“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”
Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.
“Tunggu!” Ralin berseru.
Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.
“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.
“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.
“Aku gurunya. Ini muridku.”
Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.
“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.
“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- “
“Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”
Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian, Ralin segera membayar snack-snack yang dimakan Levi. Sambil berpikir bagaimana ceritanya Levi bisa terpisah dari orang tuanya.
Ralin kemudian memastikan keadaan sekitar minimarket namun tidak ada seorang pun yang mencari Levi.
Levi, bocah laki-laki berusia enam tahun dengan gangguan spektrum autis itu masih saja merengek pada Ralin ketika melihat deretan coklat di depan meja kasir. Setelah selesai membayar, Ralin mengajak Levi duduk di kursi teras minimarket dengan membawa sebotol air putih.
“Levi, jangan makan coklat. Nanti perutnya sakit.”
“Coklat!” Bentaknya lalu memanyunkan bibir.
Sebagai guru yang terbiasa bersama dengan anak-anak spesial seperti itu, Ralin tidak kehilangan akal untuk membujuknya agar tidak meminta coklat.
Dia berusaha tetap tenang karena Levi membutuhkan waktu lebih lama untuk meredakan emosinya.
Ralin melihat ada potongan beberapa buah siap makan di etalase lalu segera membelinya. Lengkap dengan satu kotak tusuk gigi. Lalu meletakkan potongan buah itu di atas meja dan mulai menghiasnya dengan menancapkan beberapa tusuk gigi hingga berbentuk seperti landak.
“Ini ada pepaya sama melon. Manis kayak coklat. Cobain ayo.”
Ralin mencicipinya sedikit lalu menyodorkan pada Levi yang langsung melengos dengan wajah cemberut.
Tapi Ralin tidak putus asa dan paham sekali menangani anak-anak seperti Levi. Hingga Levi akhirnya mau memakannya meski tidak banyak.
Setelah emosi Levi terkendali dan kondusif, Ralin mulai mengajaknya berbicara meski jawaban yang keluar sangat terbatas..
“Levi, tadi kok bisa sampai sini?”
Kepalanya hanya menggeleng dengan mata sayu. Ternyata Levi mulai mengantuk.
“Papa sama Mama dimana?”
Levi jusru merebahkan kepalanya di atas meja.
Rupanya ia tidak takut sekalipun terpisah dari keluarganya. Beberapa menit kemudian, matanya terpejam dengan rambut lurusnya tertiup hembusan angin siang.
Ralin menghela nafas lalu menatap kopernya karena baru saja diusir oleh Emran dan selingkuhannya. Dan sekarang, ia justru bersama salah satu murid spesialnya yang terpisah dari keluarga.
Andai Ralin memiliki tempat tinggal, pasti akan membawa Levi ke tempatnya sementara waktu.
Dari pada melaporkan hal ini ke pihak kepolisian, Ralin justru menghubungi pihak sekolah dan bertanya nomer ponsel keluarga Levi.
“Lho, gimana Levi bisa sama Bu Ralin? Padahal hari ini Levi izin nggak masuk karena ada acara keluarga,” ucap kepala sekolah.
“Saya tidak sengaja bertemu dengannya.”
Setelah mendapat nomer wali Levi, Ralin segera menghubunginya. Namun sayangnya, tidak ada jawaban!
Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya kemudian tidak memiliki cara selain menggendong Levi dan menggeret kopernya di bawah terik matahari.
Ralin terlihat seperti seorang ibu dengan satu anak yang tidak memiliki tempat tinggal. Ia terus berjalan dengan menggendong Levi dan menarik koper hingga merasa sangat kelelahan kemudian berteduh di bawah pohon.
Levi kemudian terjaga, merasa asing dengan sekeliling, dan hampir menangis.
“Tenang, Levi. Ada Bu Ralin disini.”
Ralin segera memeluk Levi lalu memberinya minum air putih.
Sekarang, giliran perut Ralin yang berbunyi kemudian menggandeng Levi sambil menggeret koper menuju sebuah kedai makan.
