Film Kanibalisme Mana Yang Ideal Untuk Diskusi Kajian Budaya?

2025-09-09 08:25:32 123

3 Jawaban

Talia
Talia
2025-09-11 11:30:23
Begini — kalau aku harus memilih satu film kanibalisme yang paling padat bahan untuk kajian budaya, aku bakal menyebut 'Raw'. Film ini terasa segar tapi penuh lapisan: permukaan cerita tentang initiatory horror ala mahasiswa kedokteran hewan menyelinap ke tema-tema besar seperti identitas tubuh, tradisi makan, dan tekanan sosial. Visualnya kuat tanpa harus selalu menampilkan kekerasan eksplisit untuk membuat penonton merenung tentang bagaimana masyarakat membentuk selera dan norma tubuh.

Dari sudut pandang gender dan ritual, 'Raw' menawarkan banyak celah diskusi. Kamu bisa mengaitkannya dengan studi tentang femininitas yang dipaksakan, kanon makanan dalam keluarga, atau bagaimana tubuh yang ‘‘berbeda’’ dipolitisasi. Aku suka bagaimana film ini membuat hubungan antara keinginan dan aturan, antara genetika dan budaya, sehingga cocok untuk pendekatan feminis, queer theory, atau studi tubuh.

Tapi aku juga tetap memperingatkan: 'Raw' tidak memberi jawaban mudah. Itu justru membuatnya kaya untuk debat—apakah kanibalisme di sini simbolik atau literal? Bagaimana kita membaca adegan-adegannya dalam konteks konsumsi media modern? Untuk diskusi kelas atau klub film, aku biasanya memulai dari adegan-adegan makan bersama dan memperluas ke topik seperti ritual inisiasi, etika makanan, dan bagaimana masyarakat membentuk rasa malu dan nafsu. Film ini terasa personal sekaligus politis, dan selalu meninggalkan bekas setelah ditonton.
Max
Max
2025-09-11 16:47:13
Aku sering memikirkan film yang menggunakan kanibalisme sebagai metafora besar untuk kolonialisme dan kelaparan kekuasaan; kalau dari perspektif itu, 'Ravenous' menurutku sempurna untuk kajian budaya. Film ini menggabungkan genre western dan horor dengan humor gelap untuk mengeksplorasi kerakusan imperial—siapa yang ‘‘makan’’ siapa, dan bagaimana ide tentang peradaban membenarkan tindakan brutal.

Ada nuansa satir yang bikin diskusi jadi hidup: kostum, setting perbatasan, dan transformasi karakter utama membuka pintu untuk bicara soal mitos penaklukan, manifest destiny, dan bagaimana sejarah nasional dibentuk lewat cerita-cerita yang menutupi sisi paling kejamnya. Selain itu, musik dan sinematografi film ini mendukung analisis semiotik—apa yang diasosiasikan dengan ‘‘kelaparan’’ dan siapa yang dipersempit jadi monster.

Kalau kamu mau perdebatan yang lebih tajam, bisa bandingkan 'Ravenous' dengan 'Cannibal Holocaust' untuk bahas etika representasi dan voyeurisme dalam sinema. Tapi hati-hati: 'Cannibal Holocaust' mengandung unsur nyata yang mengganggu dan harus dikontekstualisasikan dengan tegas. Untuk membaca film sebagai cermin struktur kekuasaan, 'Ravenous' memberi bahan yang cukup kaya tanpa harus terseret ke kontroversi etis yang ekstrem.
Kara
Kara
2025-09-11 21:27:14
Untuk diskusi yang ingin fokus pada aspek tradisi, keluarga, dan religiusitas, aku akan mengangkat 'We Are What We Are'. Film ini terasa sunyi dan penuh ketegangan; kanibalisme di sini bukan sekadar horor tubuh, tapi ritual yang mengekspresikan konflik antara tradisi keluarga dan tekanan modernitas.

Aku suka bagaimana film itu memaksa kita bertanya: kapan praktik turun-temurun dianggap ‘‘adat’’ dan kapan berubah menjadi pelanggaran moral? Ada juga ruang untuk membahas kelas sosial dan marginalisasi—keluarga yang melakukan ritual hidup di pinggiran masyarakat cenderung diperlakukan berbeda oleh institusi dan media. Dalam diskusi budaya, film ini jadi pintu masuk yang sangat baik untuk topik-topik seperti etika antropologi, kriminalisasi marginal, dan cara masyarakat menilai ‘‘keanehan’’ yang berakar pada sejarah.

