Setelah Kinanti masuk, Adam juga ikut masuk. Dengan tubuh basah ia segera menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Saat turun dari mobil Adam sudah melihat Renata yang menatap dirinya dari balkon. Akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu.Jadi Adam pun sudah mempersiapkan jawaban saat nanti di suguhkan pertanyaan-pertanyaan oleh Renata. Walaupun Adam terlalu takut untuk berbohong.Berdiri di depan pintu kamar, menghirup udara dengan sebanyak-banyaknya. Menghembuskan dengan perlahan, lalu tangan bergerak memegang gagang pintu. Memutarnya lalu mendorong dengan perlahan."Dari mana?"Adam masih berada di ambang pintu, tetapi Renata sudah menyuguhkan pertanyaan padanya.Mata Renata menatap baju Adam yang basah kuyup. Tetapi, Renata lebih penasaran mengapa Kinanti bisa bersama dengan Adam."Sudah pukul 02:30, kau dari mana? Lalu kenapa kau bisa bersama Kinanti?" tanya Renata dengan penuh intimidasi."Suami mu ini seorang dokter sayang, ada pasien yang membutuhkan pertolongan di rumah sakit. Tadinya aku mau membangunkan mu. Tapi kau sangat lelap," jelas Adam dengan memberi alibi, bahkan memasang wajah santai seolah tidak ada yang terjadi."Lalu Kinanti?""Saat aku pulang dari rumah sakit, aku melihatnya berada di tengah jalan kehujanan. Aku tidak bertanya kenapa, hanya saja aku punya rasa kemanusiaan dan mengajaknya pulang," jawab Adam, berbohong untuk kedua kalinya.Renata terdiam sambil menatap Adam, mencoba mencari kebohongan di raut wajah Adam.Akan tetapi, Renata yakin jika suaminya tidak berbohong. Seketika amarahnya menghilang lalu memberikan senyuman pada Adam."Ya udah, kamu ganti bajunya. Abis itu kita tidur, aku pengen di peluk."Adam mengangguk. Lalu, segera mengganti pakaiannya. Setelah itu menemani Renata hingga kembali terlelap.Satu jam sudah berlalu, Renata sudah kembali terlelap dalam dekapan Adam.Sedangkan Adam masih belum bisa terlelap, entah mengapa ia masih sangat kasihan pada keadaan Kinanti yang begitu terpukul dengan kejadian malam itu.Melepas pelukan Renata dengan perlahan, lalu turun dari ranjang dan menuju kamar Kinanti yang cukup berdekatan dengan dapur.Adam langsung memutar gagang pintu, tanpa meminta izin dari Kinanti.Matanya melihat Kinanti duduk di sudut kamar dengan pakaian basah yang masih belum di ganti. Bahkan tanpa tahu keberadaan Adam yang sudah masuk lalu menutup pintu kembali.Tepukan pada pundaknya membuat Kinanti seketika tersadar, ternyata ada Adam yang berjongkok di sampingnya. Seketika Kinanti menatap pintu yang sudah tertutup kembali.Kapan Adam masuk, apakah sudah lama? Kinanti cukup terkejut."Kenapa belum mengganti pakaian, kau bisa sakit," kata Adam."Sakit?" tanya Kinanti dengan senyum getir.Kinanti ingin berteriak sekencang-kencangnya, Adam mengatakan sakit. Bukankah Kinanti memang sudah merasakan sakit.Raut wajah Adam tampak bersedih, mengerti dengan pertanyaan Kinanti, "Aku mohon, ganti pakaian mu. Atau aku yang akan menggantikannya."Tidak ada niatan untuk mengeluarkan kalimat ancaman, akan tetapi itu cara agar Kinanti mau mengganti pakaian basahnya. Jujur saja Adam tidak tega melihat Kinanti terus dalam keterpurukan.Tetapi, Renata masih terlalu berkuasa dalam hatinya. Bahkan untuk menyakiti hati Renata sedikit saja Adam tidak memiliki keberanian.Kinanti langsung berdiri, dan berjalan menuju almari. Memakai piama di dalam kamar mandi. Saat Kinanti kembali ia melihat sudah ada secangkir teh hangat yang di letakkan di atas meja.Meneguk dengan perlahan dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang.----Pagi hari ini Kinanti merasa tidak baik-baik saja, tubuhnya menggigil dengan hebat. Sesekali terdengar suara bersin yang juga menimpali, suhu tubuhnya sangat panas. Sedangkan ia merasa kedinginan.Dua anak kecil langsung berlari menuju kamar Kinanti, tidak biasanya Kinanti tidak membangunkan dan mengurus keperluan mereka setiap paginya."Mbak Kinan!!!!" seru Derren dan Davina yang langsung masuk ke kamar pengasuh mereka.Kinanti berusaha membuka matanya, tetapi ia terlalu lelah dan juga lemah."Mbak Kinan sakit?" tanya Davina.Kinanti hanya bisa mengangguk, sulit sekali bibirnya untuk berkata-kata."Davina, Derren!!!"Seorang wanita juga menyusul kedua anaknya, Hanna Kakak sulung dari Adam. Tetapi ia juga melihat Kinanti yang terbaring di atas ranjang dengan tubuh menggigil."Kamu sakit?" tanya Hanna sambil menyusul kedua anaknya masuk kedalam kamar Kinanti."Bu, Kinan-""Kamu istirahat saja, biar Davina sama Derren sama saya dulu," ujar Hanna dengan cepat.Hanna mengajak kedua anaknya untuk membiarkan Kinanti beristirahat, lalu membawanya menuju meja makan dan Hanna sendiri yang akan menyuapi kedua anaknya di pagi ini."Ayah Adam!!!"Davina langsung duduk di kursi meja makan, begitu pula dengan Derren."Selamat pagi anak Ayah," Adam tersenyum pada kedua keponakan nya. Begitu juga dengan Renata yang duduk di samping Adam."Ayo mau sarapan pakai lauk apa?" tanya Hanna sambil mengisi piring dengan nasi goreng."Telor Ma," jawab Davina, sedangkan Derren juga mengangguk setuju."Tumben Kakak yang menyuapi Derren dan Davina?" tanya Adam bingung. Sebab itu adalah tugas Kinanti.Hanna mulai menyuapi anak-anak dengan bergantian, setelah itu ia menatap Adam yang duduk saling berhadapan dengan nya."Kinan sakit Dam.""Sakit?"Adam sudah menduganya, karena tubuh Kinanti semalam kehujanan."Kamu kenapa sih?"Renata merasa Adam sangat berlebihan, Kinanti hanya seorang pembantu. Lalu kenapa Adam harus peduli."Sayang, aku ini seorang dokter. Tolong mengerti.""Kalau gitu kamu periksa, wajahnya pucat sekali," pinta Hanna."Sayang, apa harus kamu?" Renata sangat tidak suka, tetapi lagi-lagi Adam mengingatkan akan profesi nya sebagai seorang dokter.Adam langsung menuju kamar Kinanti, bersama dengan Renata yang tidak ingin Adam dan Kinanti hanya berdua saja di dalam kamar.Adam mulai memeriksa keadaan Kinanti, lalu meminta Mbok Sum untuk membuatkan bubur beserta segelas teh hangat."Kinan, ayo sarapan dulu," Mbok Sum membantu Kinanti untuk duduk, walaupun cukup kesulitan.Tangan Adam sangat gatal sekali, ingin rasanya membantu Kinanti untuk duduk. Akan tetapi Renata terus memeluk lengannya, tatapan Renata yang dingin juga membuat Adam tidak memiliki keberanian."Apa kau tidak memiliki orang tua yang bisa di hubungi, mengingat kau sedang sakit," ujar Adam."Kamu apasih sayang, udahlah ayo keluar!" Renata langsung menarik Adam untuk keluar, menurutnya Adam sangat berlebihan."Sayang, Kinanti sedang sakit. Kenapa kau begitu," tolak Adam secara halus, sebab Adam masih ingin berada di kamar Kinanti."Apasih, peduli amat. Dia bukan siapa-siapa! Cuman pembantu!" papar Renata menekankan kata pembantu.Kinanti hanya memejamkan mata, berusaha menelan bubur yang di suapi oleh Mbok Sum. Sambil menguatkan hati mendengar kata-kata Renata.Andai saja Renata tahu apa yang sudah di lakukan Adam padanya, mungkin Renata tidak akan pernah mengeluarkan kalimat tersebut. Tetapi Kinanti tidak setega itu, hati wanita itu begitu baik seperti wajahnya yang sangat cantik.Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada