Akad nikahku dan Mas Yusuf digelar di rumah kami. Pernikahan yang terjadi tanpa pacaran. Bahkan hanya taaruf sebulan, aku langsung setuju untuk menikah dengannya.
Mataku menyipit, menajamkan penglihatan kala tampak luka seperti bekas cakaran di tangan suamiku. Bekas yang merah kecoklatan itu sebagian tertutup lengan tuxedo yang dikenakannya.
"Dik Hanna," panggil Mas Yusuf yang membuatku terhenyak.
"Ah, ya." Segera kucium punggung tangan lelaki tampanku itu. Saat melihat senyumnya yang menawan segala pertanyaan mengenai bekas cakaran itu menghilang dari pikiran.
Usai acara yang dilangsungkan, Mas Yusuf pamit pada keluarga, akan memboyongku ke rumahnya.
Sepanjang jalan aku tersipu setiap kali melihat ke arah Mas Yusuf dan ternyata pria itu juga menatap ke arahku. Mungkinkah debar jantung yang kurasa Mas Yusuf juga merasakannya?
Sampai di sebuah rumah besar, mobil yang mengantar kami berbelok. Rumah ini tampak sepi. Di depan pintu pria itu mengeluarkan kunci. Apa iya di rumah sebesar ini Mas Yusuf tidak menyewa pembantu? Atau orang bantu-bantu. Hem. Entahlah, barang kali karena sudah malam, para pekerja sudah pulang.
"Em. Maaf, kunci rumah Mas masih manual. Belum sempat mengurus ini, belakangan memang sibuk sekali," ucap pria itu sambil sibuk memasukkan anak kunci.
"Hem. Santai saja, Mas. Aku biasa hidup susah," kelakarku. Pria itu tertawa renyah.
Ya, aku sudah mandiri sejak SMP. Sejak masuk Pesantren segala hal kuurus sendiri, aku bahkan yang mengurus keperluan sebagian santri setelah menjadi senior dan dipercaya ustazah untuk ikut andil di Pesantren.
"Masuklah." Mas Yusuf tersenyum. Wajahnya makin bersinar saat kuamati lengkungan di bibir itu untuk kali pertama.
Ini juga pertama kali aku menjejakkan kaki di rumah pria yang baru menghalalkanku.
Satu-persatu ruangan di lantai satu diperlihatkan padaku hingga kami naik ke lantai dua. Pria itu memperlihatkan kamar kami yang besar. Namun, sebelum masuk mataku tak sengaja menangkap bayangan pintu di ujung lorong. Gelap. Tak ada jendela atau penerangan di sana.
"Itu ... juga kamar?" tanyaku ragu.
Seketika Mas Yusuf menoleh melihat ruang yang kutunjuk.
"Ehm. Itu hanya gudang," jawabnya tampak gelagapan.
Gudang? Kenapa letaknya di lantai dua? Tak masuk akal. Dan yang membuatku heran ada apa dengan ekspresi itu? Apa dia menyimpan seorang gundik di sana? Apa dia menyimpan monster?
"Sudah, masuklah. Ini malam pertama kita jadi ...."
Aku yang sebelumnya sempat curiga, sontak tersenyum melihat ekspresi malu-malu di wajahnya. Kami canggung. Karena sedari awal perkenalan, ta'aruf sebulan tanpa pertemuan dan interaksi intens, akad segera digelar.
Kami pun masuk. Hatiku semakin berdebar karena ini kali pertama memasuki kamar seorang pria dan melakukan hal yang memang hanya boleh dilakukan pria dan wanita yang telah halal.
"Kita sholat taubat dulu, ya?"
"Hem, sholat taubat?" Mataku melebar.
"Hem, bisa jadi banyak sekali dosa yang sudah kita perbuat sebelum pernikahan ini."
"Ah, ya." Aku menuruti kemauan Mas Yusuf. Tak salah keluargaku menyetujuinya sebagai imamku. Dia pria sholeh dan teliti terhadap amaliyahnya.
