"Ada apa ini?"Suara berat dan tegas seorang pria berhasil mengalihkan keributan yang terjadi .Felix tiba-tiba datang memecah suasana tegang yang mencekam lobi itu, bagaikan hembusan angin segar yang berhasil mengusir awan mendung. Seketika, semua karyawan yang menyaksikan pertunjukan Neina dan perselisihannya dengan Ibu Raka mulai bertolak meninggalkan lokasi. Mereka berpura-pura kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Mereka tak mau menjadi korban pemecatan selanjutnya jika sampai sesuatu terjadi, takut terseret dalam badai yang tengah mengamuk.Tak ingin menjadi korban seperti karyawan yang tiba-tiba dipecat, saat pernah mencoba untuk mengganggu Neina kala itu. Bu Diana beralih pada Felix yang menatap datar ke arahnya dan Neina. Melihat penampilan dan pakaian yang Felix kenakan. Ia yakin, jika Felix adalah orang penting di perusahaan ini. "Apa Anda masih mau memiliki karyawan yang menjadi simpanan pria kaya?" lantang suara Bu Diana saat Felix mendekati ke arahnya, nada suar
Beberapa pegawai mulai merekam diam-diam dengan ponsel mereka. Suara gumaman dan bisik-bisik membelah koridor kantor, seperti serangga yang mengerubungi gula.Neina meraih lengan Bu Diana, suaranya parau. "Ibu… saya mohon… saya mohon dengan sangat… saya masih hormat sama Ibu… sama Mas Raka… saya mohon kita bicara di ruangan saya. Tolong jangan seperti ini…"Bu Diana menepis tangan Neina yang memohon kepadanya. Suaranya bergetar, tapi ledakannya masih menggelegar. "Kamu pikir kamu siapa, hah? Kamu kira saya takut bikin malu di sini? Justru saya mau semua orang tahu, siapa kamu sebenarnya! Kamu tega ninggalin anak saya yang sedang berjuang selesaikan profesinya, masih susah-susahnya, demi orang kaya yang bisa beliin kamu kemewahan?! Dasar perempuan murahan!"Tamparan kata-kata itu lebih sakit daripada tamparan fisik. Tak menembus gendang telinganya lagi, melainkan tepat menancap ke ulu hati. Neina memejamkan mata. Pipi kirinya yang ditampar Bu Diana di lobi beberapa waktu lalu masih
Para pegawai yang baru saja keluar dari lift saling lempar pandang, bisik-bisik mereka menyemut di antara deru pendingin ruangan. Suasana kantor yang biasanya diselimuti keheningan, dan rutinitas yang sibuk kini berubah bak panggung sandiwara yang siap dipertontonkan.Seolah sedang menunggu kabar atas kejadian pagi yang seru bagi mereka. Ia siap menonton dan ada yang memvideo adegan menegangkan pagi yang bisa menjadi bahan gorengan untuk bergosip di kantor nanti. Neina buru-buru menunduk setengah membungkuk, gestur hormat yang nyaris tak terlihat. "Ibu… Ibu Diana. Mari ke ruangan saya. Kita bicara di dalam, Bu. Neina mohon—"Belum sempat Neina menyelesaikan kalimatnya, tangan Bu Diana terangkat. Satu jari telunjuknya menempel di hidung Neina, seolah menuduhnya seorang pesakitan. "Kamu pikir kamu siapa bisa seenaknya nyuruh saya. Kamu pikir kamu siapa? Hah! Setelah apa yang kamu buat sama anak saya? Dan sekarang kamu ingin bicara baik-baik dengan saya? HAH?!"Suara Bu Diana melengk
Neina menunduk hormat. Ia pun berusaha tersenyum ramah pada Olivia. “Saya permisi, Bu Olivia.”Ia segera masuk ke mobil yang sudah menunggu sejak tadi. Ia segera masuk, dan pintu ditutup perlahan, seolah takut menimbulkan bunyi keras yang memecah pagi. Supir langsung yang mengantarkannya langsung memutar ke bangku kemudi, tentu setelah memberi hormat pada Olivia yang menatap tak suka ke arahnya Ia langsung menyalakan mesin. Dari balik jendela gelap, Neina melihat Olivia masih berdiri di tempat, menatapnya bagai duri yang menusuk mata.Begitu mobil bergerak meninggalkan halaman rumah, Neina merosot di jok, meletakkan map di pangkuannya. Telapak tangannya dingin meski AC mobil baru saja dinyalakan.Debaran jantungnya berpacu dengan begitu kuat. Seolah baru saja menghadapi dosen bimbingan killer yang tak boleh salah sedikitpun. Ponselnya bergetar di tas. Satu pesan baru masuk. Ia langsung membuka dan melihat, khawatir pesan penting yang dikirim. Felix, “Neina. Apa kamu pagi ini
Neina berdiri sendirian di dapur, merapikan cangkir kopi Keandra dan Olivia yang masih hangat setengah penuh. Sesekali ia mengintip jam dinding, menimbang berapa menit lagi waktu dirinya untuk segera bersiap ke kantor. Tiba-tiba, Bibi Raras datang menghampiri, “Biar Bibi saja yang mencuci piring. Kamu bersiap berangkat kerja, Nona,” ujar Bibi Raras sopan pada Neina. Ia tak ingin gadis itu telat bekerja dan akan kembali mendapat marah dari Keandra. Bukan marah yang dikhawatirkan. Lebih tepatnya, ia khawatir Keandra akan semakin memberikan banyak pekerjaan. “Tapi, Bu–”“Tidak ada tapi-tapian. Anda sudah bekerja terlalu keras, Nona. Kerja anda juga sangat baik. Tidak ada alasan lagi untuk anda menolak bantuan saya sekarang. Tuan Muda tak akan marah. Beliau masih sibuk bersiap di kamar bersama Nona Olivia,” tegas Bibi Raras.Sejak semalam, ia kesal. Sebab Neina bersikeras menolak bantuan tenaga yang diberikannya. Alasannya, “nanti Bu Raras yang kena marah oleh Pak Keandra. Neina tida
Neina menahan senyum getir. “Saya hanya berusaha bekerja sebaik mungkin, Bu. Dan sebab itulah saya bisa berada di sini dan di perusahaan Pak Keandra.”Ya. Berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi antara Keandra dan dirinya-lah yang mampu Neina lakukan. Tak mungkin berkata sesunggunguhnya. Sebab akan membuat Keandra murka. Jika itu ia lakukan. Olivia mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. Wajahnya yang nyaris tanpa pori itu hanya sejauh embusan napas. “Tapi kau sadar kan? Keandra tidak benar-benar… menyukai keberadaanmu di sini.”Kalimat yang menusuk. Neina terdiam sejenak. Mencari kata yang tepat untuk diungkapkan. Dari setiap kata yang Olivia sampaikan, terlihat jelas jika ia tahu situasi yang terjadi antara dirinya dan Keandra.Tapi …. untuk pernikahan mereka. Neina tidak mengetahui kebenarannya. Neina menahan napas, dadanya menegang. Bibirnya tertarik ke sudut, membentuk senyum tipis yang pahit.“Itu benar, Bu. Pak Keandra tidak suka saya terlalu lama di sini. Tapi … ada