Andini duduk di kursi depan televisi sambil menggulir layar ponselnya. Hatinya masih gelisah memikirkan kejadian hari ini.Semalam ia sudah mengingatkan ibunya, jika Hera datang menemui ibunya untuk meminjam uang, jangan dipinjamkan. Andini takut keluarga ayahnya akan memanfaatkan ibunya, setelah tahu kalau ibunya adalah pemilih warung makan.Taoi Andini tahu kelemahan ibunya, yang selalu tidak tega dan merasa kasihan. Sebab itulah Andini begitu penasaran apakah tantenya, Hera, datang menemui ibunya atau tidak. Andini menatap ibunya yang sedang sibuk menulis di sebuah buku."Bagaimana, Bu? Tante Hera hari ini datang menemui Ibu nggak?" tanyanya, mencoba menekan nada khawatir dalam suaranya.Ratna berhenti menulis sejenak, lalu mendesah pelan. "Ya. Padahal Ibu sengaja nggak datang ke warung cabang. Tapi ternyata dia datang ke warung pertama."Andini mengerutkan kening. "Kok bisa Tante Hera tahu kalau Ibu punya dua warung?"Ratna meletakkan pulpennya, lalu memijat pelipisnya. "Paling Fi
Hera menatap jam dinding di kamarnya. Jarum pendek hampir menyentuh angka sembilan, sementara jarum panjang terus bergerak mendekati angka dua belas. Ia menghela napas pelan, rasa gelisah mulai merayapi pikirannya. Seharusnya Alvin sudah pulang sejak satu jam lalu. Biasanya, selepas Isya, suaminya itu sudah ada di rumah, bahkan sering kali lebih awal.Perutnya mulai terasa nyeri. Bukan hanya karena kehamilan yang sudah besar, tetapi juga karena lapar yang semakin menggigit. Terakhir kali ia makan adalah siang tadi, setelah pulang dari warung Ratna. Seharusnya malam ini ia sedang makan di luar bersama Alvin, menikmati makanan hangat seperti yang dijanjikan suaminya. Namun kenyataannya, ia masih di sini, sendirian, dengan perut kosong dan hati yang mulai tidak tenang.Ia melirik ponselnya. Puluhan pesan yang dikirimnya ke Alvin masih berstatus centang satu. Panggilan yang berulang kali ia lakukan hanya berakhir di nada sambung, tanpa jawaban."Mungkin dia masih di jalan," gumamnya, menc
Linda menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang tamu. Tubuhnya terasa lemas, seperti tersedot semua energinya. Dua minggu terakhir, rasa sakit yang menyerangnya setiap kali buang air kecil semakin parah. Ia tahu ia harus periksa ke dokter, tapi bayangan tentang apa yang mungkin ia dengar membuatnya takut.Ia melirik pintu kamar Hera yang masih tertutup. Biasanya Hera sudah keluar kamar, tapi tumben hari ini adiknya belum keluar kamar. Awalnya ia ingin meminta Hera untuk menemani ke klinik. Tapi pikiran buruk menyerangnya. Bagaimana kalau ini berhubungan dengan pekerjaan yang ia lakukan kemarin? Bagaimana kalau Hera tahu semuanya?Linda menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa takut yang terus menghantuinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi sendiri. Dengan menekan tombol aplikasi ojek online, ia memesan perjalanan menuju klinik terdekat.Di ruang tunggu klinik, Linda duduk memeluk dompet kecil di pangkuannya. Pandangannya kosong, pikirannya melayang-layang. Hatinya berperang antar
"Ini bayaran hari ini, ya, Hera." Fina menyodorkan uang sejumlah 70 ribu ke tangan Hera."Terima kasih banyak, Mbak." Hera menyambut uang itu dengan senyum tipis, meski dalam hati merasa nominal itu terlalu kecil untuk kerja kerasnya seharian.‘Berarti uangku sudah terkumpul 210 ribu sama ini. Untuk ganti uang Mbak Linda kurang 90 ribu lagi’ gumam Hera dalam hati."Besok berangkat lagi, ya? Tinggal satu hari lagi, lho," Fina mengingatkan dengan nada ceria."Iya, Mbak. Pasti dong." Hera mencoba menunjukkan semangatnya. Namun, rasa lelah di tubuhnya tak bisa sepenuhnya ia tutupi. "Oh ya, Mbak. Pemilik warungnya sudah datang belum ya?" tanyanya, mencoba memastikan."Sudah, tuh. Lagi ngobrol di luar sama tukang parkir, kayaknya." Fina menunjuk ke arah depan warung. "Kamu jadi mau tanya soal kerjaan?""Iya, Mbak. Sekalian mau kenalan, biar lebih enak kalau kerja di sini." Hera berusaha menenangkan dirinya."Yaudah, duduk dulu aja, Her. Aku mau melayani pelanggan dulu, nih.""Iya, Mbak Fina
Andini sedang menjalankan tugas ke luar kota untuk mempromosikan produk baru dari perusahaannya. Dia memutuskan membawa ibunya, Ratna, dan adiknya, Athala, untuk sekaligus liburan.Dua hari Ratna dan Athala hanya duduk tenang di dalam kamar, karena Andini sibuk bekerja bersama timnha. Dan hari ini adalah waktu kosong Andini. Ia manfaatkan untuk mengajak ibu dan adiknya jalan-jalan.Setelah seharian menikmati suasana kota yang baru bagi mereka, malam itu mereka kembali ke kamar hotel dengan wajah-wajah lelah tapi puas.Athala, yang masih kecil, tampak paling bersemangat. Tawa dan celotehnya mengiringi sepanjang hari, membuat hati Andini dan Ratna hangat meski tubuh mereka terasa penat.Sesampainya di kamar hotel, Athala langsung melompat ke atas kasur. Andini masih sibuk merapikan perlengkapan kerja, sementara Ratna menyiapkan minuman hangat."Athala, sudah malam. Tidur, ya," ujar Ratna lembut sambil menepuk punggung kecil anak itu."Iya, Bu," jawab Athala, lalu menggeliat manja sebelu
Alvin meletakkan tas kerjanya dengan bunyi berdebam di kursi kamar. Raut wajahnya lelah, dan napasnya terasa berat setelah seharian bekerja. Ia membuka kancing kemejanya, mencoba menghilangkan rasa gerah, namun pandangannya langsung terpaku pada sebuah tas belanjaan di pojok kamar.Ia mendekat, menyingkap isinya, dan matanya membulat. Pakaian bayi berwarna-warni tersusun rapi di dalamnya. Ia menyentuh salah satu baju mungil itu, merasa ada sesuatu yang mengganjal."Hera!" panggilnya dengan nada tajam, memecah keheningan kamar.Hera, yang tengah bersandar di ranjang sambil menggulir layar ponselnya, menoleh dengan alis terangkat. “Ada apa sih?” tanyanya santai, meski nada Alvin membuatnya sedikit tegang.Alvin mengangkat tas belanjaan itu. “Ini semua dari mana?” tanyanya, tatapannya tajam menusuk. “Banyak sekali, dan ini pasti mahal.”Hera duduk tegak, berusaha terlihat tenang meski jemarinya saling meremas. “Aku belikan untuk persiapan bayi kita, Vin. Kebetulan ada toko baru yang buka