Pendekatan yang cocok untuk film ini bisa berupa close reading karakter, analisis simbol, dan perbandingan antara versi orisinal dan remake kalau ada. Aku merasa film ini lebih menantang secara emosional daripada sekadar mengejutkan, jadi hasil diskusi seringnya lebih mendalam dan reflektif.
Lihat Semua Jawaban
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Buku Terkait

Ayah Mana?
Ayah Mana?
"Ayah Upi mana?" tanya anak balita berusia tiga tahun yang sejak kecil tak pernah bertemu dengan sosok ayah. vinza, ibunya Upi hamil di luar nikah saat masih SMA. Ayah kandung Upi, David menghilang entah ke mana. Terpaksa Vinza pergi menjadi TKW ke Taiwan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hingga tiba-tiba Upi hilang dan ditemukan David yang kini menjadi CEO kaya raya. Pria itu sama sekali tak mengetahui kalau Upi adalah anak kandungnya. Saat Vinza terpaksa kembali dari Taiwan demi mencari Upi, dia dan David kembali dipertemukan dan kebenaran tentang status Upi terungkap. *** Bunda puang bawa ayah?" "Iya. Doain saja, ya? Bunda cepat pulang dari Taiwan dan bawa ayah. Nanti Ayahnya Bunda paketin ke sana, ya?" "Lama, dak?" "Gimana kurirnya." "Yeay! Upi mo paketin Ayah. Makacih, Bunda."
10
116 Bab
Cinta yang Tepat Untuk Orang yang Pantas
Cinta yang Tepat Untuk Orang yang Pantas
Menjelang malam pernikahan, pacarku mengirim pesan kepada cinta lamanya. [ Orang yang selalu ingin kunikahi, tetap hanya kamu. ] Hari pernikahan semakin dekat. Aku melihatnya sibuk ke sana kemari, menyiapkan segalanya sesuai dengan selera cinta lamanya. Aku membiarkannya begitu saja. Sebab, aku tidak lagi menginginkan pernikahan ini ... ataupun dirinya.
20 Bab
BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT
BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT
TAMAT. Demi bisa membeli rumah cash, aku diperintahkan suami untuk bertahan hidup dengan sangat hemat dan terkadang tak masuk akal. Namun FAKTANYA, ternyata selama ini aku DIPELITI! Secara rahasia, aku pun membuat pembalasan yang setimpal. Andai dia tahu siapa yang telah diam-diam menguras hartanya hingga tak tersisa, apakah yang akan terjadi?
10
84 Bab
Ayah yang Salah Untuk Anakku
Ayah yang Salah Untuk Anakku
Anakku tidak sengaja menjatuhkan air panas pada tangan kekasih suamiku. Namun, suamiku malah langsung memotong setengah telapak tangannya sebagai hukuman. Saking kesakitan, pandangan anakku jadi kabur dan tidak sengaja terjatuh ke dalam danau. Noda darah langsung mewarnai permukaan danau. Aku memeluk tubuh anakku, menangis histeris, lalu segera menelepon suamiku untuk meminta bantuan. Namun, dia hanya merespons dengan dingin, "Cuma telapak tangan yang putus, tinggal disambung saja. Kalau nggak diberi pelajaran, dia hanya akan semakin berani menindas orang!" Karena penanganan yang terlambat, anakku tenggelam dan tak bisa diselamatkan. Dia akhirnya meninggal di danau itu. Namun saat suamiku melihat jasadnya, dia seakan-akan tak percaya. "Hanya karena kehilangan setengah telapak tangan ... kenapa bisa mati?"
9 Bab
Ayah yang Sempurna Untuk Jonah
Ayah yang Sempurna Untuk Jonah
Arabella Stuart adalah orang tua tunggal bagi Jonah putranya. Tanpa sepengetahuan Arabella, Jonah yang berkenalan dengan dengan Peter Jackson menginginkan duda anak satu tersebut menjadi ayahnya. Jonah pun bersekongkol dengan Kimiko putri Peter untuk menjodohkan kedua orang tua mereka. Sementara Joshua Callahan hadir sebagai seseorang yang memberi pelipur lara bagi Arabella. Joshua hanya bisa berharap, sementara Arabella harus menjatuhkan pilihan.
10
51 Bab
Kornea Untuk Kekasih yang Mengkhianatiku
Kornea Untuk Kekasih yang Mengkhianatiku
Setelah Joey kehilangan penglihatannya, aku rela mendonorkan korneaku padanya tanpa ragu-ragu. Dia bersumpah tidak akan pernah mengecewakanku. Namun, pernikahan kami malah terus diundur sejak kekasih lamanya tiba-tiba pulang dari luar negeri. Di hari ulang tahunku, dia telat memberiku hadiah. Aku menerima hadiah itu dengan penuh penantian. Namun, yang kuterima ternyata adalah dua lembar tiket bioskop. Pertanyaanku padanya malah membuatnya kesal. "Siapa bilang orang buta nggak bisa nonton bioskop? Kamu jadi buta karena keinginanmu sendiri, bukan aku yang mencelakaimu. Jangan asyik ungkit masalah ini!" Kekasih lamanya bersikap sok lembut. "Maaf ya, Kak. Film itu nggak cocok dengan seleraku. Kalau kamu juga nggak mau pergi, buang saja tiketnya!" Aku merobek tiket itu, lalu meninggalkan rumah. Namun, aku malah mendengar bahwa Joey jadi kehilangan akal setelah tidak bisa menemukan pengantin di acara pernikahannya.
8 Bab

