Mbak Naura mengajak Mas Attar untuk berbicara serius, sebagai kakak dia merasa ikut andil dalam masalah ini. Aku hanya bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan, tanpa ada niat untuk ikut di dalamnya.
Mas Attra berkali-kali meyangkal, jika dia ada hubungan dengan gadis itu. Akan tetapi, kata-kata Shanum begitu menusuk jantungku. Bagaimana bisa, seorang remaja meminta dinikahi, jika tidak ada sesuatu diantara mereka.
"Kamu harus memblokir semua tentang gadis centil itu!" tegas Mbak Naura dan kemudian dia pamit pulang, karena hari sudah cukup malam.
"Sayang, dengarkan mas dulu!" bentaknya, saat kami telah berdua.
Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca, menunjukkan rasa sakit yang aku pendam. Kemudian meninggalkannya dalam kegamangan seorang diri.
"Sayang, tolong percaya padaku, hanya kamu yang ada dalam pikiran Mas, dan Mas tidak pernah berpikiran untuk menikah dengan orang lain, apalagi Shanum yang masih terlalu belia!" seru Mas Attar, saat aku sudah berada di balik pintu kamar.
Aku benar-benar sedang tidak bisa berpikir di saat seperti ini, lebih baik aku tidur untuk menghilangkan rasa yang terlalu mengganjal.
'esok saja aku mencari tahu kebenarannya!' ocehku.
***
Kusiapkan semua keperluan Mas Attar untuk bekerja, dari baju, sarapan dan juga bekal yang selalu dia minta. Dengan senyum aku menyambutnya saat dia terbangun, dia nampak bingung dengan diriku. Mungkin dia berpikir, jika apa yang terjadi semalam adalah mimpi.
"Ada yang aneh!" gumamnya dengan melihat miris ponsel, yang layarnya sudah penuh dengan garis retakan.
"Mas buruan mandi, sudah azan subuh!" seruku, yang diangguki olenya.
Selesai mandi, Mas Atta mengajakku salat bersama. Dengan khusu, kami mejalankan perintah agama yang tidak pernah kami tinggalkan. Dalam doa, aku meminta agar Allah memperpanjang jodoh kami hingga hanya maut yang bisa memisahkan. Memberi kekuatan pada kami untuk melewati semua ujian yang menghampiri.
"Semalaman kamu menangis?" tanya Mas Attar lirih dan kujawab dengan gelengan kepala.
Semalam aku tidak bisa tidur, terus memikirkan ucapan Shanum yang terngiang-ngiang di telingaku dan Mas Attar tidak berani menggangguku, dia tidur di kamar tamu sendirian. Aku pun memilih untuk menonton drakor dan dracin, entah mengapa yang muncul selalu saja drama perselingkuhan, membuatku makin meradang. Akan tetapi, aku tetap saja menontonnya hingga selesai, beberapa judul kulihat hingga selesai dan satu kesimpulanku dari drama-drama itu. Sebagai istri harus kuat dan memberikan yang terbaik, tidak memojokkan suami di saat yang genting seperti ini, atau dia akan semakin menjauh dariku.
"Mas, nanti aku dan Aqilla mau jalan-jalan, boleh?" ijinku.
"Mas ikut, ya," pintanya.
Aku tertawa mendengarnya, bagaimana dia akan ikut sedangkan dia bekerja hingga sore hari. Memang sih, aku tidak pernah pergi tanpanya. Akan tetapi, aku ingin melepaskan diri dari belenggu yang dipasang Shanum secara tidak langsung.
"Emang kamu enggak kerja?" tanyaku mengingatkannya.
"Males, ah. Aku mau ijin aja, sekalian mau benerin hape!" celetuknya dengan menatapku lekat.
"Hmm, gimana kalau kamu beli baru saja?" tawarku. "Jangan ijin, Mas. Sekarang cari kerja enggak gampang," imbuhku.
"Kamu yakin akan pergi sendirian?" tanya Mas Attar ragu.
"Yakinlah, Mas! Emang aku anak kecil!" keluhku.
Mas Attar terkekeh melihat aku merajuk, katanya aku sermakin cantik karena ada rona merah di pipiku. Seketika bayangan wajah Shanum terlintas, meski aku belum bertemu langsung dengannya, tapi aku sering melihat wajahnya dari poto-poto yang dia kirim untuk Mas Attar.
