Home / Romansa / Gadis Tanpa Ingatan / 6. telepon dari masa lalu

Share

6. telepon dari masa lalu

Author: Alvarezmom
last update Huling Na-update: 2025-06-04 10:25:52

Sudah lewat tengah malam ketika Raina terbangun karena mimpi yang sama untuk ketiga kalinya di minggu ini.

Tangisan. Kilat. Bunyi klakson. Dan jeritan seseorang yang memanggil nama… Amara.

Ia terduduk dengan napas memburu. Keringat membasahi pelipis dan lehernya. Ia begitu gelisah, ia buru buru ke dapur untuk mencari air minum. Berharap bisa mengurangi kegelisahan yang sedang ia rasa. Ia langsung menegak habis air putih di tangan nya. Setelah sedikit tenang ia kembali ke kamarnya. Ia duduk bersandar di sofa kamar. Berusaha mengingat suara dan nama yang di panggil lewat mimpinya.

Amara.. ia mulai kembali gelisah mengingat nama itu. Namun bukan hanya mimpi itu yang membuatnya gelisah malam ini.

Sebuah ponsel asing bergetar di bawah laci meja samping tempat tidurnya. Ia bahkan tidak tahu kapan benda itu ada di sana. Elvano tak pernah memberinya ponsel. Dan ia sendiri yakin bahwa ia tidak pernah menyimpannya.

Dengan tangan gemetar, ia menarik laci. Sebuah ponsel hitam, model lama, menyala tanpa suara. Nama peneleponnya hanya satu kata:

MOM.

Raina ragu sejenak, lalu menyentuh tombol hijau. Tak ada suara di ujung sana selama beberapa detik.

Hingga akhirnya terdengar suara perempuan tua—lembut, parau, tapi menusuk. “Amara… kau di mana, nak? Kenapa kau menghilang?”

Jantung Raina seketika membeku. “Siapa… siapa ini?

“Kau marah pada Ibu, ya? Ibu minta maaf, Amara. Tapi jangan pergi begitu. Mereka bisa—”

Klik.

Sambungan terputus.

Raina menatap layar yang kembali gelap. Ia menggenggam ponsel itu erat-erat seolah takut jika suara itu tak kembali lagi.

Amara…?

Nama itu terus bergema di kepalanya. Rasanya familiar dan asing di saat yang sama. Ia menatap bayangannya di kaca jendela. Wajahnya pucat, matanya sayu, tapi tak ada jawaban di sana. Hanya satu hal yang pasti: seseorang mengenalinya.

Dan selama ini… seseorang mencarinya.

Pagi harinya, suasana rumah Elvano terasa dingin seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berubah dari cara pria itu memandangnya. Raina tak berani menyebut soal telepon itu. Ia bahkan menyembunyikan ponsel itu di balik pakaian dalam lemari.

Namun pikirannya tidak bisa tenang. Pertanyaan demi pertanyaan menggerogoti logikanya.

Kenapa ia dipanggil Amara? Siapa wanita itu? Dan… sejak kapan ponsel itu ada di sana?

Saat sarapan, Elvano duduk di sisi meja yang berseberangan dengannya. Tak ada pembicaraan Diantara mereka.Hanya bunyi sendok dan piring saling bersahutan.

Tapi tiba-tiba, pria itu berkata lirih, “Malam tadi… kamu tidak bisa tidur?”

Raina terkejut. Ia menunduk, lalu menjawab, “hanya... Sedikit gelisah saja.”

Elvano menatapnya, dalam dan penuh tanda tanya. Tapi ia tidak mendesak.

“Aku akan pergi ke kantor lebih pagi. Ada dokumen yang harus aku cek.”

Raina mengangguk. Tapi sebelum pria itu benar-benar pergi, ia memberanikan diri bertanya, “Elvano… kamu yakin tidak ada orang lain yang tahu aku tinggal di sini?”

Langkah Elvano terhenti. “Kenapa bertanya begitu?”

“Tidak. Hanya… mimpi buruk,” bohong Raina cepat-cepat. Ia belum siap membagi kebenaran yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami sendiri.

Elvano menatapnya sebentar sebelum akhirnya melanjutkan langkah.

Raina memegang dadanya sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang berlari terlalu cepat. Ia tahu... mulai sekarang, hidupnya tak akan tenang. Telepon semalam bukan hanya kebetulan.

