[Hai, Mas. Ini aku, Shanum. Kapan kita ketemu lagi?]
Satu pesan muncul di ponsel Mas Attar, saat aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil minyak telon, karena anakku digigit nyamuk.
[Hai, Shanum. Mas Attar sedang ada kegiatan di luar rumah, ada perlu pentingkah?]
Aku membalas pesan darinya, dan langsung dibaca, tapi tidak kunjung dibalas. Kuletakan kembali ponsel Mas Attar di atas nakas, kemudian menemui Mbak Naura yang menemani anakku.
"Kenapa wajahmu ditekuk gitu?" tanya Mbak Naura yang melihat perubahan ekspresiku.
"Aku sedang takut, Mbak!" ujarku dengan suara bergetar.
Mbak Naura bertanya ada apa, sampai aku berubah dan tiba-tiba merasa ketakutan. Aku menghembuskan napas berat dan menimang-nimang apakah aku bisa sharing padanya atau harus aku pendam saja.
"Sepertinya, Mas Attar ada main dengan mahasiswi yang magang, saat dia melakukan kunjungan kerja di Jogya waktu itu, Mbak," Akhirnya aku mulai menceritakan kekhawatiranku.
"Enggak mungkin, mbak kenal Attar dengan baik dan hanya kamu wanita yang dia cintai," bantah Mbak Naura.
"Sebentar mbak, aku ambil sesuatu dulu. Aku mau minta pendapat Mbak, apakah aku terlalu curiga ataukah memang ada indikasi rumah tanggaku diganggu," Aku kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel Mas Attar yang dia tinggal, karena sedang ada kegiatan di lingkungan kami.
Tidak perlu waktu lama, aku telah kembali dengan membawa sebuah ponsel di tanganku. Aku meminta Mbak Naura membaca chat yang masuk dari remaja yang bernama Shanum. Chat berawal dari inbok dan berlanjut ke Wa. Meskipun aku tahu semua yang terjadi di dalam chat itu, tapi hatiku sebagai istri tidak bisa dibohongi, jika Mas Attar dan remaja itu ada rasa.
"Waduh, kamu yakin ini?" tanya Mbak Naura penasaran.
"Aku yakin, Kak," terangku
"Kenapa Attar melayani wanita yang sudah terlihat genit begini!" geramnya dan aku hanya menghela napas berat.
Kuceritakan pada Mbak Naura, jika Shanum adalah mahasiswi magang dan kebetulan saat Mas Attar kunjungan kerja, dan mereka dekat. Bukan hanya Mas Attar saja, satu kelompok pun dekat dengannya. Shanum gadis cantik dengan tubuh yang proporsional, mudah bergaul dan sangat riang. Membuat siapa saja nyaman dekat dengannya.
"Attar cerita tentang dia?" Mbak Naura makin penasaran.
"Awalnya, aku yang baca pesan di inbok f* Mas Attar saat nyari resep makanan. Aku langsung ngasih tahu dia, dong, dan dia membalas pesan Shanum di depanku. Awalnya merasa tidak aneh, cuma kok setiap hari WA. Selalu tanya Mas Attar sedang apa dan lagi dengan siapa. Seperti saat aku pacaran dengan Mas Attar dulu," terangku.
"Saat ini masih aman, karena terpisah jarak. Mbak takut, jika gadis itu nekat datang ke sini dan merusak rumah tangga kalian yang adem ayem," tutur Mbak Naura, kakak iparkku. "Minta Attar untuk memblokir semua tentang gadis itu, jika mau rumah tanggamu jauh dari pelakor, atau perlu mbak yang bilang ke suamimu?" geram Mbak Naura.
Saat ingin menjawab, Mas Attar pulang dengan wajah penuh peluh. Terlihat sekali dia sangat letih, dari hembusan napasnya yang tersengal. tanpa kata, aku menyodorkan ponsel miliknya dan telah membuka aplikasi hijaunya.
Mas Attar menatapku lekat dan membaca chat dari Shanum, kemudian meletakan ponselnya begitu saja di atas nakas di dekat anakku bermain.
"Dek, jangan ijinkan wanita lain masuk dan nyaman dalam hidupmu selain istrimu!" seru Mbak Naura.
"Shanum itu gadis labil Mbak dan aku tidak mungkin tertarik padanya, saat aku memiliki bidadari di rumah," Mas Atta mulai menggombal.