“Levi, kamu lapar?”
Bukannya menjawab, Levi justru asyik mengamati sekeliling. Ralin memegangi satu tangan Levi agar tidak pergi kemana-mana sedang satu tangannya dipakai menyendok makanan.
“Levi, coba makan dikit nasinya Bu Ralin. Ini enak.”
Levi hanya mau satu suap saja lalu hendak berdiri lagi. Lalu Ralin melahap makanan siangnya terburu-buru karena anak spesial seperti Levi tidak betah duduk terlalu lama.
Setelah membayar semangkuk makanan, Ralin kembali menggandeng Levi dan melanjutkan pencarian keluarga muridnya itu. Barangkali mereka ada di sekitar sini.
“Den Levi!”
Dua orang baby sitter dan dua laki-laki memakai jas segera menyeberang dengan terburu-buru padahal jalanan sedang ramai.
“Ya Tuhan, Den! Den Levi dari mana aja?! Mbak bingung nyariin!” ucap seorang baby sitter sambil berdiri dengan kedua lututnya agar sejajar dengan tinggi Levi.
Ralin pun lega akhirnya Levi bertemu dengan keluarganya.
“Kalian bertiga nggak becus! Jaga Levi aja kalian nggak bisa! Terus kalian ngapain aja sampai Levi hilang nggak ada yang ngerti?!” Bentak seorang pria berusia matang memakai jas hitam dengan penampilan menawan.
Raden Mas Satria Lewis Hartadi.
Perlahan Ralin melepaskan genggaman tangannya dari Levi dan mundur beberapa langkah. Ini sudah bukan urusan dan tanggung jawabnya sudah selesai.
"Maafkan kami, Den Mas Lewis. Maafkan kami."
Kedua baby sitter dan seorang laki-laki seperti bodyguard hanya bisa menunduk takut di hadapan Lewis. Lalu ia meraih Levi dengan lembut dan menelitinya dari atas hingga bawah.
“Levi, jangan pergi seenaknya lagi. Ayah bingung nyari Levi kemana-mana.”
Kemudian Lewis memeluk Levi penuh cinta.
Tanpa berkata apapun, Ralin kemudian pergi dengan membawa kopernya.
“Tunggu!”
Ralin menoleh ketika Lewis memanggil. Kemudian Levi melepaskan diri dari pelukan ayahnya dan berlari ke arah Ralin lalu berkata.
“Makan.”
Ralin bingung dengan sikap Levi lalu menatapnya Lewis.
“Levi mau makan apa?”
“Makan.”
Paham jika anak seperti Levi tidak mudah mengutarakan apa yang diinginkan, Ralin kembali bertanya selayaknya mengajar Levi di sekolah. Namun kali ini dengan bantuan gambar yang ditunjukkan dari ponselnya.
Interaksi keduanya tidak lepas dari pandangan Lewis. Bagaimana Ralin bisa membujuk bahkan mengambil hati Levi. Hingga bocah cilik tampan itu mengangguk menerima menu makanan yang Ralin tunjukkan.
Lalu Ralin mendekati Lewis.
“Permisi, Ayahnya Levi. Ini adalah menu makanan yang baik untuk Levi. Karena dia sudah sepakat dengan menu ini, anda bisa membuatkannya di rumah atau membelikannya. Saya permisi.”
“Anda siapa? Kenapa bisa kenal Levi baik?” Tanya Lewis.
“Saya Ralin, wali kelas Levi.”
Lewis mengangguk paham. "Terima kasih sudah menjaga Levi, Bu Ralin."
“Sama-sama, Pak. Harap memperhatikan makanan yang tepat untuk Levi agar gangguan perilakunya tidak muncul.”
Kemudian Ralin menatap Levi.
“Levi, nanti makanannya dimakan semua ya? Bu Ralin pergi dulu.”
Tapi Levi langsung menahan tangan Ralin.
“Makan.”
“Levi makan sama Ayah. Oke?”
Kepalanya menggeleng sembari menatap Ralin.