Sepulang dari kantor sore itu, Raina memutuskan untuk menyelidiki ponsel misterius itu lebih jauh. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat, menarik ponsel itu, dan menyalakannya lagi.

Ada beberapa pesan lama yang masih tersimpan. Semuanya dari kontak bernama MOM.

Pesan pertama:

“Jangan pernah bilang siapa dirimu pada siapapun. Mereka sedang mencarimu.”

Pesan kedua:

“Kalau kamu masih selamat, carilah rumah di lembah Juwana. Di sana ada orang yang bisa membantu.”

Pesan ketiga, terkirim dua minggu lalu:

“Kau adikku… dan mereka tidak boleh tahu.”

Raina membeku. Jari-jarinya mulai gemetar.

Adikku…?

Kata-kata itu menggema keras di kepalanya. Ini lebih dari sekadar kehilangan ingatan. Ini adalah sesuatu yang lebih rumit… lebih gelap.

Raina duduk terpaku. Pikirannya berputar liar. Jika ia adalah adik dari seseorang… siapa dia sebenarnya?

Dan kenapa begitu banyak orang yang ingin menangkapnya. Namun ia tetap tidak tahu. Ia lupa segalanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gadis Tanpa Ingatan   21. psikiater

    Langkah Raina terhenti. Dadanya berdegup keras, bukan hanya karena kata-kata yang baru saja terucap, melainkan karena suara itu… suaranya sendiri. Namun sedikit lebih berat, lebih getir, seperti suara yang telah terbiasa menyimpan luka.Ia mundur satu langkah dari cermin, berharap pantulan di depannya mengikuti. Tapi tidak.Bayangan itu… tersenyum. Sebuah senyum kecil yang anehnya tidak menyapa, tapi justru menyindir.“Siapa kamu…” bisik Raina, nyaris tak terdengar.Seketika pintu kamar terbuka. Elvano berdiri di ambang pintu dengan ekspresi dingin khasnya, tatapan tajamnya menyapu ruangan.“Ada apa?” tanyanya singkat.Raina menoleh, dan begitu ia kembali memandang cermin, bayangan tadi sudah menghilang. Hanya dirinya yang tercermin, wajah pucat dan mata membulat penuh kebingungan.“Tidak… tidak ada. Mungkin aku hanya lelah,” katanya, mencoba tersenyum. Namun sudut bibirnya hanya bergerak tipis, tidak meyakinkan.Elvano menatapnya dalam, lama sekali, sebelum akhirnya melangkah masuk.

  • Gadis Tanpa Ingatan   20. Suara Kaset Rahasia

    Raina masih mematung di depan cermin tua itu. Matanya tak berkedip, menatap bayangan yang tampak tak biasa. Cermin itu seperti menampung lebih dari sekadar pantulan; ada sesuatu yang hidup di dalamnya, sesuatu yang mengintip balik ke arahnya. Rambut di tengkuknya berdiri, dan meski Elvano ada di dekatnya, rasa dingin yang menyelusup ke tulang membuatnya merasa benar-benar sendiri.“Elvano…” bisiknya, lirih. “Apa kau lihat itu juga?”Elvano menyipitkan mata, menatap cermin di sudut kamar yang kini tampak lebih gelap daripada bagian lain ruangan.“Lihat apa?” tanyanya, mendekat ke sisi Raina.Bayangan itu lenyap secepat ia muncul. Hanya pantulan Raina dan Elvano yang kini tersisa.“Barusan ada…” Raina menggelengkan kepala, mencoba menenangkan detak jantungnya. “Mungkin hanya pantulan cahaya. Atau... pikiranku sendiri.”Tapi ia tahu itu bukan sekadar halusinasi. Ada sesuatu yang berubah. Sesuatu dalam dirinya perlahan dibuka, seolah setiap rahasia yang terkunci selama ini mulai menyeruak