Mas Yusuf mengajak sholat dan mendoakanku.
Lelaki itu memuji kecantikanku. Mas Yusuf bertindak seolah sangat menginginkanku sebagai seorang wanita, akan tetapi pria itu memutuskan di tengah-tengah. Saat di mana aku sangat menginginkan menjadi wanita seutuhnya lantaran bisa melayani suaminya.
"Maaf, Dik. Mas letih. Kita kerjakan lain kali saja, ya," ucapnya sambil memijit tengkuk.
Aku yang kecewa mengangguk lemah. Tentu saja tak mungkin sebagai seorang wanita aku menyerangnya duluan. Itu memalukan. Kami pun akhirnya tertidur. Dengan perasaanku yang penuh kedongkolan tentunya.
____________
Tengah malam aku terbangun seperti biasa. Untuk buang air dan membasahi kerongkongan karena haus. Entah, apa sebabnya aku tak bisa jauh-jauh dari air putih. Barangkali hanya karena aktifitas yang kujadikan rutinitas, hingga tak sadar jadi kebiasaan dan merasa aneh jika tidak melakukannya.
Itu juga yang membuatku bisa terbangun beberapa kali saat malam, guna mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dalam bentuk air seni.
Kuraih botol yang kusiapkan di nakas. Setelah minum, aku baru sadar Mas Yusuf tak ada di sampingku.
Ke mana dia? Kamar mandi? Tak mungkin. Karena pintu kamar mandi terbuka dan tak ada suara apa pun dari sana.
Kupegangi perut karena tak tahan lagi menahan pipis. Padahal ada keinginan mencari Mas Yusuf, tapi biarlah kubuang dulu hal yang sangat mengganggu ini.
Begitu keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf masih belum kembali ke ranjangnya. Penasaran aku pun memutuskan untuk keluar. Barangkali dia sedang kelaparan dan tengah berada di dapur. Atau sedang menonton bola? Apa dia seorang bola maniak? Ah entah. Lebih baik aku langsung memeriksa sendiri.
Namun, baru membuka pintu langkahku terhenti kala melihat sesosok bayangan masuk ke dalam ruangan di ujung koridor yang gelap.
Dari kejauhan aku bisa melihat dia tengah membawa nampan dengan gelas dan piring di atasnya.
Mataku semakin menyipit. Menajamkan pandangan untuk memindai keberadaan sosok itu. Apa itu Mas Yusuf suamiku? Jika iya, apa yang dilakukan tengah malam begini di dalam ruangan yang katanya adalah gudang? Apa ini ada kaitannya dengan penolakannya tadi? Jangan-jangan dia penganut ilmi hitam dan aku adalah tumbal pengantinnya?
