Di atas langit yang tak tersentuh kefanaan, di antara lautan cahaya abadi yang mengalir tanpa henti, Zalleon berdiri di sebuah lapangan terbuka di alam ilahi. Tempat itu adalah arena para malaikat, di mana keindahan dan kekuatan bertemu dalam harmoni. Angin surgawi berhembus lembut, mengayunkan helai-helai jubah putih para malaikat, sementara awan-awan berkilauan membentuk latar megah bagi pertarungan yang akan segera dimulai.
Pada pagi itu, suasana berbeda terasa di arena. Zalleon, yang dikenal sebagai malaikat penjaga dengan kekuatan yang pernah berasal dari Sang Iblis, tengah bersiap untuk beradu kekuatan bersama dua sahabatnya, Carlo dan Rafello. Ketiganya telah lama berlatih dalam kedamaian surga, namun hari ini, sebuah keinginan untuk menguji kemampuan mereka mendorong mereka untuk menggelar pertarungan persahabatan. "Leon, siap-siap, ya!" seru Carlo dengan tawa riang, matanya berkilau penuh semangat. Ia melompat ke udara, mengepalkan tangan dengan energi yang mengalir deras. Rafello, dengan ekspresi lebih serius, mengangguk. "Ayo, kita tunjukkan seberapa kuat kita hari ini!" Zalleon hanya tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya sebelum pertarungan dimulai. Ia tahu bahwa setiap adu kekuatan bukan hanya tentang mempertahankan kehormatan, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kegelapan yang pernah mengancam. Pertarungan pun dimulai. Pada hitungan "Tiga... Dua... Satu... Mulai!" ketiganya melesat dengan kecepatan yang hampir tak tertangkap oleh mata. Carlo, dengan aura energi berwarna biru, menyerang dengan gelombang kekuatan yang menghantam tanah, menciptakan guncangan yang merambat ke seluruh arena. Rafello, yang menguasai energi berwarna merah menyala, segera membalas dengan pusaran api yang melingkupi dirinya, menantang kekuatan rekan-rekannya. Zalleon, di sisi lain, mengandalkan keseimbangan antara cahaya dan bayang-bayang. Tubuhnya memancarkan cahaya lembut, energi yang pernah menjadi warisan dari kekuatan Sang Iblis. Dalam pertarungan itu, gerakan-gerakannya sangat anggun dan penuh perhitungan. Ia meluncur di antara serangan, membalas dengan pukulan yang disertai semburan energi yang menggetarkan. Namun, di tengah pertempuran persahabatan itu, nasib berkata lain. Saat Carlo melancarkan serangan balasan, sebuah ledakan energi yang tidak terduga meleset dari kendali. Dalam kekacauan yang terjadi, serangan itu tidak mengenai target yang seharusnya-Zalleon atau Rafello-melainkan mengenai sesuatu yang jauh lebih penting: lambang kekuatan yang terpatri di pergelangan tangan Zalleon. Suara dentuman keras menggema di seluruh arena. Waktu seolah melambat ketika kilatan energi menghantam lambang itu. Dalam hitungan detik, cahaya yang biasanya menyinari lambangnya menghilang, seakan ditelan kegelapan. Zalleon menjerit kesakitan, tubuhnya terhempas ke tanah, menciptakan retakan kecil di permukaan yang mulus. "Leon!" teriak Carlo dengan nada cemas, sambil segera menghampiri sahabatnya. Rafello juga berlari mendekat, wajahnya terlihat khawatir. "Apa yang terjadi? Lambangmu...!" Zalleon berusaha bangkit, namun ia hanya bisa merasakan kekosongan dan kehampaan di tangannya yang dulu penuh cahaya. "Kok... kok bisa hilang? Gimana mungkin?" ujarnya dengan suara terputus-putus, rasa sakit dan kebingungan bercampur. Di antara jeritan dan tawa canggung yang pernah mengiringi pertempuran itu, ketiganya menyadari bahwa sesuatu yang jauh lebih besar telah terjadi. Carlo, dengan wajah menyesal, berkata, "Aku... aku gak sengaja. Rasanya aku salah arah dalam menyerang..." Rafello menatap Carlo dengan tajam, "Kita harus segera cari tahu apa arti dari kejadian ini. Ini bukan sekadar kesalahan biasa!" Zalleon, meski terbaring lemah, mencoba mengumpulkan kekuatannya. Di dalam dadanya, terpahat perasaan bahwa kehilangan lambangnya bukanlah kebetulan semata. Ia tahu, sejak dahulu, kekuatannya telah diberikan sebagai pengganti kekuatan Sang Iblis yang dihukumnya oleh para dewa. Namun, dengan hilangnya lambangnya itu, sebagian besar kekuatannya pun ikut lenyap. Rasa gentar menyelimuti dirinya, dan ia pun terpikir untuk mencari pertolongan dari Sang Dewa. Tanpa banyak perdebatan, Carlo dan Rafello membantu Zalleon bangkit. Dengan sisa