หน้าหลัก / Romansa / Gadis Tanpa Ingatan / 7. ciuman yang tak disengaja

แชร์

7. ciuman yang tak disengaja

ผู้เขียน: Alvarezmom
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-04 10:59:08

Hujan turun deras malam itu, menyapu jendela rumah besar Elvano dengan irama yang ritmis dan menyayat. Di balik tirai tipis, Raina berdiri diam memandangi langit yang kelabu. memantulkan kegelisahan yang sejak sore tadi terus menghantui pikirannya.

Sejak menerima telepon misterius yang menyebut nama "Amara", pikirannya kacau. Nama itu terdengar begitu akrab, namun saat ia coba menggalinya, hanya kehampaan yang menjawab. Ia merasa seperti seseorang yang berjalan di lorong gelap tanpa tahu ke mana arah pulang.

Langkah kaki berat terdengar mendekat ke arahnya. Raina menoleh.. terlihat

Elvano sedang berjalan mendekat.

“Apa Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya datar, tapi ada nada lembut yang berusaha ia sembunyikan.

Raina menatap pria itu yang berdiri tak jauh dari nya. “Apakah menurutmu aku… orang jahat?” tanyanya tiba-tiba.

Elvano mengerutkan kening. “Kenapa kau berpikir begitu?”

“Aku tidak tahu siapa diriku. Tapi… kenapa ada seseorang yang menyebutku dengan nama lain? Kenapa aku merasa seperti menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya?”

Elvano menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. Hujan masih turun deras di luar, menciptakan suasana yang sunyi namun juga mencekam.

“Kau bukan orang jahat, Raina,” katanya pelan. “Kau hanya belum mengenal dirimu sendiri.”

Raina memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mendesak ingin keluar. “Tapi bagaimana jika saat aku mengenal diriku, aku tidak suka dengan siapa aku sebenarnya?”

Elvano menoleh padanya. Pandangan mereka bertemu—mata Raina yang penuh kebingungan dan luka, mata Elvano yang menyimpan trauma yang tak pernah benar-benar sembuh. Dan dalam satu detik keheningan, waktu seolah berhenti.

Dia tidak tahu siapa yang lebih dulu bergerak, siapa yang lebih dulu membiarkan jarak di antara mereka lenyap. Yang Raina tahu, detik berikutnya, bibir mereka saling bersentuhan.

Itu bukan ciuman yang dalam atau bergairah. Tidak. Itu adalah ciuman yang ragu, yang dilahirkan dari keinginan untuk memahami satu sama lain, untuk menenangkan ketakutan yang menggerogoti dalam diam.

Tapi begitu kesadaran kembali, Elvano segera menarik diri. Wajahnya kaku, sorot matanya berubah menjadi dingin dalam sekejap.

“Aku… tidak seharusnya melakukan itu,” katanya kaku.

Raina menatapnya, bingung. “Elvano…”

“Lupakan saja,” potong Elvano cepat. “Itu hanya… kebodohan sesaat.”

Kata-katanya menusuk seperti belati. Raina membeku di tempatnya, perasaan hangat yang sempat ia rasakan seketika menguap. Wajah Elvano kembali datar, seperti malam-malam sebelumnya, seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Raina sendirian dengan detak jantungnya yang masih belum tenang.

Ke esokan harinya, pagi itu suasana rumah terasa lebih dingin daripada biasanya. Raina berjalan ke dapur, berharap bisa menemukan Elvano dan setidaknya membicarakan apa yang terjadi. Tapi hanya ada Tristan yang sedang menuangkan kopi ke dalam cangkir.

“Pagi, Raina!” sapanya ceria seperti biasa.

“Pagi,” jawab Raina dengan senyum kecil.

“Kak Elvano sudah berangkat ke kantor tadi pagi. Katanya ada rapat mendadak.”

Raina hanya mengangguk. Ada rasa perih yang muncul tanpa bisa ia kendalikan.