"Kamu, kan enggak bisa jauh dari mas!" ejeknya.
Degh!
Benar katanya, selama tujuh tahun ini aku sangat tergantung padanya. Bagaimana, jika Allah membalikkan hatinya, meninggalkanku dan Aqilla. Meskipun aku tidak pernah mengharapkan hal itu terjadi pada penikahan kami.
"Aku mau nyiapin sarapan dan yang lainnya dulu," ujarku mengalihkan pembicaraan.
"Maafin mas, ya," bisiknya sembari memelukku dari belakang.
Aku menikmati setiap hembusan napasnya yang menyapa leherku, dan aroma mint dari pasta gigi yang dia pakai. Kemudian memintanya untuk bersiap-siap, karena hari semakin siang dan jarak perjalanan ke kantornya cukup jauh.
"Aku ijin saja, ya?" rengeknya.
Aku tau, saat ini dia ingin menebus kesalahan yang entah tidak dia perbuat atau hanya sebagai penutup topengnya yang akan terlepas.
"Maas!" seruku dengan memberikan pandangan yang menunjukan, jika aku melarangnya.
"Oke ... Oke, ini kartu debit, pinnya tanggal lahirmu. Jika kamu mau beli sesuatu, beli saja," Mas Attar memberikanku sebuah kartu yang selama ini tidak pernah sekalipun aku pegang.
"Nanti habis gimana, Mas?" tanyaku.
"Kalau habis, ya sudah. lagi pula, kamu enggak pernah beli baju sendiri atau mungkin kamu lagi ingin beli perhiasan?" pungkasnya, kemudian berpamitan untuk berangkat kerja.
Mengulurkan tangannya untuk kusambut dan salim takzim, kemudian dia mencium keningku lama, bahkan sangat lama, seperti enggan melepasku.
"Mas!" Aku kembali mengingatkannya.
Mas Attar hanya tersenyum dan lekas berlalu dari hadapanku, untuk berjibakku dengan pekerjaannya yang menggunung.
Aku di sini, merenung harus bagai mana ke depannya. memikirkan kemungkinan terburuk yang harus aku lalui, jika benar Mas Attar menghianatiku.
Menunggu Aqila bangun, aku membuka akun media sosialku dan cukup terpana dengan status seseorang yang me-mentionku.
"JIKA CINTA TERHALANG RESTU ISTRI PERTAMA!"
Captionnya. Bukan hanya akunku, orang itu juga me-mention akun Mas Attar. Apakah dia Shanum?
Berani benar dia seperti ini, ingin mengabaikannya, tapi terlalu sakit. Berderet komentar pun masuk tanpa bisa kubendung. Banyak yang menanyakan maksud dari akun tersebut, tapi sepertinya tidak ada yang ditanggapi oleh pembuat status tersebut.
Namun, satu komentar menarik perhatianku.
[Kamu pasti bisa bersanding dengannya, karena aku tahu dia juga mencintaimu! Semangat, ya, Dek!]