kekuatannya, ia berjalan dengan kesulitan menuju gerbang surgawi, tempat di mana kehadiran Sang Dewa selalu terasa. Dalam perjalanan itu, setiap langkah terasa berat baginya, seolah beban kehilangan kekuatan yang begitu berarti semakin membebani jiwanya. Sesampainya di hadapan Sang Dewa, Zalleon segera berlutut, menundukkan kepala dengan penuh kesedihan dan penyesalan. "Dewa, mengapa lambang dan kekuatanku menghilang? Apa yang telah terjadi?" tanyanya dengan suara yang dipenuhi kebingungan dan harapan akan jawaban. "Zalleon, ini adalah ujian yang telah Aku tetapkan untukmu," suara Sang Dewa menggema, penuh wibawa namun menyiratkan belas kasih. "Sang Iblis, yang pernah dikutuk karena keserakahannya, telah lama mengincarmu. Ia menggunakan celah dalam takdir untuk merampas kekuatanmu secara perlahan. Aku tidak mencegahnya, karena ujian ini akan menentukan seberapa kuat tekad dan ketulusan hatimu." "Lewat kecelakaan itu, sebagian kekuatan dan lambangmu telah jatuh ke dunia manusia. Suatu hari nanti, kau akan mengerti di mana kekuatanmu berada dan apa yang harus kau lakukan." Zalleon mendongak, matanya membulat, sorot keheranan memancar dari dalamnya. "Di dunia manusia? Tapi... bagaimana bisa kekuatan dan lambangku sampai berada di antara mereka?" Sang Dewa menatapnya dalam diam sesaat, sebelum menjawab dengan suara merendah,namun penuh makna, "Ketika Sang Iblis menciptakan celah dalam takdirmu, sebagian kekuatanmu terlepas dan jatuh ke dunia manusia terikat pada sosok yang tanpa sadar menjadi penjaga kekuatan itu. Ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari takdir yang lebih besar." "Aku akan memberimu waktu seratus hari di dunia manusia. Dalam waktu itu, kau harus menemukan kembali kekuatan dan lambangmu sebelum Sang Iblis berhasil merebutnya kembali sepenuhnya. Jika itu terjadi, segalanya akan berubah... dan kau tak akan pernah bisa kembali seperti semula." Kata-kata itu menggema di seluruh hati Zalleon. Rasa takut dan tekad beradu dalam dirinya. Ia tahu, perjalanannya di dunia fana akan penuh dengan tantangan, dan ia harus segera mencari tahu siapa manusia yang kini membawa lambangnya. "Baiklah, Dewa. Aku akan melakukan apa pun yang diperlukan," jawabnya dengan suara penuh ketegasan, meskipun keraguan masih menyelimuti setiap kata yang terucap. Sang Dewa kemudian memberikan petunjuk terakhir, "Pergilah ke dunia manusia dan samarkan dirimu. Kau akan ditempatkan di antara mereka. Dengan perintah itu, tubuh Zalleon dilingkupi oleh cahaya surgawi yang menyilaukan. Dalam sekejap, ia berpindah dari keagungan surga ke dunia fana. Carlo dan Rafello menyaksikan dengan campuran penyesalan dan harapan, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan Zalleon baru saja memasuki babak yang lebih sulit. *** Setibanya di bumi, zalleon mendarat di sebuah pulau terpencil. Alam sekitar terasa berbeda. Angin laut yang lembut, aroma asin dari samudra, dan langit yang terbentang luas memberikan sambutan yang hangat namun asing bagi dirinya yang baru saja lepas dari keagungan surga. Ia mengenakan pakaian sederhana sebagai bagian dari penyamaran; identitas barunya harus benar-benar menyatu dengan dunia manusia. Di tengah keheningan pulau yang sunyi, Zalleon melangkah perlahan, matanya terus menatap sekeliling, seolah berharap menemukan petunjuk tentang keberadaan lambangnya. Dan Angin berhembus pelan, membawa aroma laut yang khas. Zalleon menatap sekeliling, namun tak ada satu pun makhluk di pulau itu. Namun, tiba-tiba, cahaya terang muncul di langit. Cahaya itu bergerak cepat, melesat turun ke arahnya. "Apa itu?!" Zalleon segera menutupi matanya dengan lengan, silau oleh pancaran cahaya yang begitu menyilaukan. Beberapa saat kemudian, sinar itu mulai meredup. Zalleon menurunkan tangannya dan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh cahaya tersebut. Namun, seketika tubuhnya tertarik masuk ke dalam cahaya itu! Zalleon merasa tubuhnya melayang, lalu tiba-tiba ia jatuh ke dalam sebuah terowongan cahaya yang memutar dan berputar seperti pusaran angin. Sebelum sempat memahami apa yang terjadi, ia sudah terhempas keluar-mendarat di lantai sebuah bangunan yang sangat megah. Ia segera bangkit dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh, lantai