"Witing tresno jalaran soko kulino!" celetuk Mbak Naura.
"Tenang, Mbak. Apa pun, aku selalu terbuka pada Yumna. Tidak ada yang aku tutupi selama ini," tegas Mas Attar.
Mas Attar berlalu dengan cepat, untuk membersihkan dirinya. Lengket, ujarnya. Saat anak semata wayang kami minta di gendong.
Belum lama Mas Attar masuk, ponselnya berdering dan ada beberapa pesan masuk. Ingin mengabaikannya, tapi suara deringnya sangat menganggu.
"Mas, ada yang telepon!" teriakku.
"Angkat saja!" pekiknya tak kalah kencang dariku.
Saat aku mengambil ponsel Mas Attar, layarnya menyala dan satu panggilan atas nama Shanum tertera di sana. Ketika akan menerima panggilan itu, ponsel Mas Attar mati. Buru-buru aku menyambungkan ke kabel charger, dan menghidupkannya lagi. Rasa penasaran, menelusup begitu saja.
"Banyak amat pesan masuk, padahal ini hari libur," gumamku.
Kubuka satu persatu pesan yang masuk, ternyata semua dari Shanum dengan menggunakan tiga nomor yang berbeda.
[Mas, kamu enggak rindu dengan desaku? Apa juga tidak ada rasa rindu untukku?]
[Mas, kebersamaan kita sangat singkat. Aku ingin selamanya hidup bersamamu, ijinkan aku berada di sisimu,]
[Mas, kita ditakdirkan untuk bersama, lihatlah, kita sangat serasi!]
Pesan beruntun kubaca satu persatu, dan kubuka beberapa poto yang dia kirimkan. Tubuhku terasa kaku, sulit untuk digerakan. Mbak Naura bertanya, tapi kuabaikan. Rasanya aku sedang menancapkan belati tepat di jantungku, saat membaca semua pesan dari Shanum. Tidak menyangka, akan seperti ini akhhirnya. Apa yang membuatku takut, sekarang mulai terjadi.
Mas Attar, selesai mandi langsung mendekati. Menanyakan telepon dari siapa, mulutku baru akan bersuara. Deringnya terdengar lagi, aku langsung menggeser layar untuk menerima panggilan itu.
"Halo, Mas Attar?" tanyanya lembut.
"Iya, ada apa?" tanya Mas Attar, sembari mengusap rambutnya yang masih basah.
"Aku sangat rindu, padamu. Kapan kamu akan menikahiku, bapak dan ibu sudah setuju!"
Suara lembut dan mendayu itu langsung bertanya tanpa tahu siapa saja yang di dekat Mas Attar dan untungnya, aku menyalakan speaker, agar Mbak Naura pun mendengarnya.
Wajah Mas Attar pias seketika dan mengusap wajahnya dengan kasar. menatap padaku dengan pandangan memohon.
"Eh, kamu itu masih kecil. Berani-beraninya gangguin rumah tangga adik saya!" celetuk Mbak Naura.
Ponsel yang aku pegang terjatuh, dan hanya layarnya saja yang retak. Sama seperti hatiku saat ini. Mas Attar mendekat dan mencoba meraih tanganku. Aku menepisnya, karena rasa sakait itu masih sangat terasa.
Aku diam, menatap sendu ke arah anakku yang masih sangat kecil. Tidak terbayang, saat Mas Attar benar-benar kepincut, pelakor cilik.