  • Gadis Tanpa Ingatan   19. Menemukan Kaset Tua

    Siang itu, rumah Elvano kembali menjadi saksi bisu dari jejak masa lalu yang mulai terkuak. Di ruang tamu, Raina duduk bersama Elvano,Suster Amelda, dan seorang perwira polisi berpakaian sipil bernama Pak Yuda yang datang untuk memintai keterangan lanjutan.Sore harinya, Raina berdiri di halaman belakang rumah Elvano. Tempat yang dulu terasa asing dan membingungkan kini seperti membuka ruang baru dalam benaknya. Angin meniup lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan.Ia meraih liontin di lehernya, lalu membukanya. Di dalamnya, foto kecil yang mulai pudar: seorang wanita muda menggendong bayi, wajahnya samar namun tatapannya begitu penuh cinta.“Siapa kau sebenarnya?” bisik Raina, suaranya nyaris tak terdengar.Tiba tiba Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Memecah keheningan. Elvano. Dari mana saja kamu? Dari tadi aku baru melihat mu? Tanya Raina.“Aku habis mencari sesuatu di ruang bawah,” katanya perlahan. Sambil mendudukn bokongnya di kursih. “Dan... aku nemu ini.” Ia menyod

  • Gadis Tanpa Ingatan   18. Suster Amelda Muncul

    Dengan napas tercekat dan jantung berdebar tak karuan, Raina mundur beberapa langkah, menahan tubuhnya agar tidak goyah. Elvano langsung berdiri di depannya, tubuhnya tegap, seolah siap melindungi Raina dari dua sosok yang perlahan keluar dari balik kegelapan pepohonan.Rudy melangkah dengan pasti, namun aura yang menyelimutinya terasa asing. bukan pria tenang yang dulu membantu Raina menyusun potongan masa lalunya. Tatapannya kosong, matanya merah seperti tak mengenal tidur, dan tangannya menggenggam sesuatu: sebuah topeng kayu tua berukir lambang keluarga Gunawan, simbol kekuasaan yang telah menghancurkan banyak hidup, termasuk milik Raina.Di sebelahnya, Nadine berdiri tegak dalam balutan jaket hitam panjang. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi bukan senyum hangat—melainkan senyum yang menyimpan rencana dan luka. Ia tampak tenang, namun matanya menyala, seolah bisa meledak kapan saja.“Aku tidak akan ikut dengan kalian,” kata Raina pelan, namun nadanya tegas. “Aku bukan Amara. Da

  • Gadis Tanpa Ingatan   17. lorong gelap

    Langkah kaki mereka memburu dalam gelap. Suara derak kayu tua dan desir angin yang merayap dari sela-sela lantai membuat segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Suster Amelda membuka pintu tua yang tersembunyi di balik lemari tua yang digeser paksa. Deritnya mengiris sunyi, seperti jerit seseorang yang terkunci terlalu lama.Tangga kayu curam menurun ke dalam perut bangunan. Bau apek dan debu berusia puluhan tahun menyerbu begitu pintu terbuka. Tapi mereka tak punya pilihan. Di atas, suara-suara itu semakin dekat—suara anak-anak... yang tak seharusnya tertawa di tengah malam, dan langkah berat yang entah milik siapa.Elvano menggenggam tangan Raina erat. “Turun. Sekarang.”Raina memandang sekilas ke lorong tempat Amara—atau bayangan yang menyerupainya—muncul. Tapi lorong itu kini kosong. Gelap. Tak terlihat siapa pun. Hanya rasa dingin menusuk dari ujung sana, seolah menatap mereka diam-diam.Dengan napas tercekat, mereka turun sat

  • Gadis Tanpa Ingatan   16. Panti Asuhan Berkat Ibu

    Hening menyelimuti perjalanan mereka. Meski mesin mobil menderu pelan dan lampu jalan berkelap-kelip dalam kabut dini hari, tidak satu pun dari mereka bersuara. Raina menggenggam liontin itu erat, seolah berharap dari benda kecil itu akan muncul jawaban yang selama ini terkubur dalam bayang-bayang masa lalu.“Panti Asuhan Berkat Ibu,” gumam Elvano akhirnya, memecah keheningan. “Dulu tempat ini sempat ditutup karena ada kasus kehilangan anak, bukan?”Raina mengangguk tanpa menoleh. “Lalu dibuka lagi diam-diam beberapa tahun kemudian. Tapi tidak banyak anak yang ditampung. Hanya... kasus-kasus khusus, begitu katanya.”Mereka berbelok ke jalan sempit yang menurun, diapit oleh pepohonan besar yang akar-akarnya menjalar hingga ke jalan. Kabut makin tebal. Aroma tanah lembap dan dedaunan membusuk menyusup ke sela-sela kaca mobil yang sedikit terbuka.Panti itu muncul perlahan di balik rerimbunan: sebuah bangunan tua berwarna kelabu dengan salib besi ber

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status