marmer berkilauan, dan lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya yang lembut. "Wow! Tempat apa ini? Bagus dan megah sekali!" serunya takjub. Tiba-tiba, cahaya yang tadi membawanya muncul lagi di hadapannya. "Wahai malaikat Zalleon, aku adalah cahaya yang dikirimkan Dewa untuk menuntun jalanmu selama di dunia," ujar suara lembut dari dalam cahaya. Zalleon tersenyum. "Jadi, kamu yang membawaku ke sini?" "Iya," jawab sang cahaya. "Lalu, tempat apa ini?" tanya Zalleon penasaran. "Ini adalah rumah yang diberikan Dewa untukmu selama di dunia manusia." Zalleon menunduk sejenak, lalu berdoa dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Dewa." Setelah itu, ia kembali menatap cahaya tersebut. "Sang cahaya, bagaimana aku bisa menemukan manusia yang mengambil kekuatan dan lambangku?" "Malaikat Zalleon, ketahuilah bahwa jika kau berpapasan dengannya, hatimu akan bergetar dan dadamu akan terasa sakit. Itu tanda bahwa kekuatanmu ada padanya." Zalleon mengangguk paham. "Baiklah. Tapi bagaimana aku harus memulai perjalanan ini?" "Daftarlah di SMA Starlight Academy. Manusia yang memiliki kekuatan dan lambangmu bersekolah di sana." Zalleon tercengang. "Tunggu... Apa? Maksudmu kekuatanku ada pada salah satu anak sekolah? Jadi aku harus menyamar menjadi murid?" "Ya, benar, wahai malaikat Zalleon." Zalleon terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Hahaha, bagaimana bisa kekuatanku berada pada anak sekolah?" "Itulah bagian dari ujian yang diberikan Dewa. Kau harus melewatinya." Zalleon menghela napas panjang. "Huuu... Baiklah." Seketika, cahaya itu mengeluarkan sebuah berkas dan menyerahkannya kepada Zalleon. "Wahai malaikat Zalleon, ini adalah berkas pendaftaranmu untuk sekolah." Zalleon mengambil berkas itu dan mulai membacanya. Matanya melebar. "Hah?! Namaku... Leo Alfais? Namaku diganti?" "Benar. Ingatlah, di dunia ini kau hanya menyamar menjadi manusia. Kau harus tetap menyamar agar misi ini berhasil." Zalleon mengangguk mengerti. "Hmm, baiklah." Tanpa membuang waktu, ia segera mendaftar ke sekolah tersebut. "Pada pagi hari di hari Kamis, Zalleon mendapat pemberitahuan bahwa ia telah diterima di SMA Starlight Academy. Meski begitu, ia dijadwalkan untuk mulai bersekolah pada hari Senin mendatang." BERSAMBUNGPagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar Zira, menyapu perlahan wajahnya yang masih lelap. Dentingan jam weker di samping ranjang membangunkannya. Dengan malas, Zira mengusap wajahnya lalu duduk di tepi ranjang. Hari ini adalah hari ujian, dan seperti biasa, dia bersiap lebih awal.Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, Zira berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya. Namun, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda di meja belajar. Sebuah kaca spion motor—kaca spion milik Brayen.Zira terdiam sesaat, menatap cermin kecil itu dengan rasa bersalah.“Aduh… gimana aku ngembaliin ini? Apa Brayen bakal marah?” gumamnya pelan sambil menghela napas berat. Jantungnya berdegup tak tenang. Kecemasan mulai merayap, membentuk kepanikan kecil dalam dirinya.Ia lalu membuka tasnya dan dengan hati-hati memasukkan kaca spion itu ke dalamnya. Zira menutup tasnya perlahan, seolah menyimpan juga kegugupan di dalamnya. Ia menar
Suasana kelas menjadi hening, hanya terdengar suara gesekan pena di atas kertas ujian dan detak jarum jam di dinding. Zira mencoba fokus, tapi pikirannya masih saja berputar pada luka di wajah Zalleon. Sekilas, ia melirik ke belakang, melihat Zalleon yang duduk dengan tenang, tapi jelas terlihat lelah. Zira menghela napas, mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke soal.Beberapa menit berlalu, dan akhirnya kringgg!Bel pulang berbunyi nyaring, memecah kesunyian ruangan. Para siswa mulai merapikan kertas ujian dan perlengkapan mereka. Zira juga perlahan memasukkan bukunya ke dalam tas, bersama pulpen dan penghapus yang tadi ia pakai.Saat ia hendak berdiri dari bangku, tiba-tiba ada bayangan berdiri di depannya.Zira mendongak.Itu Zalleon.Jantungnya langsung berdegup cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Masih ada amarah kecil yang tersisa dari pagi tadi, tapi juga ada kekhawatiran dan rindu yang diam-diam menyelusup ke dalam hatinya.