Pertanyaan Terkait

Mengapa Film Kanibalisme Selalu Memicu Kontroversi Festival?

3 Jawaban2025-09-09 03:06:27
Tidak banyak genre yang membuatku deg-degan seperti film kanibalisme ketika diputar di festival film. Ada kombinasi aneh antara sensasi dan moral yang langsung menempel: visual yang ekstrem, narasi yang meruntuhkan tabu, serta sejarah panjang soal exploitasi dan realisme yang melekat pada beberapa karya. Festival jadi ruang publik di mana film semacam itu diuji bukan cuma sebagai hiburan, tapi sebagai karya seni yang harus bisa mempertanggungjawabkan pilihannya kepada kurator, kritikus, dan tentu saja penonton. Dari pengalamanku menonton diskusi pascaputar, kontroversi sering muncul karena dua hal utama: etika produksi dan tujuan artistik. Film seperti 'Cannibal Holocaust' selalu dipakai sebagai contoh di mana batas realisme—bahkan dugaan kekerasan nyata—mencampuri opini publik sehingga festival harus memutuskan apakah menayangkan sebuah karya berarti memberi ruang pada kebrutalan. Di sisi lain ada film seperti 'Raw' yang menggunakan kanibalisme sebagai metafora perkembangan diri, dan di sinilah konflik muncul: apakah gambaran ekstrem itu perlu agar pesan emosionalnya tersampaikan, atau justru hanya mengeksploitasi sensasi? Terakhir, festival adalah panggung untuk perdebatan. Kontroversi bukan selalu hal buruk; sering kali itu memaksa diskusi tentang kebebasan berekspresi, tanggung jawab pembuat film, dan batas antara seni dan pelecehan. Aku selalu meninggalkan ruangan diskusi dengan perasaan campur aduk—terganggu sekaligus berterima kasih karena ada ruang publik yang memaksa kita berpikir lebih jauh daripada sekadar tersentak oleh gambar.

Bagaimana Film Kanibalisme Menggambarkan Dilema Etika Korban?

