Share

3. Keluarga Bima

Alena memandang rumah berwarna biru laut dengan pekarangan luas dihadapannya. Dia baru saja turun dari becak yang mengantarnya dari stasiun.

Tampak senyum di wajahnya yang manis dan teduh. Mengingat kenangan masa kecilnya di rumah ini. Sudah dua tahun, ia tidak pulang. Dan tiga hari yang lalu, Ayahnya menyuruh pulang karena ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan.

Selama ini, Alena merantau bekerja di luar pulau. Ia ikut keluarga bibinya di Kalimantan, dan bekerja menjadi staff administrasi sebuah perusahaan tambang batu bara.

Gadis itu membuka pagar hitam yang tidak terlalu tinggi dan memasuki pekarangan.

"Lena ... kok nggak telepon dulu kalau sudah sampai, 'kan bisa dijemput Ayah?" 

Seorang wanita setengah baya muncul dari pintu dan  menghampirinya dengan tergopoh.

Gadis muda itu tersenyum dan segera memeluk sang wanita.

"Nggak jauh juga jarak stasiun ke rumah, Bu. Tadi begitu sampai bandara Adisucipto, langsung ada jadwal kereta Pramex. Jadi Lena naik Pramex biar cepat sampai," jawab gadis itu sambil mencium pipi Ibunya.

"Kok sepi. Ayah sama Lek Dirman kemana?"

"Pergi mengantar Masmu sebentar, Nduk. Udah bersih-bersih dulu sana, habis itu makan baru istirahat."

"Mas Arman juga pulang, Buk? Asyiikkk ...." teriaknya riang.

Ibu Marini tersenyum melihat polah anak perempuannya. Segera di siapkan makan siang, setelah putrinya itu masuk ke dalam kamar yang telah ditinggalkan selama dua tahun ini.

***

Keluarga kecil itu saling duduk berhadapan dengan lelaki yang lebih tua dari Ayahnya, menurut tafsiran Lena. Dan ia tidak mengenal sama sekali siapa lelaki bermata tajam dan berkumis itu.

Lelaki paruh baya itu memandang Lena dengan tatapan menusuk tanpa berkedip, membuatnya salah tingkah dan jengah.

"Kalian berdua … hampir tidak bisa dibedakan," ucap lelaki itu dengan suara berat dan parau yang terdengar menakutkan bagi Lena.

Kening Lena mengernyit tanda tak paham. Tapi, ia tidak berani menatap lagi lelaki itu. Karena baginya, pandangan mata lelaki tua itu begitu menusuk seakan menguliti tubuhnya.

"Ehm ... begini Lena. Beliau ini namanya  Seno. Kakak kandung ayah satu-satunya dan tinggal di Jakarta," jelas Ayah Lenna.

"Ayah punya Kakak? Kok Lena baru tahu? Mas Arman tahu juga selama ini?" 

Pandangannya beralih pada Kakaknya--Arman yang tampak terkejut dan menunduk.

Kembali, Alena tertegun dan memandang satu-persatu anggota keluarganya. Ibu yang duduk disampingnya pun, diam dan tampak gelisah. Lena mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak semestinya.

"Ngene, Nduk ...." (Begini, Nak)

"Wes. Biar aku yang menjelaskan, Bim. Semua dengarkan." Om Seno tiba-tiba menyela pembicaraan Ayah Lena.

"Bima, bapakmu ini adalah adik kandungku satu-satunya. Kami terlahir dari keluarga bangsawan yang terhormat dan bahagia sebelum akhirnya Bima bertemu dengan ibumu lalu meninggalkan kami," ujar Seno sambil melirik sinis sang adik ipar.

Lena menoleh ke arah Ibunya yang tetap bergeming dan menunduk.

"Lalu dengan alasan cinta, mereka hidup sederhana di kota ini dan lahirlah Arman. Tidak lama kemudian, ibumu kembali hamil. Dan melahirkan kamu ... bersama kembaranmu." lanjut Seno menjelaskan dengan masih menatap Lena melalui tatapan menusuknya.

Gadis itu terhenyak, kemudian menatap bergantian pada Ayahnya dan Seno. Terdengar isakan kecil dari arah sang Ibu.

Sedangkan Arman, segera memalingkan wajah dari pandangan adiknya. Seakan ia menghindar dengan tatapan menelisik sang adik.

"Maksudnya apa, Om? Di mana kembaran Lena?" tanya gadis itu dengan sedikit bergetar.

