Share

Cintaku 100 Hari
Cintaku 100 Hari
Author: Zona Reva Afriliya

PROLOG

last update Last Updated: 2025-02-26 21:03:51

Ketika Cinta Belum Dikenal, dan Kegelapan Menguasai Segalanya

Dahulu kala, sebelum manusia tahu cara mencintai, sebelum langit mengenal birunya, dan bumi menemukan keseimbangannya, semesta hanya dihuni oleh kekacauan.

Kala itu, tidak ada batas antara siang dan malam. Matahari enggan bersinar penuh, sementara bulan hanya menangis dalam senyap, memantulkan duka yang tak diketahui asalnya. Langit dipenuhi retakan petir, dan tanah gemetar tanpa henti, seolah dunia itu sendiri takut pada sesuatu

atau seseorang.

Di balik tirai langit yang robek oleh petir dan badai, berdiri satu nama yang menjadi momok dalam tiap bisikan makhluk yang berani menyebutnya: Damien.

Damien bukan malaikat biasa. Ia adalah makhluk pertama ciptaan awal Sang Dewa yang diberi anugerah luar biasa: kebebasan memilih, dan kekuatan yang setara dengan cahaya matahari dan gelapnya malam. Dalam dirinya, terang dan gelap bersatu. Ia adalah penjaga awal dunia, pemimpin para malaikat, dan pelindung keseimbangan.

Namun kebebasan adalah pedang bermata dua. Dan bagi Damien, itu bukanlah berkah, melainkan racun yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ia ingin lebih dari sekadar menjaga. Ia ingin memiliki. Ia ingin dunia bersujud, bukan hanya pada Dewa, tapi juga padanya.

Dalam kesombongannya, ia mulai menggunakan kekuatannya untuk menciptakan tatanan baru tatanan yang hanya ia atur. Cahaya dalam dirinya mulai meredup, dan kegelapan yang semula hanya bayangan mulai tumbuh menjadi mahkota.

Maka para makhluk mengenalnya sebagai Titisan Iblis, bukan karena ia diciptakan jahat, tapi karena ia sendiri yang memilih jalan itu.

Tubuhnya tinggi menjulang, mata menyala seperti bara neraka, dan di pergelangan tangannya terukir sebuah lambang ungu gelap lambang kekuatan mutlak yang bahkan para dewa enggan menyentuhnya. Dengan kekuatan itu, Damien bisa membelah gunung, membekukan lautan, dan memaksa waktu untuk tunduk di bawah telapak kakinya.

Ia menciptakan pasukan dari bayang-bayang: makhluk tak berwajah, lahir dari ketakutan dan kebencian. Bersama mereka, Damien menaklukkan langit dan bumi. Ia membakar hutan suci, memenjarakan jiwa-jiwa mulia, dan menyulap negeri cahaya menjadi puing-puing kegelapan.

Selama berabad-abad, ia duduk di atas takhta kehancuran, memandang dunia seperti catur, dan makhluk hidup sebagai bidak yang hanya bisa ia gerakkan—atau hancurkan.

Namun, bahkan kekuasaan tertinggi pun memiliki batas.

Kesombongan Damien membutakannya. Ia mulai percaya bahwa tak ada yang bisa melawannya, termasuk Sang Dewa sendiri. Maka ia menantang Sang Pencipta. Ia bersumpah akan merobohkan surga dan menggantikan Dewa sebagai penguasa abadi.

Tapi Sang Dewa tidak tinggal diam.

Dalam satu panggilan, langit terbelah. Cahaya suci menyambar bumi, dan suara Sang Dewa menggema dalam tiga alam. Tak ada satu pun makhluk yang mampu menatap-Nya; bahkan bayangan pun gemetar dan lari dari cahaya-Nya.

“Kau telah melampaui batasmu, Damien.

Kekuatan bukan untuk menguasai, tapi untuk melindungi.”

Damien tertawa. Ia berdiri di atas dunia yang hancur oleh tangannya sendiri, dengan senyum sinis, seolah dunia ini hanya permainan kecil baginya.

Namun Sang Dewa tidak membinasakannya. Tidak seperti harapan para malaikat dan makhluk yang tersisa. Keabadian tidak dihancurkan, tetapi dijatuhkan.

