan kita, cah ayu." Seno terkekeh ditengah keluarga adiknya yang terlihat muram dan sendu.
"Mas ... aku mohon jangan libatkan Lena. Cukup Vena saja yang kau korbankan. Jangan ambil anakku lagi." Bima memohon hingga menangkupkan ke dua tangannya.
"Kamu ingin kita semua mati, Bim! Kaindra suami Venna bukan orang sembarangan. Dan putrimu yang satu itu sudah aku jadikan Cinderela tapi malah tidak tahu diri. Sekarang harus ada yang membayarnya, atau nyawa kita semua taruhannya!" teriak Seno dengan rahang mengeras.
"Maksud Om apa? Lena dari tadi tidak tahu arah pembicaraan Om Seno."
"Intinya kamu harus menjadi istri pengganti bagi Kaindra. Kamu harus pura-pura jadi Avena."
"Mas!"
"Om!"
Serentak Pak Bima dan Arman berdiri siap menentang keputusan Seno. Tangan mereka terkepal dengan muka merah menahan geram.
Sedangkan Alena dan Ibunya terlihat syok dan lemas.
"Terserah jika kalian semua mau mati di tangan Kaindra. Ini tidak akan lama, sampai kita bisa menemukan keberadaan Vena, maka kamu bisa kembali ke kehidupanmu lagi."
Seno tampak gusar menahan geram dengan keberanian adiknya serta keponakan yang menentangnya.
"Arman siap mati, asal Lena tidak menggantikan posisi Vena!" Pemuda itu menatap tajam Seno dan menantangnya.
Seno berdiri dan berhadapan dengan Arman. Matanya menyipit seakan meremehkan keponakannya itu. Senyum sinis dan licik tersungging di bibirnya.
"Tahu apa kamu tentang kematian, anak kemarin sore. Aku yang hampir mengalami kematian berkali-kali dan masih tetap bisa hidup.
Kalian akan merasakan akibat karena telah menentangku. Lihat saja nanti!" ucap Seno dengan tertawa dingin, kemudian keluar dari rumah Pak Bima.Tidak berapa lama, terdengar deru suara mesin mobil menjauh.
Alena segera dipeluk Ibunya karena masih tampak syok dan lemas.
Pak Bima tampak mengusap wajah berkali-kali. Ia tahu, kakaknya itu tidak akan menyerah. Ia pasti akan datang lagi entah dengan rencana apa. Bima harus segera membawa keluarganya pergi agar selamat. Cukup sudah ia kehilangan Avena. Kali ini, ia akan mempertahankan Alena putrinya meski nyawa menjadi taruhannya.
Mobil Kijang biru tua yang dikemudikan Lek Dirman merayap menembus malam pekat dan kabut yang dingin keluar dari kota Purworejo menuju arah timur.Pak Bima sudah bertekad akan pergi sejauh mungkin agar Seno tidak bisa menemukan mereka. Terutama Alena, gadis itu harus disembunyikan.Di bagian bangku jok belakang, Alena dan Ibunya duduk meringkuk berpelukan. Sedang Arman duduk sendiri di bangku tengah dengan pandangan kosong melihat pemandangan luar yang gelap dan penuh kabut.Pukul tiga pagi kendaraan mereka memasuki kota Yogyakarta. Masuk kota ini, jalan sudah mulai ada aktifitas meski masih pagi buta.Bima memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan sambil membeli sarapan nasi gudeg. Mereka duduk berjejer sambil menikmati suasana jalan raya yang masih lengang.Tidak ada tawa maupun senda gurau antara mereka. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing dan kesedihan karena harus meninggalkan rumah yang sud
Orang-orang mulai berdatangan dan menolong mereka dengan melepas ikatan tangan terlebih dahulu. Tidak lama kemudian ambulans datang membawa Arman juga Ibunya. Sedangkan Dirman tetap berada di sana menunggu mobil derek tiba untuk menarik mobil tua itu. Bagaimanapun, sawah itu milik orang lain dan keluarga Bima harus bertanggungjawab dengan kerusakan yang terjadi.Marini, ibu Lena histeris memanggil-manggil putrinya saat sadar, hingga para perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang untuk menenangkannya. Sedang Arman harus menjalani operasi tangan kirinya yang patah akibat di tendang dengan keras berkali-kali.Bima mengusap rambut Marini--istrinya dengan sendu. Wanita itu diam tertidur karena pengaruh suntikan dari perawat. Pria itu menyeka sisa lelehan air mata di pipi istrinya."Bu ... bagaimana caraku untuk menyelamatkan Lena? Kenapa nasib keluarga kita jadi seperti ini? Kita sudah kehilangan Vena, bahkan sebelum dia gena
"Kenapa malah bengong?" Pertanyaan Davin membuat gadis itu tersentak. Ia segera menundukkan wajahnya.Lelaki muda itu terkekeh kecil, "kamu masih takut? Baiklah kita keluar dari sini."Davin menarik tangan Alena dan menggandengnya keluar dari gudang itu. Sampai di luar ternyata sudah malam. Beberapa orang yang menghajar keluarganya tadi pagi tampak berjaga di luar. Lena beringsut bersembunyi dibalik punggung Davin."Kenapa kalian menempatkannya di gudang busuk itu?" hardik Davin."Perintah Tuan besar," ucap si brewok, salah satu pengawal.Davin mendesah kasar lalu membimbing tangan Lena yang masih ketakutan melihat mereka.Mereka menundukkan kepala ketika Davin dan Alena melewatinya.Salah seorang membukakan pintu sebuah mobil mewah warna hitam metalik untuk mereka berdua."Kamu suka makan apa, Lena?" tanya Davin tiba-tiba dan membuat gadis itu gelagapan."M-m ... apa aja, Kak."
"Ajak dia masuk ke dalam kamar Vena dan ajarkan semua kebiasaan anak itu selama ini," perintah Seno pada Davin."Baik, Pa. Ayo Lena," ajak Davin dengan segera masuk ke dalam sebuah kamar.Lagi-lagi gadis itu dibuat takjub dengan isi kamar Vena, saudara kembarnya. Kamar ini besar, tiga kali lebih besar dari kamarnya dan juga sangat mewah. Kamar bernuansa abu muda ini menambah kesan pemiliknya adalah seorang gadis bercita rasa tinggi.Davin membuka almari baju serta sepatu milik Vena. Ia menjelaskan satu-persatu baju dan sepatu yang disukai Vena dan menyuruh Lena untuk mencoba memakainya.Awalnya Lena ragu untuk mencoba baju milik kembarannya, karena semua baju miliknya sexy dengan lekuk tubuh menggoda. Namun Davin mencoba terus dan berusaha meyakinkannya.Lena keluar dari kamar mandi dengan malu, menggunakan sebuah dres selutut yang menampilkan lekuk tubuh. Davin tertegun melihatnya. Lena benar-benar sempurna sebagai seorang wanita, ti
Mobil sedan hitam mewah memasuki sebuah gerbang dengan beberapa penjaga, lalu meluncur masuk dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang besar dan sangat mewah.Sekali lagi Lena dibuat takjub karena rumah ini lebih pantas disebut istana khayalan. Dengan pilar-pilar penopang yang besar dan megah, serta ukiran unik di dinding pintu masuknya, menambah kesan bahwa pemiliknya adalah pecinta seni.Tiga orang pelayan dengan seragam navy menyambut mereka di depan pintu. Lena keluar dan melangkah dengan anggun memasuki ruang tamu yang begitu mewah.Seperti yang Davin katakan, ia harus memasang wajah angkuh serta meremehkan. Beberapa pelayan meliriknya sekilas, lalu menunduk tidak berani menatap.Tuan Seno menyuruh Lena duduk di sebuah sofa empuk berwarna soft dengan isyarat mata. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dengan anggun.Wanita itu masih cantik di usianya yang mungkin sudah mengin
Sore kelabu dengan awan berarak hitam menggumpal pekat. Angin bertiup agak kencang, petir menyambar terdengar dari kejauhan.Lena terpekur di atas sofa kamar memandang rintik hujan yang mulai turun di luar sana. Kamar yang mewah ini baginya bagai sebuah ruangan kosong tanpa ruh. Semuanya hampa.Apa yang akan dilakukannya saat suami Kakaknya nanti datang? Bagaimana jika laki-laki yang dipanggil 'Kai' itu meminta kewajibannya sebagai seorang istri?Arghhh ... rasanya kepala Lena ingin pecah. Seumur hidupnya ia belum pernah berpacaran. Lalu sekarang ia harus dihadapkan pada kenyataan berpura-pura harus menjadi Avena. Dan bodohnya lagi, ia mau dan tidak bisa menolak.Tapi, ia tidak punya pilihan, karena nasib keluarganya ada di tangan Om Seno. Berkali laki-laki paruh baya berkepala setengah botak itu mengancam akan membuat keluarganya menderita jika tidak mau menuruti keinginannya.Gadis itu mengusap air matanya saat ada yang meng
"Putraku tersayang sudah pulang? Kemarilah cepat, duduk dan makan," ujar Nyonya Merry dengan riang."Aku sudah makan tadi di kantor, Mi," jawab lelaki itu dengan duduk disamping Lena.Jantung gadis itu berdegup kencang, tangannya gemetar dan berkeringat. Ia tidak berani menoleh pada lelaki disampingnya."Kamu sudah pulang," tanya lelaki itu datar dengan menatap tajam ke arah Lena, saat gadis itu menoleh padanya.Lena tertegun saat menyadari betapa tampan Kakak iparnya ini. Namun, mendadak Lena merasa ketakutan dengan tatapannya yang tajam dan dingin, seakan menelanjangi seluruh tubuh Lena."I-iya," jawabnya gugup.Kaindra tertawa garing kemudian beralih pada Ayahnya. Mereka membicarakan bisnis tanpa sedikitpun Kaindra peduli pada Lena yang duduk dengan gemetar dan gugup disampingnya.Makan malam itu sangat lama dan membosankan menurut Lena. Karena ia hanya diam mendengarkan, tidak tahu apa yang mereka semua b
"Ti-tidak." Lena tergagap dan mencoba membalas tatapannya. Namun, hatinya mencelos dan bergetar melihat manik mata Kai yang dingin dan dalam. Ia menundukkan kepala, lalu bersiap pergi untuk menghindar dari tatapan menusuk Kai.Namun, tiba-tiba Kai menarik lengan Lena kemudian mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat.Lena tersentak dan merintih karena merasa terkejut juga sakit."Le-lepaskan. Sakit ....""Siapa kamu?!" Suara Kai yang tajam mendesis membuat bulu kuduk Alena meremang.Gadis itu ketakutan setengah mati, tapi ia tetap berusaha untuk tenang. "Aku istrimu, siapa lagi?" jawabnya dengan suara serak, seakan menantang.Kaindra tertawa sinis. Ia melepaskan cengkramannya kemudian membopong tubuh Lena dan melemparnya di ranjang dengan kasar. Lena terhempas. Ia menelan ludah saat melihat seringai mengerikan dari bibir tipis laki-laki itu."Siapa kamu!" Suara Kai bagaikan seorang algojo yan