LOGINHujan turun deras malam itu, menyapu jendela rumah besar Elvano dengan irama yang ritmis dan menyayat. Di balik tirai tipis, Raina berdiri diam memandangi langit yang kelabu. memantulkan kegelisahan yang sejak sore tadi terus menghantui pikirannya.
Sejak menerima telepon misterius yang menyebut nama "Amara", pikirannya kacau. Nama itu terdengar begitu akrab, namun saat ia coba menggalinya, hanya kehampaan yang menjawab. Ia merasa seperti seseorang yang berjalan di lorong gelap tanpa tahu ke mana arah pulang. Langkah kaki berat terdengar mendekat ke arahnya. Raina menoleh.. terlihat Elvano sedang berjalan mendekat. “Apa Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya datar, tapi ada nada lembut yang berusaha ia sembunyikan. Raina menatap pria itu yang berdiri tak jauh dari nya. “Apakah menurutmu aku… orang jahat?” tanyanya tiba-tiba. Elvano mengerutkan kening. “Kenapa kau berpikir begitu?” “Aku tidak tahu siapa diriku. Tapi… kenapa ada seseorang yang menyebutku dengan nama lain? Kenapa aku merasa seperti menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya?” Elvano menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. Hujan masih turun deras di luar, menciptakan suasana yang sunyi namun juga mencekam. “Kau bukan orang jahat, Raina,” katanya pelan. “Kau hanya belum mengenal dirimu sendiri.” Raina memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mendesak ingin keluar. “Tapi bagaimana jika saat aku mengenal diriku, aku tidak suka dengan siapa aku sebenarnya?” Elvano menoleh padanya. Pandangan mereka bertemu—mata Raina yang penuh kebingungan dan luka, mata Elvano yang menyimpan trauma yang tak pernah benar-benar sembuh. Dan dalam satu detik keheningan, waktu seolah berhenti. Dia tidak tahu siapa yang lebih dulu bergerak, siapa yang lebih dulu membiarkan jarak di antara mereka lenyap. Yang Raina tahu, detik berikutnya, bibir mereka saling bersentuhan. Itu bukan ciuman yang dalam atau bergairah. Tidak. Itu adalah ciuman yang ragu, yang dilahirkan dari keinginan untuk memahami satu sama lain, untuk menenangkan ketakutan yang menggerogoti dalam diam. Tapi begitu kesadaran kembali, Elvano segera menarik diri. Wajahnya kaku, sorot matanya berubah menjadi dingin dalam sekejap. “Aku… tidak seharusnya melakukan itu,” katanya kaku. Raina menatapnya, bingung. “Elvano…” “Lupakan saja,” potong Elvano cepat. “Itu hanya… kebodohan sesaat.” Kata-katanya menusuk seperti belati. Raina membeku di tempatnya, perasaan hangat yang sempat ia rasakan seketika menguap. Wajah Elvano kembali datar, seperti malam-malam sebelumnya, seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Raina sendirian dengan detak jantungnya yang masih belum tenang. Ke esokan harinya, pagi itu suasana rumah terasa lebih dingin daripada biasanya. Raina berjalan ke dapur, berharap bisa menemukan Elvano dan setidaknya membicarakan apa yang terjadi. Tapi hanya ada Tristan yang sedang menuangkan kopi ke dalam cangkir. “Pagi, Raina!” sapanya ceria seperti biasa. “Pagi,” jawab Raina dengan senyum kecil. “Kak Elvano sudah berangkat ke kantor tadi pagi. Katanya ada rapat mendadak.” Raina hanya mengangguk. Ada rasa perih yang muncul tanpa bisa ia kendalikan. “Eh, kamu nggak apa-apa?” tanya Tristan tiba-tiba, melihat wajahnya yang muram. “Cuma kurang tidur,” bohong Raina cepat. Tristan tidak menekan lebih lanjut, meskipun jelas-jelas ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Gadis di hadapannya ini. Tapi berbeda dengan Elvano, Tristan tahu kapan harus bertanya, dan kapan harus diam. Raina pun bergegas menuju kantor dengan menggunakan taxi online... suasana kantor juga terasa canggung. Elvano tak sekalipun menatap Raina, bahkan saat mereka harus bertemu di ruang rapat kecil untuk membahas proyek desain yang tengah berjalan. Sikapnya profesional, tapi juga sangat berjarak. Dan itu membuat hati Raina teriris sedikit demi sedikit. Ia tidak menyesal atas ciuman semalam. Tidak. Tapi ia juga tidak tahu bagaimana menghadapi penyangkalan Elvano yang seolah membuang semua perasaan begitu saja. Ketika waktu makan siang tiba, Raina memutuskan keluar sendirian. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil tidak jauh dari kantor, menatap kosong ke arah jalan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. "Apa aku hanya sebuah kesalahan untuknya?" gumamnya lirih. Ia menyesap kopinya perlahan, lalu mengambil ponsel yang ia temukan malam itu. Ia membuka galeri tempat ia menyimpan foto-foto selama tinggal di rumah Elvano—sebagian besar gambar interior, buku, dan kadang wajah Tristan yang muncul secara tidak sengaja. Tapi entah bagaimana, hatinya terasa kosong. Ia butuh tahu. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia butuh tahu siapa dirinya, dan lebih dari itu, ia ingin tahu kenapa Elvano mencium dirinya semalam—dan kenapa ia sendiri tidak bisa menghapus rasa itu dari dadanya. Hari begitu cepat berjalan. Sore hari Raina melangkah keluar dari kantor untuk pergi menuju rumah mewah milik Elvano. Setibanya di rumah Rania hanya mengurung diri di kamar. Mencoba menenangkan hatinya. Malamnya, Elvano kembali lebih awal dari kantor, sesuatu yang jarang ia lakukan. Raina mendapati dirinya berdiri di depan pintu kamar pria itu, ragu untuk mengetuk. Tapi akhirnya, ia memberanikan diri. Tok tok. “Masuk,” suara itu terdengar dari dalam. Raina mendorong pintu perlahan. Elvano sedang duduk di sofa, laptop terbuka di meja kopi, namun ia tidak sedang bekerja. Tatapannya kosong, dan baru menoleh ketika Raina melangkah masuk. “Aku hanya ingin bicara,” kata Raina pelan. Elvano mengangguk. “Duduklah.” Raina duduk, menjaga jarak. Untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara. Hanya suara detik jam di dinding yang mengisi ruang. “Aku tidak menyesal atas yang terjadi semalam,” Raina akhirnya berkata. “Tapi aku ingin tahu… apakah kau benar-benar menganggap itu sebagai kesalahan?” Elvano memejamkan mata sejenak. “Raina… aku tidak bisa. Aku tidak seharusnya.” “Kenapa?” desak Raina. “Karena aku bukan siapa-siapa? Karena aku hanya gadis yang kau temukan di jalan?” “Bukan begitu,” jawab Elvano cepat. “Karena aku takut. Karena setiap kali aku membiarkan........ aku merasa ada seseorang yang selalu terluka.” Raina menatap pria itu lekat-lekat. “Tapi bukan berarti kau harus menyakiti orang lain duluan, kan?” Keheningan kembali melingkupi ruangan. Elvano menunduk, tangannya mengepal. “Aku kehilangan seseorang karena aku terlalu lambat mengungkapkan perasaan,” katanya lirih. “Aku tidak ingin mengulanginya. Tapi aku juga takut kalau aku terlalu cepat… semua akan hancur lagi.” Raina berdiri. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Elvano. “Aku juga takut,” katanya. “Tapi kalau kita terus menyangkal, yang kita dapat hanyalah luka baru.” Dan tanpa menunggu jawaban, ia membungkuk sedikit, menyentuh tangan Elvano—bukan untuk memaksanya, tapi untuk menegaskan bahwa ia ada di sana. Bahwa meski masa lalu mereka kelam, dan masa depan belum pasti, setidaknya malam ini… mereka tidak harus berpura-pura lagi.Mobil yang dikendarai Elvano melaju kencang menembus malam yang basah. Wiper bekerja keras menghapus air hujan di kaca depan, sementara kilatan petir sesekali menyambar langit, menerangi wajah Raina yang menatap keluar jendela dengan mata nanar. Kotak musik itu masih berada di pangkuannya, digenggam seolah nyawanya sendiri bergantung padanya.“Elvano… kalau sesuatu terjadi padaku,” katanya pelan di sela suara hujan, “pastikan bukti ini sampai ke dewan. Pastikan semua orang tahu kebenarannya.”Elvano menoleh sekilas, rahangnya mengeras. “Jangan bicara seolah kau menyerah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu.”Mobil berbelok tajam ke jalan kecil di sisi kota, menuju rumah aman milik Elvano—sebuah vila tua yang jarang dipakai, tersembunyi di antara pepohonan pinus. Tempat itu dingin, namun jauh dari jangkauan mata dan telinga orang-orang Nadine.Begitu mereka tiba, Elvano segera menutup gerbang dan mengaktifkan sistem keamanan. Raina turun dari mobil dengan langkah gemetar. P
Langit malam meneteskan hujan tipis ketika Raina dan Elvano melangkah cepat menuju rumah sakit. Jalanan lengang, hanya suara langkah mereka yang terdengar beriringan dengan ritme hujan. Bayangan lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan pantulan samar dua sosok yang berjalan tanpa henti—menyelinap dalam gelap, dengan satu tujuan: kebenaran.Raina memeluk jaket tipisnya erat-erat. Udara malam begitu dingin, namun yang membuatnya menggigil bukanlah cuaca, melainkan ketegangan yang mencengkeram dadanya. Ia masih memegang kotak musik itu, benda kecil yang kini terasa lebih berharga dari apa pun. Di dalamnya tersimpan pesan terakhir sang ibu, petunjuk menuju rahasia besar yang hampir ditelan waktu.Elvano berjalan sedikit di depan, matanya awas mengamati setiap sisi jalan. Ia tahu mereka tidak hanya menghadapi kebohongan, tetapi juga orang-orang yang tak segan melakukan apa pun untuk menutupinya.“Pintu utama dijaga,” ucap Elvano pelan sambil memandangi bangunan rumah sakit yang ta