Dalam ledakan cahaya yang membutakan, lambang kekuatan itu tercabut dari pergelangan tangan Damien. Jeritannya mengguncang langit dan bumi. Bintang-bintang jatuh, gunung runtuh, dan samudra pecah dalam kepedihan. Damien dilemparkan ke dalam kegelapan abadi sebuah neraka yang dirancang khusus untuk dirinya.

Namun jiwanya tidak pernah mati. Ia tetap hidup dalam kegelapan, membakar dendamnya, meracuni waktu dengan bisikan yang tak terlihat. Dalam keheningan abadi, ia bersumpah:

“Aku akan kembali.”

Untuk menjaga keseimbangan yang rapuh, Sang Dewa menciptakan cahaya baru- bukan dari kemarahan, bukan dari dendam, melainkan dari cinta yang murni. Dari cahaya itulah tercipta satu malaikat agung: Zalleon.

Zalleon bukan makhluk biasa. Ia diciptakan dari inti cahaya surgawi, dengan jiwa suci yang tak ternoda. Ia dipilih untuk menjadi penjaga baru dari lambang kekuatan yang telah dibersihkan dari kegelapan Damien. Kini, lambang itu tertanam di dalam jiwa Zalleon, bukan untuk mendominasi, tapi untuk melindungi.

Wajahnya bersinar seperti fajar pertama. Langkahnya membawa harapan. Dalam dirinya tak ada ruang untuk keserakahan. Yang ada hanya keyakinan bahwa dunia, meski pernah hancur, bisa pulih.

Ia tahu Damien belum mati. Ia tahu kegelapan hanya tertidur. Tapi tugasnya bukan untuk takut melainkan untuk menjaga cahaya tetap hidup, agar dunia tidak lagi jatuh pada tangan yang salah.

Dan jauh di kedalaman neraka, Damien tersenyum.

Ia tahu…

Cepat atau lambat, cahaya itu akan mencarinya kembali.

Atau…

Ia yang akan datang mengambilnya sendiri.

Dunia kembali berputar, seolah damai. Tapi ancaman belum pergi. Ia hanya menunggu.

Menanti satu celah kecil dalam hati yang lemah.

Dan ketika cinta menjadi senjata…

Kegelapan akan kembali memegang kendali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintaku 100 Hari   Bab 24 (Ada Luka dalam Diamku)

    Sesi belajar itu berlanjut, namun bagi Zira, suara-suara di sekitar terasa seperti gema yang tak jelas. Ia berusaha fokus, menjelaskan langkah-langkah selanjutnya kepada Brayen, namun hatinya terasa begitu berat. Setiap kali ia berusaha mendalami materi, matanya tak sengaja mencuri pandang ke arah Zalleon dan Alleya. Mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya, namun kenyataannya, hal itu justru membuat perasaannya semakin kacau.Zalleon terlihat mulai tenang, bahkan tersenyum kecil saat berbicara dengan Alleya. Tatapan itu... senyum itu... bukan untuknya. Zira menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menepis rasa aneh yang mulai merayapi hatinya. Entah kenapa, melihat Zalleon berbicara begitu akrab dengan Alleya membuat hatinya terasa kering. Mengapa ia merasa begitu cemburu? Bukankah mereka hanya teman?“Langkah selanjutnya gimana, Zira?” tanya Brayen pelan, membuyarkan lamunannya.Zira tersentak sedikit, seolah baru terbangun dari dunia lain. "Ah... iya, maaf.

  • Cintaku 100 Hari   Bab 23 (Tatapan yang Mengguncang Hati)

    Setelah insiden kecil yang cukup menegangkan tadi, suasana perpustakaan mulai tenang kembali. Zira dan Brayen berjalan beriringan menuju bangku mereka. Zira melangkah lebih dulu dan segera duduk di tempatnya, sementara Brayen hendak menarik kursi di sebelahnya—berniat duduk dan belajar bersama Zira seperti yang telah mereka rencanakan.Namun, sebelum ia sempat duduk, sebuah tangan tiba-tiba menahan lengannya.Brayen menoleh cepat. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zalleon.“Aku akan duduk di sini,” ucap Zalleon pelan, tapi penuh tekanan.Brayen langsung menarik lengannya dari genggaman Zalleon secara kasar. Wajahnya mengeras. “Apa-apaan kau ini?” gerutunya kesal.Zalleon tidak menjawab. Tatapannya semakin tajam, menusuk, seolah sedang menahan ledakan emosi dalam dirinya.Brayen balas menatap dengan senyum sinis, lalu melipat tangannya. “Aku yang akan duduk di sini,” katanya dengan nada menantang.Sekeja

