“Baik burukmu, kurang lebihmu, aku bisa terima. Aku selalu dukung kamu bahkan waktu kamu belum punya apa-apa sampai kamu semapan sekarang, Em.”
Hari masih pagi namun drama rumah tangga Ralin sudah memanas.
“Dan sekarang? Kamu --- “
Tin!
Kepala Ralin menoleh ke arah jendela yang tidak tertutup tirai.
Senyumnya berubah kecut begitu melihat Fayza, selingkuhan suaminya, datang ke rumah.
Kemudian Emran melangkah menuju pintu dan membukanya lebar-lebar.
“Sayang, buruan berangkat. Kamu masih apa sih?”
Fayza muncul dengan tidak tahu malunya.
Perempuan berusia empat puluh tahun itu mengenakan setelan kerja yang modis dan seksi. Rambut panjangnya digulung rapi dan wajahnya penuh perawatan hingga membuatnya tampak seperti wanita berusia tiga puluh tahunan.
“Udah kok, sayang.” Emran tersenyum manis pada Fayza, “Tinggal nunggu Ralin ngemasi barang-barangnya aja.”
Ralin menatap Emran dengan ekspresi terkejut lalu menarik tangan suaminya.
“Apa maksudmu, Em?”
Kemudian Fayza menarik Emran hingga tangan Ralin terlepas dari tangan suaminya itu. Lalu memeluk pria itu dihadapan Ralin sambil berucap ….
“Em, aku lagi haid. Masa suburku mungkin dua minggu lagi.”
Dengan terang-terangan, Fayza merebut Emran dari sisi Ralin.
Lalu Emran menarik Fayza dari pelukan dan menatapnya dengan binar bahagia penuh semangat.
“Beneran? Berarti kita harus cepat nikah, sayang.”
“Siri aja dulu, Em. Penghulunya mau kok.”
Kaki Ralin seperti tidak menapak di lantai mendengar rencana mereka akan menikah dalam waktu dekat. Padahal Ralin itu masih sah istri Emran.
Parahnya lagi, Ralin masih di sini! Dan mereka bisa-bisanya merencanakan pernikahan?
“Dasar perempuan nggak tahu diri!” Bentak Ralin dengan menunjuk wajah Fayza.
Emran langsung menarik Fayza agar berdiri di belakangnya.
“Dengar, Lin! Aku nggak bakal lari ke Fayza kalau kamu bisa hamil! Ngerti kamu?!”
“Em, aku tuh nggak mandul! Kata dokter aku baik-baik –”
Emran kemudian mengangkat tangannya agar Ralin berhenti berbicara.
“Maaf, Lin. Aku nggak bisa sabar lebih lama lagi. Kita udah nikah empat tahun tapi kamu nggak hamil juga. Lalu, apa namanya kalau bukan … mandul?” ucap Emran dengan nada tenang.
Namun efeknya seperti membuat Ralin ditusuk ribuan belati.
Kemudian Emran menghela nafas panjang.
“Kita udah program hamil habis puluhan juta. Tapi kamu tetap nggak bisa hamil! Buang-buang waktu dan uang!”
Ralin menggeleng lalu air mata membasahi pipinya. Dia juga ingin segera hamil hanya saja takdir belum berpihak.
Dan apakah Ralin harus menyalahkan takdir?
“Lupakan semua hal yang pernah kita lalui. Karena aku … mau menikahi Fayza.”
“Kamu tega, Em,” ucapan Ralin terdengar seperti bisikan.
“Maaf, Lin.
Kedua tangan Ralin mengepal.
“Mulai hari ini … aku menceraikanmu, Ralin Joviana! Kamu sudah bukan istriku lagi. Dan aku minta kamu segera pergi dari rumahku.”
Kalimat talak yang Emran layangkan begitu sederhana namun cukup membuat Ralin jatuh sejatuh-jatuhnya.
“Kenapa kamu berubah sejahat ini, Em? Padahal dokter bilang kalau aku bisa hamil. Tapi butuh waktu.”
Kemudian Ralin mengusap air mata dan tersenyum kecut.
“Kamu nggak sabar dan nggak mau ninggalin perempuan itu. Perempuan dengan chasing muda tapi onderdil udah tua!”
Kedua alis Emran bertaut ketika Ralin menghina Fayza.
“Seengaknya Fayza hamil ketiga anaknya nggak pakai program hamil yang ngabisin duit sampai puluhan juta kayak kamu! Paham?!”
“Emran nggak butuh istri mandul kayak kamu! Nyusahin! Nggak mandiri! Lembek!” Fayza menambahkan dengan tatapan memicing.
“Aku tahu mana yang terbaik untukku, Lin. Kamu nggak usah sok nyuruh aku ninggalin Fayza. Itu cuma bikin kamu kelihatan nggak lebih baik dari dia.”