Hujan turun perlahan di luar rumah sakit sore itu. Butiran air membasahi kaca jendela, memantulkan cahaya lampu yang berpendar lembut di koridor. Raina duduk di ruang tunggu, tangan gemetar di pangkuan, sementara matanya terpaku pada pintu laboratorium yang tertutup rapat. Di dalam sanalah nasibnya sedang ditentukan.Waktu berjalan seolah lambat. Setiap detik terdengar seperti detakan jantung yang menegangkan. Elvano berdiri tak jauh darinya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, namun sorot matanya terus mengamati setiap pergerakan di sekitar. Ia bukan hanya menunggu hasil—ia berjaga, seperti seekor serigala yang tahu bahaya sedang mengintai.Raina menatapnya sesekali. Ada sesuatu pada sosok Elvano yang selalu menenangkannya, meski kata-kata lelaki itu sedikit dan sikapnya kaku. Tapi kali ini, bahkan Elvano pun terlihat gelisah.“Berapa lama lagi, ya?” Raina berbisik pelan.Elvano menatap jam tangannya. “Mereka bilang satu jam. Tapi sudah hampir dua.”Suasana di ruang tunggu kian m
Pagi itu, rumah besar Wijaya Gunawan dibangunkan bukan oleh suara burung, melainkan ketukan keras di pintu-pintu kayu yang menggema. Para pelayan berlarian, pengawal bergantian berpatroli di koridor, dan udara dipenuhi bisikan cemas. Uji DNA dijadwalkan siang ini—dan semua orang tahu, hasilnya bisa mengubah sejarah keluarga.Raina berdiri di balkon kamarnya, tubuhnya diselimuti selendang tipis. Dari ketinggian itu, ia melihat halaman rumah besar sudah dijaga ketat. Beberapa mobil hitam berjejer di depan, dengan orang-orang bersetelan rapi keluar-masuk. Semua terasa seperti sebuah panggung besar yang menunggu tirai dibuka.Namun di balik itu, hatinya gelisah. Ia masih mengingat bayangan hitam semalam, suara ranting patah, dan tatapan Elvano yang penuh kewaspadaan. Nadine jelas semakin berbahaya.Pintu kamar diketuk pelan. Elvano masuk dengan ekspresi dingin yang selalu sama, meski sorot matanya lebih tajam dari biasanya. “Aku sudah mengatur segalanya. Dua mobil akan membawa kita ke rum
Lorong rumah besar Wijaya Gunawan masih dipenuhi langkah kaki para tamu yang baru saja keluar dari ruang sidang. Udara tegang belum sepenuhnya reda, seolah bayangan pertengkaran tadi masih menempel di setiap dinding. Di balik itu semua, Nadine berjalan cepat, tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, meninggalkan jejak suara yang tajam.Wajahnya pucat, bibirnya menggigit keras hingga hampir berdarah. Ia tidak menyangka Elvano akan menantang dirinya dengan uji DNA. Itu bukan rencana yang pernah ia persiapkan. Ia tahu, jika sampai tes itu dilakukan, semua kebohongan akan runtuh seperti pasir diterpa badai.Ia masuk ke ruang pribadinya, membanting pintu hingga bergetar. Tangannya gemetar ketika ia menyalakan lampu meja, lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun merah menyala yang tadi membuatnya percaya diri kini justru tampak seperti noda darah yang menempel di tubuhnya.“Tidak… ini tidak boleh terjadi,” gumamnya. “Aku sudah sejauh ini. Aku tidak akan kalah hanya karena satu tes
Pagi itu, udara di rumah besar Wijaya Gunawan terasa tebal dan berat, seolah setiap dinding menyerap kecemasan yang memenuhi isi rumah. Para pelayan bergegas, suara langkah kaki dan bisikan memenuhi lorong-lorong panjang. Hari ini, dewan keluarga akan berkumpul untuk menentukan satu hal penting: siapa pewaris sah yang akan diakui—Amara atau Nadine.Raina duduk di ruang ganti, jantungnya berdebar keras. Rambutnya ditata sederhana, gaun berwarna putih lembut membalut tubuhnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin: wajah yang dulu ia kenal sebagai Raina, tapi kini harus ia yakini sepenuhnya sebagai Amara. Di pangkuannya, kotak musik perak peninggalan Kirana ia genggam erat.Ketukan pintu terdengar. Elvano masuk dengan setelan jas hitam rapi, aura dingin namun berwibawa memancar kuat. Ia menatap Raina lama, lalu berkata pelan, “Kau siap?”Raina menelan ludah. “Aku harus siap, kan?”Elvano mendekat, mengambil tangannya dan menekannya lembut. “Kau tidak sendiri. Ingat itu.”Sentuhan itu me