“Eh, kamu nggak apa-apa?” tanya Tristan tiba-tiba, melihat wajahnya yang muram.

“Cuma kurang tidur,” bohong Raina cepat.

Tristan tidak menekan lebih lanjut, meskipun jelas-jelas ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Gadis di hadapannya ini. Tapi berbeda dengan Elvano, Tristan tahu kapan harus bertanya, dan kapan harus diam.

Raina pun bergegas menuju kantor dengan menggunakan taxi online...

suasana kantor juga terasa canggung. Elvano tak sekalipun menatap Raina, bahkan saat mereka harus bertemu di ruang rapat kecil untuk membahas proyek desain yang tengah berjalan. Sikapnya profesional, tapi juga sangat berjarak.

Dan itu membuat hati Raina teriris sedikit demi sedikit.

Ia tidak menyesal atas ciuman semalam. Tidak. Tapi ia juga tidak tahu bagaimana menghadapi penyangkalan Elvano yang seolah membuang semua perasaan begitu saja.

Ketika waktu makan siang tiba, Raina memutuskan keluar sendirian. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil tidak jauh dari kantor, menatap kosong ke arah jalan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan.

"Apa aku hanya sebuah kesalahan untuknya?" gumamnya lirih.

Ia menyesap kopinya perlahan, lalu mengambil ponsel yang ia temukan malam itu. Ia membuka galeri tempat ia menyimpan foto-foto selama tinggal di rumah Elvano—sebagian besar gambar interior, buku, dan kadang wajah Tristan yang muncul secara tidak sengaja.

Tapi entah bagaimana, hatinya terasa kosong.

Ia butuh tahu. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia butuh tahu siapa dirinya, dan lebih dari itu, ia ingin tahu kenapa Elvano mencium dirinya semalam—dan kenapa ia sendiri tidak bisa menghapus rasa itu dari dadanya.

Hari begitu cepat berjalan. Sore hari Raina melangkah keluar dari kantor untuk pergi menuju rumah mewah milik Elvano. Setibanya di rumah Rania hanya mengurung diri di kamar. Mencoba menenangkan hatinya.

Malamnya, Elvano kembali lebih awal dari kantor, sesuatu yang jarang ia lakukan. Raina mendapati dirinya berdiri di depan pintu kamar pria itu, ragu untuk mengetuk.

Tapi akhirnya, ia memberanikan diri.

Tok tok.

“Masuk,” suara itu terdengar dari dalam.

Raina mendorong pintu perlahan. Elvano sedang duduk di sofa, laptop terbuka di meja kopi, namun ia tidak sedang bekerja. Tatapannya kosong, dan baru menoleh ketika Raina melangkah masuk.

“Aku hanya ingin bicara,” kata Raina pelan.

Elvano mengangguk. “Duduklah.”

Raina duduk, menjaga jarak. Untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara. Hanya suara detik jam di dinding yang mengisi ruang.

“Aku tidak menyesal atas yang terjadi semalam,” Raina akhirnya berkata. “Tapi aku ingin tahu… apakah kau benar-benar menganggap itu sebagai kesalahan?”

Elvano memejamkan mata sejenak. “Raina… aku tidak bisa. Aku tidak seharusnya.”

“Kenapa?” desak Raina. “Karena aku bukan siapa-siapa? Karena aku hanya gadis yang kau temukan di jalan?”

“Bukan begitu,” jawab Elvano cepat. “Karena aku takut. Karena setiap kali aku membiarkan........ aku merasa ada seseorang yang selalu terluka.”

Raina menatap pria itu lekat-lekat. “Tapi bukan berarti kau harus menyakiti orang lain duluan, kan?”

Keheningan kembali melingkupi ruangan. Elvano menunduk, tangannya mengepal.

“Aku kehilangan seseorang karena aku terlalu lambat mengungkapkan perasaan,” katanya lirih. “Aku tidak ingin mengulanginya. Tapi aku juga takut kalau aku terlalu cepat… semua akan hancur lagi.”

Raina berdiri. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Elvano.

