Sepanjang perjalanan, Aris memikirkan semua ucapan kedua anaknya. Saat melewati rumah orang tua Ningsih, tak sadar dia membunyikan klakson. Tentu saja apa yang dilakukannya membuat Ningsih melongok dari balik jendela kamarnya yang kebetulan menghadap jalan raya.Ningsih tersenyum penuh arti, tatkala melihat siapa yang membunyikan klakson. Dia segera bersiap-siap untuk pergi menyusul Aris. Ningsih sudah menghafal semua jadwal kerja Aris, pada jam berapa dia akan ke sawah, lalu pada jam berapa dia akan ke penggilingan padi. Semua itu tak lolos dari pemantauannya.Ningsih memakai parfum pemberian mbah dukun padanya, dia berdandan secantik mungkin dan meminjam motor adiknya."Aku mau ke penggilingan padi, pinjam motor sebentar ya ?" "Jangan bilang kalau kau mau tebar pesona pada mantan suamimu itu," kata Sofyan adiknya."Mau tau saja kamu, aku punya keperluan sebentar. Lagian kalau aku jadian lagi sama Aris, bukankah itu akan menguntungkanmu juga ?"Sofyan berpikir apa yang dikatakan Ning
Ningsih tak perduli dengan ledekan adiknya, saat ini hatinya sedang berbunga-bunga. Menunggu waktu malam terasa sangat lama. Ningsih terpaksa berbohong saat orang tuanya menanyakan perihal kecelakaan yang menimpanya.Saat Ningsih tengah berbaring dikamarnya, terdengar suara seseorang yang mengucapkan salam. Ternyata itu mbah dukun. Mau apa dia ? Tanya Ningsih di dalam hati. Akhirnya Ningsih keluar dari kamarnya dengan tertatih-tatih."Eh mbah, mari masuk, silahkan duduk."Untunglah orang tuanya pergi ke kebun setelah memastikan jika dirinya baik-baik saja."Aku tau kau kecelakaan, makanya aku datang untuk memastikan itu.""Iya mbah, aku tadi hampir saja menabrak kucing.""Hehehe...kau tahu, aku yang menyuruh kucing hitam itu melintas di hadapanmu," Mbah dukun cengengesan."Apa ? Mbah ingin membunuhku ?" Ningsih terkejut sambil melotot."Itu cara yang paling cepat untuk mendekatkanmu dengan Aris. Apa kau tidak menyadarinya hmm ?"Ningsih terdiam, ada benarnya juga sih. Akhirnya Ningsih
Ningsih menunjukkan perubahan yang cukup baik, dia bahkan tak pernah mengizinkan Nela untuk bekerja di dapur. Semuanya dia lakukan dibantu Nita isterinya Giri. "Kau itu harus rajin belajar, apalagi sekolah di kota banyak saingannya. Tunjukkan pada semua orang jika kau mampu bersaing walau hanya seorang gadis desa," nasehat Ningsih. Aris terus memperhatikan interaksi Ningsih dan anaknya Nela, mengingat Ningsih yang pernah melakukan kekerasan membuatnya sedikit sangsi. Tapi melihat keakraban anak dan ibu tirinya ini, membuat Aris merasa lega. "Mulai besok, Nela diantar Nathan ke sekolah, biar ayah mengawasi para pekerja di penggilingan padi." Nathan hanya mengangguk saja, mendengar perintah ayahnya. Hatinya saat ini sedang gelisah, dia belum tahu apa penyebabnya. Dia lalu masuk ke dalam kamar dan mulai duduk bersila. Sebelumnya dia mengunci pintu kamarnya agar tak ada yang melihat apa yang dia lakukan. Nathan mulai memejamkan matanya, dia mencoba berkonsentrasi untuk menerawang dir
Akhirnya Aris sepakat dengan Nathan untuk menjaga Nela secara bergantian, Jika Aris pergi, maka Nathan harus tinggal di rumah. Dan ketika Aris kembali maka Nathan bisa pergi ke dunia lain.Tibalah saatnya bagi Aris pergi bersama Giri, untuk memasarkan beras ke beberapa daerah. "Baik-baik di rumah ya, Nela dan Nathan tolong jaga ibumu, dan kau Ningsih, aku titipkan anak-anak padamu," Pesan Aris sebelum pergi."Aku akan menjaga mereka dengan baik," janji Ningsih."Aku percayakan mereka padamu," bisik Aris lalu memeluk dan mengecup kening isterinya.Lalu Arispun menugaskan Ningsih dan Nita untuk bergantian mengawasi para pekerja sawah dan terus memantau proses penggilingan padi.Tak ada keanehan apapun sepeninggal Aris, Nathan mengantar dan menjemput Nela di sekolah. Bahkan sekarang Ningsih mengantarkan Nela ke sekolah saat Nathan mendadak sakit perut.Selama perjalanan, Nela memeluk erat perut ibunya. Ningsih tersenyum penuh arti, entah apa yang sedang dia pikirkan. Hari itu Ningsih t