Mbak Naura mengajak Mas Attar untuk berbicara serius, sebagai kakak dia merasa ikut andil dalam masalah ini. Aku hanya bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan, tanpa ada niat untuk ikut di dalamnya.Mas Attra berkali-kali meyangkal, jika dia ada hubungan dengan gadis itu. Akan tetapi, kata-kata Shanum begitu menusuk jantungku. Bagaimana bisa, seorang remaja meminta dinikahi, jika tidak ada sesuatu diantara mereka."Kamu harus memblokir semua tentang gadis centil itu!" tegas Mbak Naura dan kemudian dia pamit pulang, karena hari sudah cukup malam."Sayang, dengarkan mas dulu!" bentaknya, saat kami telah berdua.Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca, menunjukkan rasa sakit yang aku pendam. Kemudian meninggalkannya dalam kegamangan seorang diri."Sayang, tolong percaya padaku, hanya kamu yang ada dalam pikiran Mas, dan Mas tidak pernah berpikiran untuk menikah dengan orang lain, apalagi Shanum yang masih terlalu belia!" seru Mas Attar, saat aku sudah berada di balik pintu kamar.A
Apa-apaan ini, bisa-bisanya mendukung perselingkuhan, aku dibuat geram karenanya. Langsungku stalking kedua akun, yang me-mentionku dan orang di balik komentar aneh. belum selesai akun mencari tahu siapa di balik akun-akun itu, suara seseorang di depan sana mengalihkan perhatianku. "Assalamualaikum," salam sesorang yang kuyakin Mbak Naura. Kuletakan posel di atas nakas dan bergegas membuka pintu, untuk menemuinya. "Waalaikumusalam, Mbak. Ada apa?" tanyaku bingung, karena jarang sekali dia datang pagi-pagi. Mbak Naura masuk tanpa aku suruh, dan langsung duduk. Memijat pelipisnya berulang kali. Apa dia ada masalah, ya, batinku. "Mbak sudah sarapan?" tanyaku. Dia tidak menjawab, hanya memandang dengan tatapan sendu. Kemudian memelukku erat, menepuk punggungku pelan. "Ada apa, Mbak?" tanyaku. Aku benar-benar bingung dibuatnya, takut terjadi sesuatu padanya saat pulang dari sini semalam. Kuurai pelukan darinya dan bertanya ada apa, untuk kesekian kalinya. "Kamu adalah adik mbak, a
Ah! Aku baru ingat. Tadi banyak pesan dan panggilan tidak terjawab dari orang, dan belum sempat aku melihatnya. Terlalu asik bermain dengan Aqilla. Apakah karena hal itu yang membuat Mas Attar memeriksa ponselku!Mas Attar melihat ke arahku dan dengan cepat aku bersembunyi di balik dinding sekat. Berarti ada ketakutan darinya, jika aku memergokinya memegang ponselku.'Siapa yang mengirimiku pesan, sampai-sampai membuat Mas Attar merasa terganggu dan harus pulang kantor jam segini! Atau, Mas Attar tidak berangkat kerja sejak tadi pagi?' batinku mulai berkecamuk.Aku bergegas mandi, lalu menyiapkan diri, agar Mas Attar tidak terlalu lama menunggu, dan yang pasti aku ingin melihat reaksinya setelah memegang ponselku."Masih lama, Yumna?" tanyanya, tanpa memanggilku sayang, seperti biasanya."Udah, Mas. Tinggal pakai hijab saja!" balasku.Setelah memantaskan diri di cermin. Aku baru sadar sesadar-sadarnya, jika tubuhku mulai tidak berbentuk lagi. Benar saran Mbak Naura, aku harus senam da
"Hei! Aku, kan belum bilang mau ngapain!" protesku pada Hilman."Tapi ini penting, Yumna!" ujarnya dengan nada yang tidak bercanda seperti biasanya."Aku sedang bersama Mas Attar, dia tadi pulang kerja. Enggak enak badan, katanya. Jadi besok-besok saja kita ketemuannya," balasku."Ya sudah, saat ketemuan saja aku ajari cara membaca pesan yang terlanjur dihapus," imbuhnya dan langsung mengakhiri panggilan.Akhirnya, aku akan tahu apa yang kamu takutkan, Mas! gumamku.Kulirik Mas Attar yang sedang sibuk dengan sales mobil, mengacuhkanku dan Aqilla. Kuhampiri dia dan meminta ijin untuk pulang sendirian. Sangat terasa dia mengabaikanku, lebih fokus ke sales cantik di depannya.Aku melangkah pergi, tanpa dirinya yang menemani. Menyusuri jalanan yang cukup panjang, merenungi rumah tanggaku yang tiba-tiba goyah dan perlakuan Mas Attar yang berubah drastis dalam hitungan jam.***Entah di mana aku berada sekarang, setelah berjalan sambil melamun. Aku menepuk dahiku, karena merasa bodoh. Bisa-