“Aku juga takut,” katanya. “Tapi kalau kita terus menyangkal, yang kita dapat hanyalah luka baru.”

Dan tanpa menunggu jawaban, ia membungkuk sedikit, menyentuh tangan Elvano—bukan untuk memaksanya, tapi untuk menegaskan bahwa ia ada di sana. Bahwa meski masa lalu mereka kelam, dan masa depan belum pasti, setidaknya malam ini… mereka tidak harus berpura-pura lagi.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Gadis Tanpa Ingatan   37. Kembali Ke Rumah

    Pintu besar rumah keluarga Gunawan berdiri megah di hadapan Amara. Meski telah direnovasi berkali-kali, aura bangunan itu tetap sama—dingin, berwibawa, seperti menatap siapa pun yang berdiri di depannya dengan tatapan menghakimi.Amara menarik napas panjang. Tangannya yang menggenggam jemari Elvano sedikit bergetar. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan menenangkan, seolah berkata tanpa kata: Aku di sini.Seorang pelayan membuka pintu. “Silakan masuk, Nona...” Suaranya ragu, seperti tak yakin harus memanggil Amara dengan nama apa. Tapi begitu mata pelayan itu menangkap wajahnya, ia langsung terdiam. Lalu, perlahan, pelayan itu menunduk hormat, mata berkaca-kaca.“Selamat datang kembali... Nona Amara.”Kata-kata itu menusuk hatinya. Bukan karena menyakitkan, tetapi karena asing. Ia belum terbiasa dengan nama itu, meskipun setiap hurufnya terasa seperti bagian dari dirinya yang hilang.Di ruang utama, pria paruh baya dengan rambut memutih berdiri tegak. Matanya tajam, tapi ketika bertemu

  • Gadis Tanpa Ingatan   36. Janji Elvano

    Amara duduk di dekat jendela tua yang menganga, membiarkan angin pagi menerpa wajahnya. Rambutnya berantakan oleh semilir udara, tapi ia tak peduli. Pandangannya kosong, menatap jauh ke kebun liar di belakang rumah tua itu. Setiap helai rumput yang tumbuh, setiap dahan pohon yang melengkung liar—semuanya seperti menyimpan suara-suara masa lalu yang belum selesai.Di belakangnya, Elvano sedang menyalakan air untuk membuat teh. Gerak-geriknya sederhana, hati-hati, seperti takut mengganggu suasana batin Amara yang masih muram.Rumah tua itu—yang mereka temukan semalam—rasanya terlalu penuh untuk sekadar disebut tempat. Ia seperti ruang yang menyimpan potongan hidup, potongan rasa, yang selama ini tak pernah benar-benar hilang. Hanya mengendap di sana. Menunggu ditemukan kembali.“Elvano...” Suara Amara pelan, nyaris tenggelam dalam desir angin.Lelaki itu menoleh. “Ya?”“Kau tahu... waktu pertama kali kau menemukan aku di jalanan dulu, apa yang paling membuatmu yakin bahwa aku butuh dise

  • Gadis Tanpa Ingatan   35. Sentuhan bibir

    Langkah mereka keluar dari lorong itu terasa seperti keluar dari perut waktu. Dunia di luar masih gelap, tapi bukan kegelapan yang menakutkan—melainkan kegelapan menjelang pagi. Kegelapan yang menggigil, yang diam-diam menyisakan harapan akan datangnya cahaya.Amara menarik napas dalam-dalam. Udara gunung yang dingin menusuk paru-paru, tapi juga menyegarkan. Ia menatap langit yang masih pekat, dengan jejak bintang yang mulai memudar. Di sebelahnya, Elvano berdiri diam. Wajahnya diterpa cahaya pucat dari fajar yang mulai merangkak pelan-pelan di balik bayangan pohon-pohon tinggi.Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiri di sana. Tidak ada yang bicara.Kadang, kesunyian bukan tentang tidak adanya suara, melainkan tentang adanya rasa yang tak perlu diucapkan.“Elvano,” suara Amara akhirnya memecah hening.Lelaki itu menoleh perlahan. “Hm?”“Kau pernah kembali ke masa lalu?”Pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ringan.Elvano menghela napas, menggosok kedua tangannya karena udara dingin.