Apa-apaan ini, bisa-bisanya mendukung perselingkuhan, aku dibuat geram karenanya. Langsungku stalking kedua akun, yang me-mentionku dan orang di balik komentar aneh. belum selesai akun mencari tahu siapa di balik akun-akun itu, suara seseorang di depan sana mengalihkan perhatianku. "Assalamualaikum," salam sesorang yang kuyakin Mbak Naura. Kuletakan posel di atas nakas dan bergegas membuka pintu, untuk menemuinya. "Waalaikumusalam, Mbak. Ada apa?" tanyaku bingung, karena jarang sekali dia datang pagi-pagi. Mbak Naura masuk tanpa aku suruh, dan langsung duduk. Memijat pelipisnya berulang kali. Apa dia ada masalah, ya, batinku. "Mbak sudah sarapan?" tanyaku. Dia tidak menjawab, hanya memandang dengan tatapan sendu. Kemudian memelukku erat, menepuk punggungku pelan. "Ada apa, Mbak?" tanyaku. Aku benar-benar bingung dibuatnya, takut terjadi sesuatu padanya saat pulang dari sini semalam. Kuurai pelukan darinya dan bertanya ada apa, untuk kesekian kalinya. "Kamu adalah adik mbak, a
Ah! Aku baru ingat. Tadi banyak pesan dan panggilan tidak terjawab dari orang, dan belum sempat aku melihatnya. Terlalu asik bermain dengan Aqilla. Apakah karena hal itu yang membuat Mas Attar memeriksa ponselku!Mas Attar melihat ke arahku dan dengan cepat aku bersembunyi di balik dinding sekat. Berarti ada ketakutan darinya, jika aku memergokinya memegang ponselku.'Siapa yang mengirimiku pesan, sampai-sampai membuat Mas Attar merasa terganggu dan harus pulang kantor jam segini! Atau, Mas Attar tidak berangkat kerja sejak tadi pagi?' batinku mulai berkecamuk.Aku bergegas mandi, lalu menyiapkan diri, agar Mas Attar tidak terlalu lama menunggu, dan yang pasti aku ingin melihat reaksinya setelah memegang ponselku."Masih lama, Yumna?" tanyanya, tanpa memanggilku sayang, seperti biasanya."Udah, Mas. Tinggal pakai hijab saja!" balasku.Setelah memantaskan diri di cermin. Aku baru sadar sesadar-sadarnya, jika tubuhku mulai tidak berbentuk lagi. Benar saran Mbak Naura, aku harus senam da
"Hei! Aku, kan belum bilang mau ngapain!" protesku pada Hilman."Tapi ini penting, Yumna!" ujarnya dengan nada yang tidak bercanda seperti biasanya."Aku sedang bersama Mas Attar, dia tadi pulang kerja. Enggak enak badan, katanya. Jadi besok-besok saja kita ketemuannya," balasku."Ya sudah, saat ketemuan saja aku ajari cara membaca pesan yang terlanjur dihapus," imbuhnya dan langsung mengakhiri panggilan.Akhirnya, aku akan tahu apa yang kamu takutkan, Mas! gumamku.Kulirik Mas Attar yang sedang sibuk dengan sales mobil, mengacuhkanku dan Aqilla. Kuhampiri dia dan meminta ijin untuk pulang sendirian. Sangat terasa dia mengabaikanku, lebih fokus ke sales cantik di depannya.Aku melangkah pergi, tanpa dirinya yang menemani. Menyusuri jalanan yang cukup panjang, merenungi rumah tanggaku yang tiba-tiba goyah dan perlakuan Mas Attar yang berubah drastis dalam hitungan jam.***Entah di mana aku berada sekarang, setelah berjalan sambil melamun. Aku menepuk dahiku, karena merasa bodoh. Bisa-
Aku menarik napas pajang dan menghembuskannya dengan sangat berat, mencubit tanganku berkali-kali, berharap ini adalah mimpi.Lagi, ponselku berdering dan tidak sanggup rasanya aku menerima kenyataan lain."Halo," jawabku tidak bersemangat, tanpa tahu siapa yang menelepon."Kamu di mana, Nak?" tanya seseorang yang sangat kucintai selain Mas Attar.Aku langsung menangis sesengukan, tidak sanggup berkata apapun. Mencurahkannya dengan air mata yang membuat dadaku yang sesak sediki lega."Kamu pulang saja, jika tidak ada tempat bernaung saat ini!" pintanya.Tubuhku luruh, sembari menggendong Aqilla. Menangis, tanpa ada yang memelukku erat. Lelaki yang biasanya di sampinku, kini sedikit demi sedikit mulai berpali dariku. "Nak, kamu di mana? Biar ibu jemput, kamu jangan ke mana-mana," pinta ibu, terdengar suaranya bergetar menahan ke khawatiran."Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja!" ucapku berulang.Panggilan kuakhiri, takut jika ibu terlalu khawatir padaku dan berakibat pada kambu