“Makan.”
Ralin kebingungan lalu menatap mereka berdua bergantian.
“Iya, Levi makan sama Ayah, ya?”
Kepalanya kembali menggeleng.
“Makan.”
Tapi masalahnya Ralin harus segera mencari tempat menginap sebelum malam menjelang. Dia juga tidak mungkin mengatakan masalah pribadinya pada Lewis.
“Levi, Bu Ralin --- “
“Bu Ralin, tolong temani Levi makan dulu. Anda tidak keberatan, kan?”
Hari-hari Ralin tak lagi sama sejak hasil USG itu keluar. Tubuhnya mulai memberi sinyal mual yang muncul saat matahari belum terbit, kelelahan bahkan hanya untuk naik tangga, dan suasana hati yang mudah berubah drastis.Lewis yang biasanya sibuk di pabrik, kini beradaptasi total. Dia bangun lebih pagi untuk menyiapkan air lemon hangat, mengatur jadwal kerja agar bisa pulang lebih awal, bahkan menyimpan camilan khusus anti-mual di sakunya jika harus keluar bersama Ralin.“Kalau kamu nyium bau parfumku dan pengen muntah, bilang aja. Aku bakal ganti,” ujar Lewis dengan panik satu pagi.Ralin terkekeh meski wajahnya pucat. “Aromanya sih nggak bikin muntah. Tapi cara kamu panik itu bikin aku pengen nangis dan ketawa barengan, Den Mas. Ini hormon atau kamu emang lucu banget?”Namun perubahan fisik hanyalah permukaan. Perubahan emosional jauh lebih kompleks.Suatu malam, ketika Lewis tertidur lebih dulu, Ralin duduk di sisi ranjang dengan tangan memegang perutnya yang belum menunjukkan apa-ap
Malam harinya, Ralin menghubungi kedua orang tuanya melalui video call. Wajah Ibunya muncul di layar, ayahnya duduk di samping.“Bu, Pak, aku punya kabar baik.”“Apa, Lin?”“Lihat ini.”Ia menunjukkan hasil USG.Ibunya sempat bingung, tapi begitu menyadari, ia terharu seketika.“Ya Tuhan, akhirnya. Kami semua mendoakan, Lin. Anakmu akan jadi anak yang kuat seperti ibunya.”Percakapan mereka berlanjut dengan penuh tawa bahagia setelah melewati banyak rintangan. Bahkan ibunya bersedia untuk menginap di rumah Lewis kalau Ralin membutuhkan bantuan.Untuk pertama kalinya, Ralin merasa sangat lengkap.Pernikahannya yang dulu sempat mendapat perlawanan dan hidup dengan pasangan tanpa restu juga membuat beban tersendiri. Tapi kali ini, dia mendapatkan restu dan dukungan dari keluarga.Itu sangat luar biasa berharga di tengah krisis kepercayaan dirinya yang sempat memuncak.Malam itu, semua keluarga tertidur dengan hati yang hangat.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia Ralin dan Lew
Ralin menahan napas dan Lewis menegang ketika menatap Dokter Imelda. Tapi senyum dokter itu membuat keduanya bingung.Jika kabar buruk mengapa dokter itu tersenyum?“Kadar β-hCG Bu Ralin melonjak lebih dari dua kali lipat. Ini tanda bahwa embrio mulai berkembang.”Seketika Ralin dan Lewis senang bukan kepalang. Setidaknya ada satu harapan kecil luar biasa yang sedang mereka nantikan.Keduanya saling bertatapan dengan sorot haru. Pikiran Ralin yang awalnya negatif, berubah menjadi merasa bersalah.Dia seperti mendahului kehendak sang Pencipta dengan melabeli calon anaknya tidak akan berkembang.“Kita belum boleh terlalu senang, ya. Tapi ini arah yang positif. Kita akan lakukan USG awal minggu depan untuk melihat apakah kantung kehamilan mulai terbentuk.”Ralin langsung menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya mulai memenuhi pelupuk mata.Dia terus mendengarkan penjelasan dokter Imelda, tentang apa dan yang tidak boleh dilakukan.Tangannya mengusap perutnya yang masih rata dengan pera
