Apakah Tema Kesetiaan Di Teman Tapi Menikah Relevan Sekarang?

Kalau ditanya, menurutku relevansi tema kesetiaan di hubungan yang bermula dari persahabatan nggak pernah hilang—cuma porsinya berubah.

Buat banyak orang, persahabatan memberi modal besar: kepercayaan, kenangan, dan kebiasaan komunikasi. Namun setelah menikah, idealnya modal itu dikembangkan jadi komitmen yang lebih eksplisit. Tantangannya adalah mengubah kebiasaan lama (misal, ngobrol larut sambil curhat ke teman lawan jenaka) menjadi pola yang menghormati pasangan. Di zaman sekarang, definisi setia meluas; ada dimensi digital, emosional, dan praktikal yang semua harus disepakati bareng. Aku sering bilang ke kawan bahwa kunci praktisnya sederhana tapi sulit: berbicara terbuka tentang apa yang bikin nyaman atau tidak, dan ingat bahwa peka itu bukan pekerjaan sekali jadi. Pada akhirnya, kesetiaan adalah proses yang dikayai oleh rasa saling menghargai—dan kalau itu tetap dijaga, transisi dari teman ke pasangan bisa jadi salah satu perjalanan paling memuaskan dalam hidup.

Melihat dinamika yang berubah usai menikah bikin aku sering berpikir ulang soal makna setia.

Dalam perspektif yang lebih dewasa, kesetiaan di antara pasangan yang dulu teman itu tidak hanya soal seksualitas tetapi lebih luas: keterbukaan, pembagian tanggung jawab, dan konsistensi tindakan. Ada pula fenomena 'micro-cheating'—interaksi kecil yang mungkin tampak nggak berbahaya tapi bisa memicu kecemburuan karena latar mereka semula adalah persahabatan yang sangat dekat. Media dan budaya pop kadang meromantisasi transisi dari teman ke pasangan, seperti di beberapa manga romantis, namun kehidupan nyata menuntut renegosiasi ekspektasi; apa yang lucu atau menggemaskan waktu masih sahabat bisa jadi menyinggung setelah menikah.

Dari percakapan aku dengan teman-teman yang menikah, yang berhasil biasanya pasangan yang terus membangun ritual kebersamaan, membuat batasan yang jelas tanpa jadi dingin, dan mau mengakui kalau kebutuhan emosional bisa bergeser. Jadi ya, relevan — tapi bukan tema yang punya jawaban tunggal; ia menuntut adaptasi konstan sesuai konteks masing-masing pasangan.

Pernikahan yang lahir dari persahabatan sering terasa seperti momen cutscene paling manis—tapi itu bukan berarti tanpa bug.

Dari pengamatanku yang suka membandingkan plot anime dengan kehidupan nyata, tema kesetiaan tetap sangat relevan ketika dua sahabat menikah. Bedanya, apa yang dianggap 'setia' sering berubah: dulu untuk teman itu soal hadir di konsol bareng sampai dini hari, tapi setelah resmi menikah batas-batasnya bergeser ke hal-hal seperti prioritas waktu, kerahasiaan finansial, dan keputusan keluarga. Di beberapa serial seperti 'Toradora!' kita lihat bagaimana kedekatan yang dulu polos bisa jadi kompleks ketika harapan dan tanggung jawab baru masuk ke dalam hubungan. Media sosial dan aplikasi kencan juga menambah noise—bukan cuma soal selingkuh fisik, tapi juga godaan validasi digital yang bisa mengikis rasa aman.

Kalau aku bicara dari sisi praktis, kunci yang sering kugunakan dalam diskusi sama teman-teman adalah: jangan anggap kesetiaan cuma soal larangan, tapi juga soal komitmen aktif. Komunikasi jujur tentang batasan, pengakuan bahwa kebutuhan emosional berubah, dan kesepakatan bagaimana menjaga batas ketika godaan muncul—itu jauh lebih berguna daripada daftar aturan kaku. Ada juga realitas lain: beberapa pasangan yang dulunya sahabat lebih kuat karena sudah punya dasar kepercayaan, sementara yang lain butuh pembelajaran baru karena nuansa romantis memperumit ekspektasi. Intinya, tema ini relevan karena manusia terus berubah; kesetiaan bukan titik akhir, melainkan latihan berkelanjutan yang harus dinegosiasikan lagi dan lagi.