Dari parkiraan, aku hanya menatap Mbak Naura yang mengamuk pada Mas Attar. Menghirup udara sebanyak-banyak, agar dadaku tidak sesak dengan pemandangan yang terjaadi di depan sana. Memilih menjauh dari keributan yang diciptakan oleh Mbak Naura, karena Mas Attar menggandeng wanita lain dengan mobil yang baru dibelinya. Ada apa dengan suamiku yang hanya dengan hitungan jam bisa berubah sedemikiannya. Aku pun harus berubah, tekadku. Yang pertama kulakukan adalah menyimpan sedikit harta yang memang sepantasnya untuk Aqilla. "Mbak yang ini berapa?" tanyaku ketika kaki ini melangkah ke toko emas di dekatku, sesuai arahan Mbak Naura. "Ini dua gram, Mbak. Yang ini model terbaru," tunjuk sang pelayan toko. Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah kerumunan, yang di sana ada Mbak Naura dan Mas Attar. Aku pun mendengar bisik-bisik mereka yang mengatakan "Istri sah melabrak pelakor!" "Itu bukan istri sahnya, Mbak. Itu kakaknya sendiri, yang enggak tega melihat iparnya bersedih!" ucapku ding
"Bapak!" seruku.Aku takut, bapak melihat pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar, terlebih tau jika Mas Attar membawa wanita lain dengan begitu mesranya. Apa jadinya Mas Attar, pasti babak belur tidak akan diberi ampun."Kamu ngapain sore-sore begini di sini!" Bapak memperhatikanku dengan teliti, seakan-akan sedang merasakan kegundahan hatiku. "Bawa Aqilla yang masih kecil, lagi!" Bapak terlihat marah dan kemudian meraih tubuh mungil Aqilla, diciuminya berkali-kali tanpa bosan, seperti candu."Ii-ini, Pak. Ha-abis beli emas untuk simpanan," jawabku gugup, dengan menunjukkan sesuatu yang ada dalam tasku dan bapak hanya ber-oh ria."Attar belum pulang?" tanya bapak, sambil melirik keributan yang tidak kunjung berhenti.Aku menggeleng, takut bapak akan menyadari, jika di sana itu ada Mas Attar yang sedang di hajar oleh Mbak Naura. Akan tetapi, sepertinya bapak lebih peduli pada Aqilla, karena kembali asik pada cucu pertamanya."Ayo ke rumah saja, ibumu pasti kangen dengan Aqilla," ajak ba
Aku mengangguk, tahu apa yang ibu maksud. Dulu, pernah Mas Attar tidak sengaja duduk di samping wanita cantik dan berbincang dengan akrabnya, bapak langsung marah dan menginterogasinya habis-habisan. Jika saja, saat itu tidak ada Hilman dan adik sepupuku--Radit, maka dia sudah habis dipukuli ayah dan ternyata benar dugaan ayah dulu, suatu saat Mas Attar akan berpaling."Kamu mau pulang atau tetap di sini?" tanya ibu."Pulang, Bu. Oh iya lupa!" Aku menepuk dahiku karena lupa menghubungi Radit.Kukirimkan pesan padanya, agar langsung ke rumah ibu, karena tadi tidak sengaja ke temu bapak di jalan. Meski belum di baca, aku tahu dia pasti akan langsung ke rumah ini, dengan wajah cemberutnya."Bu, boleh aku titip sesuatu pada ibu?" tanyaku lirih.Ibu bertanya mau menitipkan apa dan untuk apa, dengan lirih aku menceritakan pada ibu semua yang aku alami, dari awal chat yang dilakukan Shanum hingga kejadian tadi, sebelum bapak menjemputku."Ibu sudah menduganya sejak seminggu yang lalu!" Ibu l
"Maksud kamu?" geramku, wajahku mungkin sudah sangat merah padam, karena sindiran halus dari Radit.Radit tertawa melihatku marah, dia memintaku untuk duduk kembali dan menenangkanku. Kemudian memberikan penjelasan versi dia sebagai laki-laki."Mbak, jika laki-laki memilih perempuan lain, itu banyak faktornya dan tidak bisa seratus persen disalahkan. Semua ada sebab musababnya, coba mbak perhatikan baik-baik apa saja yang terjadi tujuh tahun belakangan," Radit seakan menyadarkanku. "Semua bisa, karena Magic, atau memang Attar mata kerangjang, karena jatuh cinta lagi, karena bosan. Ingin merasakan sensasi berbeda, entah itu dari perilaku wanita padanya, masakan wanitanya, harum wanitanya, dan masih banyak yang lainnya. Ini tergantung istrinya sanggup atau tidak mengembalikan keharmonisan keluarganya,"Aku mendengarkan penuturannya dengan sangat baik, meski dia belum menikah, Radit di kelilingi oleh teman-teman yang sudah membina rumah tangga cukup lama. Pastinya dia sudah mengenal berb