"Namanya Avena. Dia juga cantik sepertimu, wajah kalian bagai pinang dibelah dua. Tapi, dia sudah menikah dengan seorang putra milyader."

"Sudah hentikan, Mas. Lena tidak tahu apa-apa. Biar nanti Bima yang menjelaskan sendiri," sahut Pak Bima sendu.

"Kenapa selama ini Lena nggak tahu, Yah? Sebenarnya apa yang kalian semua sembunyikan? Ibu, Mas Arman ... kenapa hanya diam?" Ia menatap satu-persatu keluarganya dengan wajah sendu dan mata berkabut 

Seno berdehem kecil, seperti memberi isyarat agar mereka semua tidak ada yang menyela pembicarannya.

"Vena kecil sering sakit dan Bima tidak punya cukup uang untuk membawanya ke rumah sakit. Kemudian anak itu, Om ambil dan jadi anak angkat juga adik bagi Davin, putra Om." Seno menjeda kalimatnya dengan meneguk kopi yang sudah mulai dingin di atas meja.

"Beberapa tahun yang lalu, ada seorang pemuda kaya mempersunting Kakakmu. Tapi, tiba-tiba dia menghilang," lanjut Seno dengan wajah kaku.

Isakan Ibu Lena semakin keras terdengar. Sedang Pak Bima hanya diam mematung dengan matanya mengembun dan menatap langit-langit rumah.

"Lalu ... maksud Om Seno, apa?" tanya Lenna lirih hampir tidak terdengar. Dia semakin merasa ada yang tidak beres sedang terjadi dan semua mengarah pada dirinya.

Kehadiran Om Seno, dan kejutan bahwa ternyata dia punya kembaran, membuat instingnya semakin yakin jika kedatangan kakak Ayahnya itu hanya akan membawa malapetaka bagi keluarganya.

"Anak pintar. Kau langsung mengerti arah pembicaraan kita, cah ayu." Seno terkekeh ditengah keluarga adiknya yang terlihat muram dan sendu.

"Mas ... aku mohon jangan libatkan Lena. Cukup Vena saja yang kau korbankan. Jangan ambil anakku lagi." Bima memohon hingga menangkupkan ke dua tangannya.

"Kamu ingin kita semua mati, Bim! Kaindra suami Venna bukan orang sembarangan. Dan putrimu yang satu itu sudah aku jadikan Cinderela tapi malah tidak tahu diri. Sekarang harus ada yang membayarnya, atau nyawa kita semua taruhannya!" teriak Seno dengan rahang mengeras.

"Maksud Om apa? Lena dari tadi tidak tahu arah pembicaraan Om Seno."

"Intinya kamu harus menjadi istri pengganti bagi Kaindra. Kamu harus pura-pura jadi Avena."

"Mas!"

"Om!"

Serentak Pak Bima dan Arman berdiri siap menentang keputusan Seno. Tangan mereka terkepal dengan muka merah menahan geram.

Sedangkan Alena dan Ibunya terlihat syok dan lemas.

"Terserah jika kalian semua mau mati di tangan Kaindra. Ini tidak akan lama, sampai kita bisa menemukan keberadaan Vena, maka kamu bisa kembali ke kehidupanmu lagi."

Seno tampak gusar menahan geram dengan keberanian adiknya serta keponakan yang menentangnya.

"Arman siap mati, asal Lena tidak menggantikan posisi Vena!" Pemuda itu menatap tajam Seno dan menantangnya.

Seno berdiri dan berhadapan dengan Arman. Matanya menyipit seakan meremehkan keponakannya itu. Senyum sinis dan licik tersungging di bibirnya.

"Tahu apa kamu tentang kematian, anak kemarin sore. Aku yang hampir mengalami kematian berkali-kali dan masih tetap bisa hidup.

Kalian akan merasakan akibat karena telah menentangku. Lihat saja nanti!" ucap Seno dengan tertawa dingin, kemudian keluar dari rumah Pak Bima.

Tidak berapa lama, terdengar deru suara mesin mobil menjauh.

Alena segera dipeluk Ibunya karena masih tampak syok dan lemas.

Pak Bima tampak mengusap wajah berkali-kali. Ia tahu, kakaknya itu tidak akan menyerah. Ia pasti akan datang lagi entah dengan rencana apa. Bima harus segera membawa keluarganya pergi agar selamat. Cukup sudah ia kehilangan Avena. Kali ini, ia akan mempertahankan Alena putrinya meski nyawa menjadi taruhannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Machel Malayeka
Semakin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status