Emran kemudian menggenggam tangan Fayza sangat erat dan menciumnya dihadapan Ralin.
“Aku mencintai Fayza. Dan aku minta dengan baik-baik, segera kemasi barang-barangmu. Masalah perceraian, biar pengacaraku yang urus. Kamu tinggal terima jadi.”
“Heh! Buruan kemasi barangmu! Jangan bengong aja?” Bentak Fayza.
Ralin tidak menghiraukan Fayza dan menatap Emran.
“Aku sampai rela melawan orang tua, kabur dari rumah, menjual hadiah perhiasan dari orang tua, demi kita bertahan hidup awal nikah. Ingat, Em, dibalik suksesmu sekarang itu ada peranku!”
Lalu Ralin menatap Fayza.
“Dan perempuan sundal ini, apa mau sama kamu andai kamu nggak punya kedudukan kayak sekarang?!” Ralin mendengus lalu mengusap air matanya, “Pasti kamu bakal ditendang!”
“Kamu mau nuntut ganti rugi?” Emran tersenyum mengejek, “Ingat, Lin. Kalau bukan karena kerja kerasku juga, kamu nggak mungkin bisa hidup enak kayak gini!”
Ralin tidak sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan Emran jika suaminya sudah seperti ini. Segala kebaikan Ralin tidak dilihat sama sekali.
Mata Emran telah tertutup oleh janda tua beranak tiga bernama Fayza. Yang digadang-gadang bisa memberinya keturunan.
“Sama satu lagi, kalau kamu penasaran kenapa aku lebih milih Fayza, itu karena dia pandai menyenangkan pasangan, obrolannya cerdas, dan nyambung. Nggak kolot dan … “ Emran menatap Ralin dari atas hingga bawah, “Nggak kampungan apalagi malu-maluin.”
Cukup!
Ralin tidak akan membiarkan Emran menginjak-injak harga dirinya lebih jauh.
“Perempuan cantik dan cerdas itu nggak nyuri suami orang! Justru selingkuhanmu itu yang kampungan!"
Mendengar itu, Emran maju dua langkah dengan sorot marah dan mencengkeram rahang Ralin. Ia berusaha melepaskannya namun tenaga Emran lebih besar.
“Berani menghina Fayza sekali lagi, aku patahkan lehermu disini, Lin!”
“Kamu bakal nyesel, Em! Aku doakan kamu segera dapat balasannya!” ucap Ralin dengan menahan sakit di rahangnya.
Kini, lelaki yang dulu Ralin bela mati-matian saat keluarganya ragu memberikan restu, justru melukainya. Seketika itu pula, Ralin menyesali pilihannya.
“Ya. Aku bakal dapat balasannya! Balasan mendapat wanita yang lebih baik dari kamu. Begitu kan?!"
"Nggak akan!"
“Lihat Fayza! Dia punya karir bagus. Nah kamu, cuma bisa jadi guru rendahan ngajarin anak-anak yang terlahir aneh itu!”
Lalu Emran mendorong Ralin hingga punggungnya membentur dinding.
“Ah!”
Rahangnya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.
“Pergi kamu dari rumahku, Lin!” ucap Emran marah dengan menunjuk pintu rumah.
Kepala Ralin menggeleng, “Aku punya hak atas rumah ini, Em. Kamu nggak bisa ngusir aku seenaknya!”
Fayza berdecak kesal, “Tuh kan, bener tebakanku. Ralin pasti nggak mau pergi, Em. Dia kan nggak ada saudara di sini. Orang tuanya aja udah nggak nganggep dia anak lagi.”
“Aku nggak peduli. Pokoknya kamu harus pergi hari ini juga, Lin!”
“Lin, kamu udah nggak boleh di sini lagi,” ucap Fayza dengan suara lembutnya yang mendayu. “Emran kan udah ngusir kamu. Artinya kalian udah bukan suami istri. Nggak boleh serumah lagi. Emang kamu mau dituduh berzina?”
“'Munafik!” Bentak Ralin.
Bisa-bisanya Fayza menggunakan alasan zina, padahal wanita itu telah melakukannya bersama Emran.
“Nggak usah sok suci kalian berdua!”
Fayza mengibaskan tangannya, “Langsung aja lah. Mau aku bantu beresin barang-barangmu nggak?”
Ekspresi wajah Ralin makin geram.
“Diam kamu, sundal! Jangan berani --- ”
“Ah, banyak drama!”
Tiba-tiba Emran mencengkeram rambut Ralin dan menyeretnya keluar.
“Sakit, Em!”
“Diem! Atau aku tendang kepalamu!”