Next
Mataku semakin menyipit. Menajamkan pandangan untuk memindai keberadaan sosok itu. Apa itu Mas Yusuf suamiku?Jika iya, apa yang dilakukan tengah malam begini di dalam ruangan yang katanya adalah gudang? Apa ini ada kaitannya dengan penolakannya tadi? Jangan-jangan dia penganut ilmu hitam dan aku adalah tumbal pengantinnya?Aku segera menyembunyikan diri dengan menarik tubuh ke kamar kembali. Melihat kenyataan sebelumnya, bahwa Mas Yusuf seolah menyembunyikan isi kamar itu dariku.Merasa pria itu sudah masuk aku segera mendekat ke arah bilik tersebut untuk mencari tahu. Seiring langkah, perasaan curiga dan kesal karena dibohongi Mas Yusuf berkecamuk memenuhi pikiran. Berbagai prasangka berkelindan dalam benak, bersamaan langkah yang mengikis jarak antara aku dan keberadaan pria itu.Kini aku sudah berada di ujung koridor. Mengamati pintu yang tertutup rapat di hadapan. Mataku melebar. Ada
Namun, antara kenyataan dan mimpi, aku mendengar suara orang berteriak. Suara seorang wanita. Aku pun terbangun dalam kondisi duduk karena terkejut."Allohumma inni a'zubika min 'amalis syaithoni wa sayyi-atil ahlam."Ya Allah, benarkah itu tadi mimpi? Tapi, kenapa rasanya sangat nyata?Tak lama suara dari pintu terdengar, aku pun sontak menoleh dan kembali terkejut, rupanya itu adalah Mas Yusuf yang datang."Ada apa, Dik?" tanyanya yang berjalan semakin mendekat.Napasku naik turun. Selain kaget, jujur saja ada rasa takut yang merayap memenuhi pikiran."Dik Hanna mimpi buruk?"Aku menggeleng. Ini terlalu nyata unruk disebut mimpi. Meski aku sendiri tak yakin."Aku gak tau, Mas. Mimpi atau nyata?""Mas, ke mana? Aku sendirian menunggu Mas di sini?" tanyaku, pura-pura tak tahu apa ada di mana
Dari tangan kanan yang tak lagi tertutup apapun itu, aku bisa melihat bekas luka cakaran lebih jelas dari kemarin. Argh, bikin penasaran saja bekas cakaran siapa itu? Setelah nanti kami mulai akrab aku pasti akan menanyakannya. Rasanya sangat aneh jika tiba-tiba aku menanyakan itu sekarang.Kenapa dia keramas segala? Kami bahkan tak melakukan apapun. Apa yang sebenarnya kamu perbuat di bilik itu Mas? Bermain dengan wanita lain? Atau kamu sedang melakukannya sendiri? Itu kenapa Mas Yusuf tak mau menyentuhku.Lelaki itu terus berjalan ke arah almari, ia tampak tak memahami maksudku. Aku jadi bingung sendiri mau bertanya lagi. Masa iya aku tanya 'Kamu tidur sama siapa?'Kami bahkan belum seakrab itu, belum lagi dia yang tak mau menyentuhku juga penolakannya yang meruntuhkan seluruh harga diriku semalam. Padahal aku sudah mau cuek dan tak peduli soal dia masuk bilik itu, tapi kenapa malah sekarang keramas
Obat? Siapa yang sakit? Sejauh ini aku melihat Mas Yusuf sehat-sehat saja. Dan lagi bukankah dia bilang tak lagi punya keluarga. Lalu untuk siapa obat itu?Jangan-jangan ....Lagi, pikiran ini traveling ke mana-mana. Walau bagaimana aku wanita biasa. Perlu kejelasan terhadap sebuah hubungan. Apa aku tak berhak tahu semua tentang dirinya?Selama Mas Yusuf bicara pada dokter, aku terdiam dan berusaha mencerna apa yang sebenarnya mereka obrolkan."Tapi aman kan, Dok?" tanya suamiku.Untuk siapa obat itu? Sakit apa sampai dokter yang menanganinya?Anehnya, kalau aku tak boleh tahu, kenapa dia tak pergi menjauh saat bertelepon? Apa dia sengaja membuatku berpikir buruk tentangnya?Ah, suami macam apa yang begitu?"Oh, ya sudah kalau begitu, Dok. Ehm, nanti saya hubungi lagi. Saya tunggu," ucapnya mengakhiri panggilan."Kok nggak pak
