Happy Reading*****"Ma, ayo cepetan masuk. Aku ngantuk banget, pengen segera tidur karena besok pasti akan lebih melelahkan dari hari ini," kata si kecil yang tidak merasakan kehadiran Mutia berjalan di sampingnya."Tunggu sebentar, Sayang. Ada yang harus Mama selesaikan," kata Mutia yang membuat Fardan menoleh ke belakang."Ma, Papa nggak akan suka kalau tahu dia datang ke sini," ucap si kecil berusaha menasihati sang mama supaya tidak menggubris kedatangan lelaki yang sudah menjadi musuh Bagas."Kamu masuk dulu, ya. Mama mau menyelesaikan semua masalah dengannya," pinta Mutia begitu lembut."Nggak. Aku mau temani Mama di sini. Kalau ada apa-apa, aku bisa langsung lapor sama Papa," sahut si kecil. Tangannya bersedekap dengan tatapan mata tajam ke arah Nazar."Tapi, Sayang. Mungkin apa yang akan kami bicarakan menyangkut masalah orang dewasa yang nggak seharusnya kamu dengar," tambah Mutia."Kalau gitu, aku bakalan nutup telinga supaya nggak dengar semua percakapan Mama dengan orang
Happy Reading***** "Mas, jangan aneh-aneh. Kita belum ngurus berkas-berkas yang mau dimasukkan ke KUA," kata Mutia."Udah tenang saja. Mas, sudah minta semua berkas pentingmu sama Nenek. Papa sudah ngurus semua dan sudah beres. Pokoknya, besok kita nikah," kata Bagas tak terbantahkan."Eh, kok seyakin itu kalau kita nikah besok?""Yakin, dong. Lamaran hari ini kan berjalan lancar, jadi besok tinggal peresmian kehalalannya saja. Resepsi juga sudah siap besok."Mutia mencebik. Tidak mampu berkata-kata lagi karena Bagas benar-benar membuatnya bungkam. "Sayang, kok, diam saja?" Bagas menangkupkan tangannya di atas tangan kanan Mutia. "Aku harus ngomong apa, Mas? Semua sudah Mas siapkan, jadi aku nggak mungkin memprotes dan menolak lagi, kan?" Mutia menangkupkan tangan yang terbebas dari genggaman si lelaki ke pipinya. "Jadi, kamu menerima pengaturan yang sudah Mas buat?" tanya Bagas dengan wajah berseri. Mutia mengangguk dengan mata tertutup. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih," u
Happy Reading*****Mutia menarik garis bibirnya, senyumnya benar-benar lebar saat ini. Tindakannya adalah bentuk balas dendam apa yang sudah Bagas lakukan."Sayang, kok, bisa?" tanya Bagas sekali lagi."Bisalah," jawab Mutia santai bahkan terlalu santai hingga membuat orang di sekelilingnya menatap tak percaya."Gimana caramu mendapatkannya, Tia?" tanya Arham penasaran. Mutia cuma menjawab dengan senyuman ke arah Arham. Dia lebih memilih menatap Bagas dan mengambil buket mawar yang ada di tangan lelaki itu. Lalu, mengambil tangan si lelaki lembut. "Berdiri, Mas. Aku nggak mau suamiku kesakitan lagi," ucapnya."Jawab dulu pertanyaanku tadi. Maukah kamu menikah denganku?" kata Bagas, masih mempertahankan posisinya tadi."Mas, mau jawaban yang seperti apa lagi. Bukankah cincin yang Mas siapkan sudah melingkar di jari ini? Masak masih tanya jawabannya apa." Mutia mengerucutkan bibirnya lucu."Kayaknya, ini lamaran terkocak yang pernah aku hadiri," sahut Fikri, "Makanya, kalau buat konse
Happy Reading*****Arham mengangkat kedua bahunya. "Mana aku tahu. Tadi, sebelum kamu minum obat dari Satya, cincin itu sudah kamu pegang," jelasnya.Bagas menatap sahabatnya yang berprofesi sebagai dokter, seolah dia berkata, apakah sang dokter mengetahui keberadaan cincin yang diperuntukkan untuk Mutia."Mana aku tahu?" Satya mengangkat kedua bahunya. "Seperti kata Arham tadi, kamu ngomong kalau semua sudah disiapkan. Saat kamu sadar, kami semua, termasuk sahabat Mutia harus sudah ada di rumahmu.""Jadi, semua ini direncanakan sama kamu, Mas?" tanya Mutia dengan nada geram. Namun, di saat bersamaan, dia juga tersenyum.Bagas menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bingung harus menjelaskan dari mana perihal rencana yang sudah dia jalankan tadi."Mas?" panggil Mutia. Dia mendesak Bagas untuk segera menjelaskan.Lelaki berambut lurus dengan kulit kuning Langsat tersebut menarik garis bibirnya ke atas."Mas, nggak punya ide untuk memaksamu menikah segera, selain dengan cara seperti ini, S
Happy Reading*****Seketika. Mutia menoleh ke sumber suara. Namun, lelaki yang masih memejamkan mata itu, tetap diam tak bergerak. Bagas masih tetap pada posisi semula. "Siapa tadi yang berkata? Kenapa suaranya mirip dengan Mas Bagas?" tanya Mutia. Tangisannya berhenti secara otomatis.Ditanya seperti itu oleh Mutia, semua orang bingung dan saling menatap satu sama lain, hanya si kecil yang memperhatikan mamanya."Kenapa kalian menatapku begitu?" tanya Muti. "Maksud pertanyaanmu apa, Tia?" kata Arham, "Suara apa yang kamu maksud?""Itu, tadi Mas Bagas mengatakan kalau aku bisa menebus semua kata maaf dengan menikahinya." Setelah berkata demikian, Mutia kembali menatap Bagas yang masih terbujur dengan mata terpejam."Kamu aneh-aneh, Tia. Sudah tahu Bagas nggak bisa ngapa-ngapain, mana mungkin dia berkata seperti itu," sahut Fikri."Apa mungkin kamu cuma berhalusinasi?" tambah Satya.Bola mata Mutia berputar. Mungkinkah apa yang mereka katakan itu benar? Mungkinkah suara itu, hanya d
Happy Reading*****Semua mata tertuju pada seseorang yang berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar. Fardan bahkan berlari mendekati lelaki itu. Mata Mutia membelalak selebar-lebarnya, sangat terkejut mendapati lelaki itu sehat-sehat saja. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang terluka.Di belakang si lelaki, sahabat-sahabat Mutia juga terlihat. Pasangan Satya dan Fikri juga ada di antara mereka. "Kalian, kenapa ada di sini?" tanya Mutia sedikit terkejut melihat teman-temannya. Belum sempat pertanyaan Mutia dijawab oleh para sahabatnya. Suara Fardan kembali terdengar."Om, katanya tadi masih ada di ruang UGD. Kok, sekarang sudah ada di sini dengan keadaan sehat?" tanya si kecil. Jelas terlihat di matanya jika ada kecurigaan.Fardan mengitari tubuh saudara sepupu papanya. Mengamati keseluruhan tubuh Arham yang sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas luka kecelakaan. Bola mata si kecil menyipit. "Om beneran kecelakaan apa nggak, sih? Nggak ada bekas darah sama sekali,