Happy Reading*****Bagas tengah duduk memeriksa semua berkas yang dibawa Ratna masuk saat ponselnya berdering cukup nyaring. Sejak tadi, benda pipih itu terus berbunyi dengan berbagai notifikasi dan dering yang berbeda. Lelaki berbulu mata lentik itu melirik sebentar benda pipih yang ada di sampingnya. Terlihat jelas nama sang model yang telah melahirkan Fardan sedang melakukan panggilan. Memasukkan ponsel ke laci meja kerja dan membaliknya, Bagas benar-benar tidak mau direpotkan dengan urusan Elvina lagi. Cukup kepergian Mutia dari rumahnya membuat lelaki itu sadar jika di salah sudah berbuat baik pada perempuan lain selain orang yang dia cintai."Jika nggak mau angkat panggilan saya, sebaiknya Pak Bagas buka foto yang saya kirimkan," tulis Elvina. Bagas menghentikan gerakannya yang akan menutup laci meja kerja ketika melihat sekilas chat yang dikirimkan sang model di layar ponselnya. Dua bola matanya bergerak-gerak. Jelas dia sedang berpikir foto apa yang dikirim Elvina sampai di
Happy Reading*****Lelaki muda di samping Redy itu segera menunjukkan ponselnya pada Arham. "Suara percakapan tadi berasal dari sini, Mas. Saya tadi menunjukkan rekaman percakapan Bapak pada Pak Redy," jelasnya. "Benarkah?" tanya Arham. Dia menajamkan pandangan pada sumber suara yang diperkirakan ada Surya dan Mutia. Lalu, mendekati Redy dan asisten tersebut. Bola mata lelaki berkulit putih yang sudah menemani Bagas cukup lama tersebut bergerak memutar. "Mau ke mana, Mas?" tanya Redy, "Bukankah tadi sudah dijelaskan jika percakapan yang Mas Arham dengar bersumber dari HP ini." Fardan terpaksa mengikuti Arham, kembali melangkahkan kaki menuju Redy. Ketika jarak si kecil dengan Arham sudah sangat dekat, dia memegang pergelangan omnya. "Kita pulang sekarang, Om. Tanya lagi sama Papa di mana keberadaan Mama," kata Fardan.Arham luluh karena dia tidak mendengar lagi suara percakapan tersebut. Apalagi saat Redy dengan sengaja memutar isi rekaman yang ada di ponsel tersebut. Arham menja
Happy Reading*****Surya mulai panik ketika tubuh Mutia limbung dengan mata terpejam. Lelaki paruh baya itu bergerak cepat merangkul sang guru agar tidak terjatuh ke lantai. Papanya Bagas benar-benar tidak menyangka jika Mutia akan bereaksi seperti itu. "Re, kemari," panggil Surya pada asistennya. Beberapa detik kemudian, sang ajudan datang ke hadapan Surya. "Ya, Pak.""Panggil dokter, saya nggak mau dia kenapa-napa dan Bagas menuduh macam-macam," perintah Surya. Dia membopong Mutia dan meletakkan tubuh perempuan yang pingsan tersebut di sofa tak jauh dari tempatnya kini. "Baik, Pak." Tanpa bertanya lebih lanjut, Redy mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang diperintahkan oleh Surya tadi. "Saya nggak nyangka kalau dia bakalan pingsan setelah disapa," kata Surya yang tidak bisa berbuat apa pun kecuali menatap wajah Mutia yang menutup mata. "Apa mungkin dia mengingat sesuatu, Pak?" tanya Redy masih mode siaga setelah menyelesaikan panggilannya tadi. "Saya rasa begitu. Kit
Happy Reading*****"Tenang, Boy," kata Arham, "Kamu telpon mamamu dulu. Tanyakan di mana mereka ketemuan. baru kita susul."Si kecil menuruti perkataan Arham. Mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi Mutia. Novita melirik Arham. "Kenapa kalian berdua tegang banget pas aku ngomong kalau Mutia ketemuan sama Pak Surya?" tanyanya pada asistennya Bagas."Kamu nggak akan ngerti. Jika sampai Bagas mengetahui masalah ini, maka perang dingin antara Mutia dengan Bagas akan terjadi. Kita harus mencegahnya," jelas Arham. Setelahnya, dia menatap Fardan. "Gimana, Boy?""Mama nggak ngangkat panggilanku, Om," kata si kecil. "Bentar," kata Arham. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi Bagas."Ya, Ham?" Sebentar saja, sang atasan sudah mengangkat panggilan Arham. "GPS-mu terhubung dengan HP punya Mutia, kan?" tanya Arham terburu-buru."Ngapain kamu tanya tentang itu? Ada masalah sama Mutia?" Suara Bagas terdengar panik."Nggak ada masalah , cuma si kecil nyariin mamanya terus.""Memangnya kamu
Happy Reading*****Arham segera mengubah ekspresi terkejutnya menjadi tersenyum. Mengusap puncak kepala si kecil penuh kasih sayang."Om, apa hasilnya?"Arham menggelengkan kepala. "Kamu memang nggak pernah punya ikatan darah dengan Mutia, Boy. Elvina memang benar mama kandungmu."Bola mata Fardan bergerak memutar. Wajahnya mulai terlihat sedih. "Jadi, aku nggak punya harapan bakal jadi anak kandung Mama, ya? Kenapa?""Jadi, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Bukannya menjawab pertanyaan si kecil, Arham malah melempar pertanyaan.Fardan menggelengkan kepalanya. "Aku nggak punya rencana apa-apa, tapi aku harap Om nggak akan menceritakan masalah ini pada Papa. Dari awal, aku yang terlalu berharap bahwa Mama adalah perempuan yang melahirkanku," sesalnya."Baiklah, Om janji. Nggak akan menceritakan masalah ini sama papamu," janji Arham. "Apa kamu kecewa dengan hasil tes itu?"Fardan mengangguk, "Tapi, aku nggak akan membiarkan siapa pun mengakui orang lain sebagai mamaku selain Mam
Happy Reading*****Elvina terdiam, memundurkan langkahnya. Takut juga ketika wajah Bagas dan Fardan marah seperti itu."Aku nggak akan mengakui perempuan mana pun sebagai Mama kecuali Mama Tia," teriak si kecil, "pergi!"Elvina diam mematung, sementara Mutia dan Jannah sudah melanjutkan langkah. Keduanya tidak ingin mendengar perdebatan antara keluarga tersebut. Lebih baik segera pulang ke kontrakkan untuk beristirahat.Bagas menatap Elvina nyalang. "Kamu tidak mendengar apa yang diminta Fardan? Anakmu saja tidak menginginkan kehadiranmu di sisinya. Lalu, mana mungkin aku akan mempertahankanmu di sini? Pergi, cari hotel sana," usirnya."Bi, tolong ambilkan barang-barang orang ini yang ada masih ada di rumah," perintah si kecil pada perempuan paruh baya yang sudah menjadi pembantu papanya selama ini."Iya, Mas," sahut Bi Siti, patuh. Perempuan paruh baya itu pergi ke kamar yang akan ditempati Elvina, sedangkan sang model malah mendekati putranya. "Apa kamu tega membiarkan Mama tidur