Langkah kaki Brayen terdengar berat dan teratur saat ia meninggalkan taman sekolah. Wajahnya tak lagi menampilkan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan pada semua orang. Kali ini, ada sesuatu yang mengendap dalam tatapannya-gelap, dan menyimpan maksud tersembunyi.Tujuannya jelas: menemui Zalleon.Zalleon berdiri di atap sekolah, sendirian. Angin sore berhembus lembut, mengusap rambut hitamnya yang berkilau diterpa cahaya matahari. Ia menatap langit luas, mencoba menenangkan dadanya yang sesak sejak perbincangannya dengan Zira. Hatinya gelisah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia ungkapkan.Tiba-tiba..."Krekk—"Suara pintu atap terbuka memecah keheningan. Zalleon menoleh cepat. Tatapannya langsung berubah tajam. Di sana, berdiri sosok yang tak asing— Brayen.Brayen melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat dan penuh maksud. Pandangannya tajam menembus udara yang terasa kian menegang. Mereka berdiri sali
Suara alarm dari ponsel Zira berbunyi pelan, membangunkannya dari tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang tampak kelabu seperti perasaannya pagi itu. Libur dua hari telah berakhir, dan hari ini... ujian dimulai.Zira duduk di tepi ranjang, menarik napas dalam-dalam. Bukan karena takut menghadapi soal-soal ujian, tapi karena ada rasa aneh yang menggelayuti hatinya sejak semalam. Seolah… sesuatu akan terjadi."Zira, sudah bangun? Sarapan dulu, Nak," terdengar suara Ibu dari bawah."Iya, Bu!" jawabnya cepat. Ia pun segera bersiap dan turun untuk sarapan.Setelah selesai makan, Zira mengenakan sepatu dan bersiap keluar. Namun saat membuka pagar rumahnya, langkahnya langsung terhenti.Di depan rumah, berdiri seorang pria dengan santai, bersandar di motor sport birunya. Ia menoleh dan tersenyum.“Hai, Zira,” sapa Brayen.Zira terkejut. “Brayen?! Apa yang kamu lakukan
Zalleon akhirnya tiba di pantai itu. Ia memarkirkan motornya tak jauh dari tempat pengunjung lain. Saat membuka helm dan turun, matanya langsung menangkap sesuatu sebuah motor yang sangat ia kenal."Motor itu... milik Brayen," gumamnya, tajam.Tanpa pikir panjang, Zalleon langsung berlari menyusuri pantai. Matanya menelisik ke segala arah, mencari sosok Zira dan Brayen. Angin pantai menerpa rambutnya, langkahnya cepat dan penuh kecemasan. Hingga akhirnya, pandangannya tertuju pada dua orang yang sedang duduk di pasir.Zira.Gadis itu tertawa riang di samping Brayen. Mereka sedang membuat istana pasir bersama. Wajah Zira tampak sangat bahagia, senyumnya lepas, matanya bersinar. Pemandangan itu menusuk perasaan Zalleon seperti sembilu.Ia terdiam. Napasnya terhembus berat. Ada rasa tak nyaman yang menyeruak dalam dadanya campuran antara cemburu dan rasa kehilangan. Tangannya mengepal, langkahnya ingin maju, ingin menghampiri mereka, ingin m
Di hari kedua libur sekolah, langit pagi bersinar lebih cerah dari biasanya. Zira duduk di balkon rumahnya, menatap langit biru yang terbentang luas, mencoba menenangkan hati yang masih dipenuhi berbagai rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya memecah keheningan. Zira sontak kaget, lalu menoleh ke arah meja kecil di sampingnya. Ia segera meraih ponselnya dan melihat layar yang menampilkan panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.Dengan alis sedikit mengernyit, ia mengangkat telepon itu."Halo? Ini siapa?" tanyanya bingung.Sebuah suara laki-laki menjawab di seberang sana, terdengar akrab namun agak dibuat-buat misterius."Hayo, tebak ini siapa?"Zira diam sejenak, mencoba mengenali suara itu. Rasanya sangat tidak asing. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat, hingga sebuah nama tiba-tiba muncul di benaknya."Brayen?" ucapnya ragu, namun cukup yakin.Suara tawa ring