3 Jawaban2025-09-09 17:00:40
Menonton 'Raw' waktu itu benar-benar bikin aku mikir ulang soal siapa yang sebenarnya jadi korban dalam cerita kanibalisme. Di film-film semacam 'Raw' atau 'We Are What We Are', dilema etika korban sering dipresentasikan bukan cuma sebagai soal tubuh yang dimakan, tapi tentang pilihan moral yang dipaksa oleh keadaan. Karakter sering kali berada di persimpangan: bertahan hidup dengan melanggar tabu fundamenta atau mempertahankan nilai yang mungkin berarti kematian. Sutradara biasanya mempertegas itu lewat close-up yang membuat kita merasa dekat sama rasa takut, rasa lapar, dan rasa malu si korban—sehingga penonton ikut dihakimi secara moral ketika mereka menonton. Selain itu, ada lapisan sosial yang nggak boleh diabaikan. Banyak film menggunakan kanibalisme sebagai metafora eksploitasi—ketika yang kuat 'memakan' yang lemah, ketika institusi rusak sehingga individu kehilangan pilihan. Itu yang bikin aku sering merasa simpati campur jijik: simpati untuk korban yang sebenarnya korban sistem, dan jijik karena tindakan itu memang mengoyak batas kemanusiaan. Ending yang ambigu sering menambah beban etika; kita nggak selalu dapat jawaban bersih tentang siapa yang salah. Akhirnya, film-film ini lebih sukses saat mereka bikin kita mempertanyakan batas empati kita—apakah kita masih menganggap seseorang sepenuhnya manusia saat ia dipaksa bertindak seperti binatang? Itu pertanyaan yang masih menghantui setelah kredit bergulir.

Bagaimana Efek Visual Memperkuat Ketegangan Film Kanibalisme?

3 Jawaban2025-09-09 12:05:23
Ada satu adegan di 'Raw' yang masih terngiang di kepalaku—bukan cuma karena darahnya, tapi karena bagaimana kamera, cahaya, dan tekstur bekerja bareng untuk bikin momen itu tak tertahankan. Aku selalu tertarik pada detail kecil: close-up pada kulit yang mengkilap, napas yang tertahan, mata yang menatap kosong. Di film kanibalisme, close-up pada mulut, tangan, dan benda yang 'dimakan' sering dipakai untuk memaksa penonton memperhatikan tekstur dan gerakan yang biasanya kita hindari. Pencahayaan hangat yang tiba-tiba berubah jadi dingin, atau penggunaan warna merah pekat yang menyala, mengubah aksi biologis menjadi simbolis—makanan jadi tabu, meja makan berubah jadi medan peperangan psikologis. Praktikal efek seperti prostetik dan make-up bikin sensasi itu terasa nyata; ketika sesuatu terlihat 'nyata', reaksi tubuh kita otomatis—mual, kaget, atau sebaliknya, penasaran. Gabungkan itu dengan editing yang lambat saat momen-momen kunci, atau potongan cepat yang memecah kontinuitas, dan ketegangan semakin mengental karena penonton tidak pernah nyaman. Aku sering merasa efek visual di film-film ini bekerja lebih pada lapisan sensorik daripada logika; mereka merusak jarak aman yang biasanya kita punya ketika menonton, sehingga pengalaman jadi personal dan agak menakutkan. Itu yang bikin aku terus mikir tentang adegan-adegan itu, bahkan setelah lampu bioskop padam.

Siapa Sutradara Film Kanibalisme Paling Berpengaruh Saat Ini?

3 Jawaban2025-09-09 15:34:38
Dalam pandanganku, nama yang paling berpengaruh sekarang untuk film bertema kanibalisme adalah Julia Ducournau. Aku langsung kepikiran 'Raw' karena film itu bikin paradigma baru: kanibalisme nggak cuma jadi aksi kejam untuk bikin penonton muntah, tapi jadi metafora tentang tubuh, nafsu, dan identitas yang sangat personal. Gaya visualnya, kombinasi body horror dengan drama coming-of-age, bikin tema kanibalisme bisa dibaca berlapis—gender, psikologi, bahkan kritik sosial—bukan sekadar sensasi semata. Setelah 'Raw', langkahnya dengan 'Titane' (dan raihan Palme d'Or) mengangkat kredibilitas tema-tema ekstrem ke panggung festival besar. Itu penting karena pengaruh seorang sutradara sekarang bukan cuma soal box office gore, tapi juga soal bagaimana karya mereka mengubah perbincangan kritis, mempengaruhi kurator festival, dan membuka jalan bagi sutradara lain yang ingin mengeksplorasi tubuh dan ekstremisme estetis. Dari sudut pandang seorang penikmat yang sering nonton festival kecil-kecilan, aku lihat banyak pembuat film muda yang terinspirasi cara Ducournau menautkan kekerasan tubuh dengan pengalaman emosional yang kompleks. Intinya, kalau berbicara tentang pengaruh kontemporer—baik artistik maupun budaya—aku tetap pegang Julia Ducournau sebagai pusatnya sekarang. Dia berhasil menjembatani ranah arthouse dan horor ekstrem, dan efek itu masih terasa di film-film baru yang berani memandang kanibalisme bukan cuma sebagai shock value, tapi juga sebagai bahasa sinematik untuk cerita-cerita yang lebih dalam.