Sementara itu, Fayza masuk ke kamar dan mengambil semua barang Ralin dan memasukkannya ke dalam koper. Acak-acakan sekali lalu Fayza melemparnya ke halaman, tepat di hadapan Ralin jatuh tersungkur.
“Pergi! Aku muak lihat wajah jelekmu!”
Lalu Emran mengunci pintu rumah dan membawa Fayza masuk ke dalam mobil. Tidak lupa Fayza memberi cium jauh dan melambaikan tangan selamat tinggal pada Ralin yang berurai air mata.
Ralin tidak menyangka bila pagi ini akan menjadi akhir dari rumah tangganya dengan Emran.
Dengan pakaian siap mengajar, akhirnya Ralin urung berangkat ke sekolah. Ia tidak sudi menunggu Emran pulang untuk kembali masuk ke dalam rumah mereka lagi.
Dia tidak akan membiarkan harga dirinya direndahkan.
Ralin menggeret koper berisi barang-barangnya dengan tangis meleleh di pipi. Matahari yang begitu terik membuatnya makin kelelahan kemudian berteduh di teras minimarket.
Kemana dia harus menginap malam ini?
Pulang ke rumah orang tua? Itu tidak mungkin sekali.
Brak!
“Coklat! Cokelat!”
Dua petugas minimarket menggeret paksa seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang sedang menangis sambil berteriak.
“Ini anaknya siapa sih?! Bikin onar aja!”
“Jangan-jangan dia sengaja ditelantarin?”
“Kita taruh pinggir jalan aja lah!”
“Coklat!” Teriak anak itu kembali.
“Diem! Kamu itu nggak bawa uang! Makan coklat, es krim, roti seenaknya! Kamu pikir itu gratis?!”
Ralin menatap dengan seksama interaksi anak kecil dan petugas minimarket itu. Lalu menyadari jika ….
Hello ... selamat datang di novel terbaru author. Ini adalah sekuel dari novel "Pinangan Jutawan Berkedok Seniman". Happy reading ...
Lewis mengangguk lalu mempersilahkan asisten pribadinya membuka pintu ruang kerja.Kemudian terpampanglah sekretarisnya, Ardi, bersama seorang ... wanita.Mengenakan setelan kerja berupa blazer warna abu-abu berlengan panjang dengan inner berupa tank top warna hitam sebatas dada atas. Mengenakan rok pendek di atas lutut lima centimeter.Memperlihatkan kaki jenjang, merit, dan mulusnya yang bisa membuat lelaki manapun tertarik untuk meliriknya.Rambutnya digelung rapi dengan riasan flawless yang tidak menor. Tapi cukup membuatnya nampak anggun.Lalu ketukan heelsnya seperti detik jarum jam di tengah sepinya malam. Mampu membelah kesunyian dan magnet alam seakan tertarik padanya. Dan senyum manisnya tergambar jelas sembari menatap Lewis tanpa keraguan.Keduanya berdiri tidak jauh dari meja Lewis. Sedang asisten Lewis berdiri di sebelah Lewis dengan meletakkan kedua tangan sopan di depan tubuh.Lewis menatap sekretarisnya, Ardi, dan bertanya."Apa dia calon penggantimu?"Kepala Ardi menga
Lewis menahan senyum kemudian membuka selimut perlahan. Turun dari ranjang lalu menarik tangan kiri Ralin untuk keluar dari kamar. "Mau kemana, Den Mas?"Lewis meletakkan telunjuk kanannya di depan bibir dan mengedipkan sebelah mata. Dan Ralin mendadak langsung meleleh seketika. Tidak bisa Ralin pungkiri jika ada letupan gairah yang mendadak naik ke puncak ubun-ubun. Dia juga sudah lama berpuasa dari sentuhan Lewis. Namun dia tidak menyangka jika Lewis akan jauh lebih agresif meminta haknya ketimbang dirinya. Hingga kedua pipinya terasa panas karena malu dan pasti sudah bersemu. Oh ayolah, mereka sebelumnya adalah janda dan duda. Namun entah mengapa sekarang kelakuan mereka seperti pasangan muda yang baru menikah. Tanpa banyak bertanya, Lewis membawa Ralin menuju kamar Levi yang kini jarang ditempati. Sudah pasti karena Levi selalu menghabiskan jam tidurnya di kamar kedua orang tuanya. Setelah pintu tertutup dan dikunci, Lewis memojokkan Ralin di tembok dan mulai membelai pipi is