Aku menarik napas pajang dan menghembuskannya dengan sangat berat, mencubit tanganku berkali-kali, berharap ini adalah mimpi.Lagi, ponselku berdering dan tidak sanggup rasanya aku menerima kenyataan lain."Halo," jawabku tidak bersemangat, tanpa tahu siapa yang menelepon."Kamu di mana, Nak?" tanya seseorang yang sangat kucintai selain Mas Attar.Aku langsung menangis sesengukan, tidak sanggup berkata apapun. Mencurahkannya dengan air mata yang membuat dadaku yang sesak sediki lega."Kamu pulang saja, jika tidak ada tempat bernaung saat ini!" pintanya.Tubuhku luruh, sembari menggendong Aqilla. Menangis, tanpa ada yang memelukku erat. Lelaki yang biasanya di sampinku, kini sedikit demi sedikit mulai berpali dariku. "Nak, kamu di mana? Biar ibu jemput, kamu jangan ke mana-mana," pinta ibu, terdengar suaranya bergetar menahan ke khawatiran."Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja!" ucapku berulang.Panggilan kuakhiri, takut jika ibu terlalu khawatir padaku dan berakibat pada kambu
Dari parkiraan, aku hanya menatap Mbak Naura yang mengamuk pada Mas Attar. Menghirup udara sebanyak-banyak, agar dadaku tidak sesak dengan pemandangan yang terjaadi di depan sana. Memilih menjauh dari keributan yang diciptakan oleh Mbak Naura, karena Mas Attar menggandeng wanita lain dengan mobil yang baru dibelinya. Ada apa dengan suamiku yang hanya dengan hitungan jam bisa berubah sedemikiannya. Aku pun harus berubah, tekadku. Yang pertama kulakukan adalah menyimpan sedikit harta yang memang sepantasnya untuk Aqilla. "Mbak yang ini berapa?" tanyaku ketika kaki ini melangkah ke toko emas di dekatku, sesuai arahan Mbak Naura. "Ini dua gram, Mbak. Yang ini model terbaru," tunjuk sang pelayan toko. Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah kerumunan, yang di sana ada Mbak Naura dan Mas Attar. Aku pun mendengar bisik-bisik mereka yang mengatakan "Istri sah melabrak pelakor!" "Itu bukan istri sahnya, Mbak. Itu kakaknya sendiri, yang enggak tega melihat iparnya bersedih!" ucapku ding
"Bapak!" seruku.Aku takut, bapak melihat pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar, terlebih tau jika Mas Attar membawa wanita lain dengan begitu mesranya. Apa jadinya Mas Attar, pasti babak belur tidak akan diberi ampun."Kamu ngapain sore-sore begini di sini!" Bapak memperhatikanku dengan teliti, seakan-akan sedang merasakan kegundahan hatiku. "Bawa Aqilla yang masih kecil, lagi!" Bapak terlihat marah dan kemudian meraih tubuh mungil Aqilla, diciuminya berkali-kali tanpa bosan, seperti candu."Ii-ini, Pak. Ha-abis beli emas untuk simpanan," jawabku gugup, dengan menunjukkan sesuatu yang ada dalam tasku dan bapak hanya ber-oh ria."Attar belum pulang?" tanya bapak, sambil melirik keributan yang tidak kunjung berhenti.Aku menggeleng, takut bapak akan menyadari, jika di sana itu ada Mas Attar yang sedang di hajar oleh Mbak Naura. Akan tetapi, sepertinya bapak lebih peduli pada Aqilla, karena kembali asik pada cucu pertamanya."Ayo ke rumah saja, ibumu pasti kangen dengan Aqilla," ajak ba
Aku mengangguk, tahu apa yang ibu maksud. Dulu, pernah Mas Attar tidak sengaja duduk di samping wanita cantik dan berbincang dengan akrabnya, bapak langsung marah dan menginterogasinya habis-habisan. Jika saja, saat itu tidak ada Hilman dan adik sepupuku--Radit, maka dia sudah habis dipukuli ayah dan ternyata benar dugaan ayah dulu, suatu saat Mas Attar akan berpaling."Kamu mau pulang atau tetap di sini?" tanya ibu."Pulang, Bu. Oh iya lupa!" Aku menepuk dahiku karena lupa menghubungi Radit.Kukirimkan pesan padanya, agar langsung ke rumah ibu, karena tadi tidak sengaja ke temu bapak di jalan. Meski belum di baca, aku tahu dia pasti akan langsung ke rumah ini, dengan wajah cemberutnya."Bu, boleh aku titip sesuatu pada ibu?" tanyaku lirih.Ibu bertanya mau menitipkan apa dan untuk apa, dengan lirih aku menceritakan pada ibu semua yang aku alami, dari awal chat yang dilakukan Shanum hingga kejadian tadi, sebelum bapak menjemputku."Ibu sudah menduganya sejak seminggu yang lalu!" Ibu l