“Kami berhasil mengambil 11 sel telur matang. Itu angka yang bagus. Sekarang kami akan lanjutkan ke tahap fertilisasi hari ini juga. Kita lihat berapa yang berhasil jadi embrio sehat dalam 3–5 hari ke depan.”Lewis lega luar biasa mendengar penjelasan perawat. Dan satu hal yang dia ketahui, bahwa ekspresi wajah sang suster memanglah serius.Karena terlalu tegang dengan kondisi Ralin, akhirnya Lewis menjadi overthinking.“Makasih, Sus,” ucap Lewis.Kemudian perawat pergi meninggalkannya.Tidak berapa lama kemudian, Ralin membuka mata pelan. “Den Mas?”Lewis segera duduk di sebelah ranjang Ralin dan menggenggam tangan istrinya. “Aku disini.”“Gimana?” Tanyanya lemah.Lewis tersenyum lega, “Ada sebelas folikel. Itu artinya, kesempatan terbuka lebar, Lin.”Ralin tersenyum tipis namun sangat bahagia.“Kamu hebat. Tubuhmu kuat,” jawab Lewis. “Sekarang istirahat dulu. Hasil fertilisasi akan dikabari lewat email dan telepon.”Selama menunggu hasil fertilisasi, Ralin tidak pernah berhenti berdo
Lewis menatap wanita yang sangat dicintainya itu telah melewati banyak luka dan pengorbanan. Dan kini siapkah Lewis kembali membuat Ralin berdiri di persimpangan pilihan, apakah akan melanjutkan prosedur bayi tabung atau tidak.“Aku kemarin habis ketemu Mas Tira.”Ralin tetap duduk di pangkuan Lewis dan menatapnya keheranan. “Bukannya luka pasca operasi udah beres?”“Iya. Udah beres.”“Lalu?”Lewis kemudian menyatukan tangannya dengan Ralin lalu dibawa untuk dicium dengan penuh kasih sayang.“Sayang, gimana kalau kita … menjalani program bayi tabung?”Mendengar hal itu, kesedihan di hati Ralin seperti kembali lagi ke tempatnya. Dia teringat kembali dengan keadaannya.“Aku nggak tahu, Den Mas. Apa ini jalan yang benar. Aku takut nanti gagal. Aku takut kecewa lagi. Aku takut tubuhku nggak sanggup.”Benar dugaan Lewis, bahwa Ralin pasti tidak akan percaya dengan dirinya sendiri.Beberapa hari kemudian, setelah Ralin dan Lewis kembali mencoba dan berusaha demi mendapatkan keturunan, pagi h
Hari ini Ralin mengajak Levi untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya. Mendadak ia ingin mencari udara segar di kampung. Sekalian agar Levi bisa bermain di sawah dengan keponakannya.“Hati-hati ya? Maaf aku nggak bisa nemenin. Ini bukan weekend soalnya,” ucap Lewis.Kemudian ia memeluk Ralin dan menciumnya.“Iya, Den Mas.”“Aku bakal kangen kalian dua malam ini. Tidur sendirian.”Ralin tersenyum.“Semalam aja lah, Lin, nginepnya.”“Nanggung, Den Mas. Lagian aku udah lama nggak pulang.”Lewis mengangguk dan menghela nafas panjang. Sekarang, dia tidak terbiasa jauh dari Ralin. Dan ditinggal dua hari saja, dia merasa keberatan.“Ya udah, aku izinin.”Akhirnya Lewis mengizinkan meski dengan berat hati.Dia tahu jika istrinya itu dalam proses menenangkan diri dan berdamai dengan segalanya. Tidak mudah menerima kenyataan hidup bahwa Ralin dihadapkan pada masalah sulitnya hamil.Setelah mengantar Lewis hingga teras rumah, Ralin kemudian masuk ke dalam rumah. Mengajak Levi memasukkan beber