  • Cintaku 100 Hari   Bab 22 (Ketika Takdir Membelok)

    Perjalanan mereka terasa menyenangkan. Udara sejuk menyapa kulit, membuat suasana jadi damai dan tenang. Zira yang duduk di belakang, sesekali memejamkan mata menikmati angin yang membelai lembut wajahnya. Tak lama kemudian, motor Zalleon berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur klasik nan megah—perpustakaan umum kota.Zalleon segera memarkirkan motor. Zira turun lebih dulu dan melepaskan helmnya, lalu menyerahkannya kepada Zalleon.“Nih, Leo,” ucap Zira sambil menyodorkan helm.Zalleon menerima helm itu dengan senyuman manis. Ia pun turun dari motor dan melepaskan helmnya sendiri.“Ayok,” ajaknya.“Yok,” balas Zira singkat.Mereka pun melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Suasana di dalam sungguh indah. Pilar-pilar tinggi berjejer rapi, rak-rak buku menjulang, dan aroma khas kertas tua menyambut mereka. Karena hari itu adalah hari libur, tempat itu ramai oleh siswa dari berbagai sekolah yang ingin belajar untuk

  • Cintaku 100 Hari   Bab 21 (Ketukan di Pintu Hati)

    Akhir pekan yang tenang menyambut Zira dengan libur dua hari-Sabtu dan Minggu- yang juga dimanfaatkan untuk persiapan ujian akhir semester. Meski kesempatan itu bisa saja ia gunakan untuk bersantai, Zira memilih duduk di depan buku-bukunya, mencoba fokus belajar. Namun, pikirannya justru terus melayang pada dua sosok yang diam-diam mengisi ruang hatinya.Zalleon... dan Brayen.Tatapan penuh makna antara mereka berdua beberapa hari lalu masih terekam jelas di ingatannya tegang, seolah saling mengenali satu sama lain dalam diam. Ditambah lagi, keduanya bersikeras ingin mengantar Zira pulang di hari yang sama.Zira menatap bukunya yang terbuka, lalu menghela napas. Fokusnya buyar. Lagi-lagi pikirannya berkelana pada dua sosok yang akhir-akhir ini mulai mengisi harinya.Sementara itu, di ruang tamu, Syafiq adik Zira yang sedang asyik bermain game di HP tertawa-tawa sendiri sambil sesekali mengumpat karena hampir kalah. Tiba-tiba, terdengar suara ketuk

  • Cintaku 100 Hari   Bab 20 (Dua Tangan, Satu Hati)

    Siang itu, cahaya matahari menembus sebagian kaca buram laboratorium, menciptakan pantulan samar di meja-meja eksperimen. Udara di ruangan itu terasa sejuk, bercampur dengan aroma bahan kimia yang khas namun ringan. Suasana cukup tenang, hanya terdengar suara alat tulis yang bergerak dan gumaman pelan siswa-siswi yang sedang mencatat.Zira duduk di meja pojok, memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat dengan rapi di buku catatannya. Wajahnya terlihat serius, tapi ada sedikit gurat lelah di matanya mungkin karena pelajaran hari ini cukup padat. Di sampingnya, beberapa teman mulai terlihat gelisah, menunggu waktu istirahat tiba.beberapa jam kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah tiba. Zira berjalan pelan keluar dari lab, membawa buku catatan dan satu buku pelajaran. Ia menuju loker sebentar, lalu langsung ke arah perpustakaan.Di depan pintu, sosok yang sudah ia duga berdiri sambil bersandar pada dinding: Brayen.“Kamu l

  • Cintaku 100 Hari   Bab 19 (Tawa, Tatapan, dan Cemburu)

    Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status