Ketika Ningsih berbalik, dia tak melihat lagi bayangan Sonu. Ningsih masuk ke dalam kamar mandi, berharap dia bisa menemukan Sonu di sana, tapi pria itu hilang begitu saja. Apakah dia tadi menghayal ?Ningsih buru-buru memakai bajunya dan keluar dari kamar. "Apakah ibu sakit ?" Ningsih dikejutkan dengan pertanyaan Nathan yang tiba-tiba berdiri di belakangnya."Ah..ti..tidak, kau mengagetkan ibu saja," jawab Ningsih terbata-bata."Tapi wajah ibu pucat, mungkin ibu belum makan, ibu beristrahatlah di kamar, aku akan membawakan makanan untukmu.""Tidak usah nak, ibu akan makan sendiri di dapur, oh ya jangan lupa jemput adikmu,"Ningsih berjalan perlahan menuju ke meja makan, dia tak menanyakan keberadaan Nita, karena dia tahu wanita itu sedang mengawasi para pekerja dan akan kembali pada sore hari.Ningsih makan sedikit saja, hari ini dia tak berselera. Dià lalu masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintunya. Dia meraih ponselnya, berharap suaminya memberi kabar. Tapi yang dilihatnya malah
Ningsih tidak sadar dengan apa yang dia lakukan , yang dia tahu saat ini dia terperangkap dalam pesona Sonu Batista. Pertapa yang cukup tampan membawanya terbang sampai ke awan.Dia merasa sangat puas tapi tubuhnya terasa remuk, dia tak tahu sudah berapa kali dirinya mendapatkan pelepasan sedahsyat ini."Apakah kau menginginkannya lagi?"Pertanyaan Sonu membuat Ningsih sadar, jika saat ini dia tengah terbaring di sebuah bilik yang hanya beralaskan kasur tipis. Pantas saja tubuhnya terasa remuk."A..aku mau pulang, tapi tubuhku sulit untuk digerakkan.""Jangan khawatir, minumlah air ini maka kau akan pulih seperti sedia kala," Sonu membantu mengangkat kepala Ningsih dan meminumkan air untuknya.Benar saja, Ningsih kini merasa segar kembali. Dia lalu bangkit meraih semua pakaiannya yang berserakan, dan mulai memakaimya satu persatu.Sonu sekali lagi memeluknya dan memberikan kecupan mesra."Mulai malam ini, aku akan menemanimu tidur."Bagai terhipnotis, Ningsih hanya mengangguk. Dia lal
Ningsih keluar dari kamar mandi dan terkejut saat melihat Sonu sudah berbaring di atas ranjangnya."Kau masuk dari mana ?" Tanya Ningsih penasaran.Sonu hanya tertawa tanpa suara, dia lalu menarik Ningsih ke dalam pelukannya."Bukankah aku sudah bilang, jika aku berasal dari Negeri antah berantah. Mudah bagiku untuk masuk tanpa harus menunggu kau bukakan pintu."Ningsih merasa nyaman berada dalam pelukan Sonu. Dia bahkan sudah melupakan suaminya yang sedang banting tulang mencari nafkah dari satu daerah ke daerah lain.Pesan dari nomor baru yang diterima Ningsih sebenarnya itu dari Aris. Ponselnya dan Giri ďicuri orang sehingga dia terpaksa membeli ponsel baru. Tapi ternyata Ningsih tak membalas pesannya. Di daerah yang dikunjungi Aris jangkauan jaringan seluler sangat sulit, sehingga dia hanya bisa mengirim pesan. Untunglah dia mengingat nomor ponsel isterinya. Sialnya dia tak ingat nomor ponsel ledua anaknya. Malam ini Aris merasa sangat gelisah, mereka sedang memasuki kawasan hut
Ningsih terbangun dari tidurnya, dia ingat semalam dia pingsan, tetapi dia merasa seakan baru bangun tidur. Dilihatnya Sonu masih tertidur pulas disampingnya. "Hei bangun, sudah pagi,"Ningsih terus mengguncang-guncang tubuh Sonu yang tidur bagaikan orang mati, diguncang begitu kerasnya tetapi tak bergerak. Akhirnya Ningsih masuk ke kamar mandi membilas wajahnya sesaat lalu keluar. Tok...tok...! Terdengar ketukan di pintu kamarnya.Ningsih membuka pintu, dilihatnya Nathan berdiri dibalik pintu."Sarapan sudah siap bu,""Kalian sarapan saja, ibu nanti menyusul,"Setelah mengucapkan itu Ningsih menutup kembali pintunya. Dia bersandar dipintu sambil mengelus elus dadanya. Tatapan Nathan penuh selidik membuat Ningsih tidak nyaman. Dilihatnya Sonu menggeliat dan membuka matanya. Sepertinya Ningsih lupa dengan sesuatu yang membuatnya pingsan semalam."Kau pulanglah, anak tiriku mulai mencurigaiku," bisik Ningsih."Tidak perlu berbisik, walau kau berteriak sekalipun tak akan ada yang mende