Mengapa Film Kanibalisme Kerap Mendapat Sensor Dari Otoritas?

3 Jawaban2025-09-09 19:11:37
Goresan pertama yang pernah bikin aku mikir soal sensor film kanibalisme itu waktu diskusi nonton bareng teman-teman; suasana langsung tegang dan sebagian orang minta matikan karena adegannya brutal. Dari sudut pandang emosional, adegan kanibalisme memicu reaksi paling primitif: jijik, takut, dan marah. Itu bukan cuma soal darah dan organ, tapi soal melanggar tabu dasar kemanusiaan. Otoritas seringkali merespon dengan sensor karena mereka melihat potensi gangguan ketertiban umum—publik bisa terguncang, muncul protes moral dari komunitas agama atau keluarga, dan media bisa memperbesar isu sampai jadi masalah sosial. Contoh klasiknya adalah kontroversi seputar 'Cannibal Holocaust' yang sempat dilarang di banyak negara karena dianggap mengaburkan batas fiksi dan realitas. Selain itu, ada kekhawatiran soal dampak psikologis pada penonton muda. Banyak regulator beralasan perlindungan terhadap anak di bawah umur: tubuh yang hancur, adegan dismemberment, dan elemen yang memicu traumatisasi membuat film-film semacam ini rawan diberi rating ketat atau bahkan dilarang. Aku paham sisi seninya—banyak sutradara pakai tema kanibalisme untuk kritik sosial atau eksplorasi gelap tentang naluri manusia—tapi buat otoritas, menjaga norma publik dan kesehatan mental seringkali lebih prioritas daripada kebebasan artistik, jadi sensor tetap jalan. Di sisi pribadi, aku tetap nonton tapi dengan seleksi ketat dan diskusi setelahnya agar konteksnya jelas.

Film Kanibalisme Mana Yang Direkomendasikan Untuk Penggemar Horor?

3 Jawaban2025-09-09 18:52:47
Malam itu aku lagi kepo banget soal film horor ekstrem dan akhirnya nyusun daftar yang menurutku cukup representatif buat penggemar kanibalisme—dengan catatan: tonton pake kesiapan mental dan hati-hati sama trigger. Pertama, jangan lewatkan 'Cannibal Holocaust' kalau mau melihat pengaruh film itu ke genre. Ini film yang berbahaya sekaligus berpengaruh: teknik mockumentary-nya bikin suasana nyata, tapi ada kontroversi besar soal kekerasan binatang dan etika produksi—jadi lihat dengan konteks sejarah dan jangan nonton buat hiburan enteng. Selanjutnya, untuk sensasi modern yang lebih 'artsy' tapi tetap brutal, 'Raw' (judul Prancis aslinya 'Grave') itu cara yang cerdas ngebahas kanibalisme sebagai metafora keinginan dan transisi, cocok buat yang suka horor dengan lapisan psikologis. Kalau pingin yang lebih pulpy dan eksploitasi tahun 80-an, 'Cannibal Ferox' atau 'The Green Inferno' (yang terinspirasi sama 'Cannibal Holocaust') kasih estetika gore yang lebih lurus dan tanpa banyak simbol. Untuk nuansa yang gelap tapi punya humor satir, 'Ravenous' menawarkan campuran western-horor yang cukup unik, plus soundtrack yang greget. Jangan lupa juga 'The Silence of the Lambs'—meski bukan film kanibalisme penuh, karakter Hannibal Lecter pas banget bagi yang tertarik ke sisi psikopat kanibalisme. Terakhir, film seperti 'We Are What We Are' (versi Meksiko maupun remake) menaruh kanibalisme ke dalam konteks tradisi keluarga dan ritual; bikin mencekam karena dekat dengan hayat manusia biasa. Intinya: pilih sesuai toleransi dan suasana hati. Beberapa film perlu konteks sejarah atau perhatian etis; beberapa lagi cocok buat yang butuh gore tanpa banyak mikir. Aku pribadi suka campuran: kadang pengin film yang mikir, kadang mau yang bikin merinding tanpa basa-basi.