  • Gadis Tanpa Ingatan   34. Dunia Penuh Penghianatan

    Udara di dalam lorong itu lembap dan pengap. Bau tanah tua dan kayu lapuk memenuhi hidung, seperti aroma masa lalu yang terkurung terlalu lama dalam diam. Langkah kaki Amara dan Elvano menyusuri gelap dengan hati-hati, hanya ditemani cahaya kecil dari kristal biru yang tergantung di dada liontin Amara. Cahaya itu tidak terang, tapi cukup untuk memberi mereka arah. Cukup untuk memberi harapan.Dinding-dinding sempit lorong itu berbicara dalam bisikan sunyi—retakan kecil di batu, akar pohon yang menembus masuk, dan gelegar gemuruh yang kadang terdengar dari atas kepala mereka, entah ledakan atau hanya bayang-bayang ketakutan yang terus membuntuti.Langkah mereka berdua pelan, nyaris tanpa suara. Tapi di dalam kepala Amara, suara justru semakin ramai. Bukan hanya suara-suara asing yang sejak beberapa hari ini mulai muncul, namun juga suara dirinya sendiri. Yang takut. Yang ragu. Yang ingin berhenti.Ia mencoba mengatur napas, menyelaraskan detak jantung dengan langkah kakinya.Satu... du

  • Gadis Tanpa Ingatan   33. Ledakan Di Atas Lorong

    Setelah Salim menunjukkan mereka kamar kecil di belakang pondok untuk beristirahat, Amara duduk memandangi jendela yang retaknya membingkai langit. Di balik kaca itu, langit memerah seperti darah tua, dan suara burung malam terdengar seperti erangan hampa. Pikirannya penuh. Tentang Nadine. Tentang liontin. Tentang suara-suara yang semakin sering berbisik di kepalanya—suara-suara yang bukan miliknya sendiri. Elvano datang diam-diam, membawa dua selimut tipis dan secangkir air hangat. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding di seberangnya, menatap Amara dalam hening. “Tak bisa tidur?” tanyanya akhirnya, lirih. Amara menggeleng. “Terlalu banyak yang bergerak di dalam pikiranku.” “Mau bicara?” Elvano menawarkan, lembut. Ia tak menjawab seketika. Tapi pandangannya tak lepas dari liontin di dadanya yang kini tampak semakin hidup. Seolah benda itu punya nadi sendiri, menyatu dengan tubuhnya. “Sejak turun dari Cermin Darah… rasanya aku bukan diriku lagi,” bisik Amara. “Dan yang pal

  • Gadis Tanpa Ingatan   32. Bukan Pengintai Biasa

    Malam itu, hutan Larangan tidak hanya sunyi. Ia seperti menanti sesuatu.Tak ada desir daun, tak ada lolongan binatang malam, bahkan cahaya bintang terasa enggan menembus celah ranting. Langkah-langkah Amara, Elvano, dan Ezra yang mulai terhuyung perlahan menapaki kembali tangga menuju permukaan tanah. Cahaya dari Cermin Darah masih berpendar lembut di belakang mereka, tapi tak ada yang berani menengok lagi.Sejak janji diucapkan, Amara tahu: dunia telah berubah."Bagaimana perasaanmu?" suara Elvano pelan, nyaris seperti bisikan.Amara tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya, seolah mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tangannya masih sedikit bergetar, tapi bukan karena takut. Bukan pula karena dingin. Tapi karena kenyataan bahwa sesuatu di dalam dirinya... telah bangkit."Ada yang berbeda di tubuhku," ujarnya akhirnya, masih lirih. "Seperti... aku membawa sesuatu yang bukan hanya milikku. Seperti banyak suara, banyak kenangan... hidup di dalamku sekarang."E

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status