Ralin mengangkat telfonnya dan menunjukkan riwayat panggilannya dengan Zaylin dua jam yang lalu. Mengetahui itu, Lewis segera mengambil ponsel Ralin lalu meremasnya kuat. Menatap kedua mata istrinya itu dengan tatapan tajam. "Tunggu di kamar. Jangan kemanapun!" ucap Lewis tegas."Kamu mau kemana, Den Mas?" Tanya Ralin."Aku bilang ... te-tap di ka-mar!"Perintahnya seperti sebuah titah yang tak terbantahkan. Ralin yang juga mengalami sedikit cidera di kaki kanannya, tidak mungkin bisa menghentikan Lewis yang sedang dikuasai emosi.Ralin hanya bisa melihat suaminya itu pergi dari kamar dan tetap berdiam diri. Kepalanya lantas menggeleng dan mengingat percakapannya dengan Zaylin. Mantan istri Lewis itu menjelaskan semuanya secara detail pada Ralin. Tanpa filter apapun. Padahal Ralin itu mudah merasa tidak enak dan mengalah. Alhasil, dia dilanda stres di masa pemulihan yang mengharuskannya untuk lebih tenang dan sabar menghadapi ini semua. Lewis telah berjanji akan mengatakan segalan
Usai dari kantor, sore itu, Lewis segera menuju restaurant tempat Akhtira menunggunya. Sebenarnya, dia lelah sekali karena harus merampungkan banyak pekerjaan yang sempat menumpuk.Namun rasa lelah itu terabaikan karena akan membahas kesehatan Ralin, terutama rahimnya.Ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya.Apakah Rahim Ralin mengalami cedera pasca kecelakaan itu? Ataukah ada hal yang sangat krusial yang membahayakan rahimnya?Dan Lewis bersumpah, bahwa dia tidak akan memaafkan Antony jika rahim Ralin bermasalah karena perbuatannya. Dia rela mengajukan pemberatan hukuman pada Antony jika rahim Ralin terbukti bermasalah!Dia memiliki kekuasaan, harta, dan koneksi yang akan mendukung dan menguntungkannya. Sedang Antony dan keluarganya, mereka tidak ada seujung kuku keluarga Hartadi.Begitu tiba di lokasi restaurant, Lewis berjalan dengan cepat diikuti asisten pribadinya. Matanya yang terlapisi kacamata bening dengan cepat memindai keberadaan Akhtira yang sudah menunggu di kursi
Tangan kanan Lewis memar karena terlalu keras memukul Antony. Dia merasa masih kurang dan emosinya masih bergejolak.Antony terlalu arogan dan itu membuat Lewis tidak memberinya ampun. Berbeda dengan para komplotan yang tadi masih menunjukkan sisi ketakutan.“Pak, apa perlu saya antar ke IGD dulu sebelum kembali ke kamar Nyonya?”Lewis tidak menjawab. Membiarkan rasa nyeri itu merajai punggung tangannya. Lalu mengambil ponsel dan menekan nomer kepala tim.“Selamat siang, Den Mas. Ada yang bisa dibantu?”“Apa Antony masih hidup?”“Masih, Den Mas.”“Beri tahu dia. Kalau seumur hidupnya akan berakhir di jeruji besi. Di tempat yang jauh dari keluarganya.”“Baik.”“Dan satu lagi, katakan padanya agar tidak muncul di hadapanku, Ralin, atau keluarga besarku. Tidak ada maaf baginya!”Keputusan Lewis sudah final.Ini pertama kalinya dia begitu kejam pada seseorang. Namun ini masih jauh lebih baik dari pada Luis yang bertindak.Kemudian Lewis menghubungi tim advokat keluarga Hartadi dan menyampa
Lewis mengetuk pintu kamar inap Ralin kemudian membukanya perlahan. Ralin yang sedang dibantu makan dan minum oleh ibunya kemudian menoleh.Setelah menutup kembali pintu kamar, Lewis berjalan mendekat dan meletakkan satu buket bunga sederhana di meja.Lalu senyum Ralin mengembang, “Makasih, Den Mas.”“Sama-sama.”Kemudian Lewis duduk di sebelah Ralin dengan senyum sama mengembangnya. Seakan tahu jika anak dan menantunya butuh waktu berduaan, ibunya Ralin kemudian beralasan.“Lew, tolong suapin Ralin.”Kemudian Lewis menerima mangkok berisi sarapan lembut Ralin.“Ibu mau kemana?”“Sarapan bentar sama Bapak. Udah nunggu di luar dari tadi.”Setelah pintu ditutup, Lewis kemudian menyuapi Ralin perlahan.“Aku nggak pernah nyuapin Levi. Tapi mendadak jadi nyuapin kamu.”“Kamu kurang akrab sama anakmu sendiri, Den Mas.”Lewis menyuapi Ralin untuk pertama kalinya hingga habis kemudian datanglah dokter dan perawat untuk melakukan kunjungan.Mengecek keadaan Ralin dan bekas luka serta jahitan.L