Apa Film Kanibalisme Bertema Survival Yang Menawarkan Realisme?

3 Jawaban2025-09-09 09:39:43
Ada beberapa film yang selalu bikin aku berpikir panjang soal batas moral ketika kelaparan ekstrem menimpa manusia. Yang paling realistis menurutku jelas 'Alive' (1993) — film ini didasarkan pada kisah nyata kecelakaan pesawat Uruguay di Pegunungan Andes. Yang membuatnya terasa nyata bukan cuma adegan kanibalisme itu sendiri, melainkan proses pengambilan keputusan: rasa bersalah, diskusi kelompok, dan logistik sederhana seperti mengatur potongan tubuh sebagai sumber makanan. Sutradara memilih pendekatan yang lebih manusiawi daripada sensasional, jadi efeknya mengganggu tapi masuk akal secara psikologis. Kalau mau membandingkan, ada juga film dan dokumenter tentang 'The Donner Party' yang menggarap peristiwa sejarah dengan bahan arsip dan rekonstruksi. Di situ realisme datang dari detail perjalanan, kondisi cuaca, dan degradasi fisik para korban — semua membuat pilihan ekstrem terasa tragis bukan tabloid. Seringkali film yang realistis menahan godaan untuk menampilkan darah berlebihan; fokusnya pada konsekuensi sosial dan moral. Di sisi lain, kalau kamu tertarik sisi fiksyonal tapi masih berasa 'dunia nyata', tonton 'Ravenous' untuk nuansa Barat yang gelap dan satir tentang kelaparan ekstrem, atau 'Bone Tomahawk' kalau suka pendekatan horor yang kasar tapi grounded. Namun sebagai referensi paling otentik soal kanibalisme bertema survival aku tetap merekomendasikan mulai dari 'Alive' dan kemudian mengecek dokumenter-dokumenter tentang Donner Party — itu yang paling bikin aku merasakan bobot situasinya sampai ke tulang.

Film Kanibalisme Mana Yang Diadaptasi Dari Novel Terlaris?

3 Jawaban2025-09-09 14:44:59
Setiap kali topik film kanibalisme muncul, yang paling cepat melintas di pikiranku adalah 'The Silence of the Lambs'. Aku ingat betapa terguncangnya bioskop waktu itu—bukan cuma karena adegan-adegannya, tapi karena karakter Hannibal Lecter yang datang dari novel laris karya Thomas Harris. Novel itu benar-benar melejit di pasaran sebelum diadaptasi jadi film pada 1991, dan filmnya sendiri malah membawa pulang lima piala Oscar utama, jadi wajar kalau kebanyakan orang langsung menyebutnya saat bicara kanibalisme yang diangkat dari bestseller. Buatku, kekuatan adaptasi ini ada pada bagaimana film menangkap kengerian psikologis yang ada di buku—bukan sekadar efek ngeri visual. Di novel ada detail yang lebih dalam soal latar belakang pembunuh dan psikologi Lecter, sementara film merangkum itu lewat intensitas adegan dan akting Anthony Hopkins yang dingin namun magnetis. Meski beberapa adegan kasar di buku dirasa lebih eksplisit, film berhasil membangun atmosfer yang sama menakutkannya tanpa harus menampilkan semuanya secara eksplisit. Dari sisi penggemar, aku suka melihat bagaimana kedua medium saling melengkapi: buku memberi ruang untuk masuk ke kepala tokoh, sedangkan film menampilkan nuansa sinematik yang membuat karakter seperti Lecter dan Buffalo Bill melekat di ingatan kolektif. Kalau mau contoh lain dari novel bestseller yang juga mengangkat tema kanibalisme, ada beberapa, tapi kalau ditanya satu yang paling terkenal dan jelas-jelas adaptasi dari novel laris, namanya tetap 'The Silence of the Lambs'. Aku masih suka ngebahas ini setiap ada kesempatan, karena selain seram, adaptasinya juga keren secara naratif.
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status