Begitu membuka pintu, telah berdiri dua orang di depanku. Satu orang wanita paruh baya, satunya lagi seorang perempuan kisaran usia 20 tahun, sepantaran denganku. Cantik, dan mataku menyipit melihat tangannya memegangi perut yang agak buncit. Hamil atau hanya kelebihan lemak di perutnya? Sepertinya dia hamil. Kalau timbunan lemak, sangat tak masuk akal karena tidak proposional dengan tubuhnya yang kurus.Siapa mereka? Apa jangan-jangan, dokter yang dipanggil tadi untuk memeriksa perempuan cantik ini, yang ternyata adalah simpanan Mas Yusuf?Ah, ini gila. Prasangkaku sudah di level akut. Belum lagi aku dapat jawaban siapa wanita di bilik lain lantai dua, sekarang ada perempuan cantik yang datang ke rumah kami. Hamil pula!Mas Yusuf, siapa kamu sebenarnya?"Si, si, siapa?" tanyaku. Sambil mengamati perempuan cantik di hadapan. Jujur, kecantikan yang alami, khas gadis desa tanpa polesan make-up it
Firasat ini sangat kuat, ya Rabb. Ampuni hamba, jika ini adalah bagian kesalahan yang membawa pada dosa, karena terus berprasangka buruk pada suami. Lelaki yang Rasulullah katakan andai manusia boleh bersujud, maka kami para istri diperintahkan bersujud pada suaminya.❤❤❤Sambil berjalan ke arah tangga menuju lantai atas aku berbincang dengan Mbak Indah, kakak iparku melalui telepon."Oh, jadi lagi ngerayain. Sampe jam berapa, Mbak?""Kayaknya jam 12 udah selesai, sih.""Gak papa, dah. Siang-siang ke sininya.""Cie, yang baru boyongan. Iya, iya. Apa sih yang nggak buat kamu.""Hehe, makasih, ya, Mbak. Maaf banget ya gak bisa datang ke acaranya Zio. Tapi aku udah siapin kado buat dia.""Iya, santai aja.""Oya, apa Mas Zidan datang?" tanyaku menanyakan keberadaan saudara sulungku. Lelaki itu m
"Loh, Pak. Kok rekaman untuk dalam rumah nggak ada?" tanyaku heran. Bukankah seharusnya setiap sudut ruang ada rekamannya karena Mas Yusuf memasangnya di sana."Oh, itu, Mbak. Maaf, kami tidak diberi wewenang Tuan untuk menyimpannya. Mungkin ada di file laptop pribadi beliau." Pak satpam menduga-duga."Kok gitu?""Kata Tuan, bukan karena tak percaya pada kami, Mbak. Tapi ... karena beliau akan menikah, takut aurat istrinya terlihat oleh satpam, yang notabene adalah para pria," sambung pria yang kutaksir usianya di atas 35 tahun itu.Ucapannya membuatku trenyuh. Namun, juga kecewa dalam waktu yang sama. Trenyuh, lantaran Mas Yusuf memperhatikan dan menjaga aurat istrinya. Bukan suami-suami dayuts, yang membiarkan istrinya bermaksiat, tak memiliki ketakutan atas azab Allah sebab tak memiliki kecemburuan atas istrinya.Dari sini, harusnya aku paham dan yakin bahwa Allah
Tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah .... ❤❤❤ Ini terlalu menyesakkan. Wanita mana yang rela diduakan? Belum lagi jika caranya salah, dan mendzolimi wanita itu sendiri. Kalau dia tak mencintaiku dan mencintai wanita lain, yang bahkan mereka sudah punya anak, kenapa dia melamarku? Nggak, Mas! Mungkin kamu membutuhkan wanita kuat dan sholehah untuk bisa menerima keadaanmu yang sudah menyembunyikan wanita lain yang kamu hamili, tapi bukan aku orangnya. Aku menyerah jika ini menyangkut pengkhianatan. Aku memang masih kuat kamu tolak, kamu acuhkan dan menahan sikap dingin Mas Yusuf. Bahkan jika dia belum siap menerimaku sebagai istrinya, aku akan menunggu. Kutatap kaca tembus pandang yang menampakkan asrinya taman halaman luas rumah kami dengan pandangan berkabut karena air mata yang memenuhi pelupuk mata. Menatap rama-rama yang terbang bebas di antara bunga-bunga, rasanya aku ingin kabur saja sekarang. Bebas seperti mereka. Melepaskan semua rasa sakit, cembu