Beranda / Romansa / Married With A Nerd / Bagian 1 : Kerja Bagai Kuda

Share

Bagian 1 : Kerja Bagai Kuda

Penulis: merien9_
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-19 15:14:21

“Ras, ini lo kasiin ke pelanggan nomor 5 ya,” perintah Kak Sofi, barista kafe tempat Laras bekerja. Laras yang sedang mencuci piring langsung mengentikan aktifitasnya. Laras segera mencuci tangan lalu mengambil nampan berisi makanan ringan dan es kopi pesanan yang sudah tersaji di samping kasir.

Siang ini kafe sedang sepi pengunjung. Hanya ada empat meja yang terisi. Laras berjalan melangkahkan kaki ke meja nomor 5 dekat pintu masuk. Dilihatnya punggung seorang wanita menghadap jendela sedang menatap laptop sambil mengetukan jari ke keyboard.

“Permisi. Ini,ya, pesanannya.” Laras menaruh gelas dan piring dengan hati-hati. Pelanggan itu tak sedikit pun membalas, Laras mengerti mungkin wanita itu sedang sibuk.

“Baik, nanti kalau ada tambahan pesanan, Mbak bisa panggil saya lagi, permisi,” sambung Laras sebelum melangkah pergi.

“Eh, Laras?” Laras menghentikan langkah kaki, ia menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya.

“Eh, bener kan, lo Laras anak Bina Bangsa?” tanya wanita berambut sebahu itu lagi memastikan. Mendengar nama sekolahnya disebut, Laras yakin bahwa wanita yang berdiri di hadapannya berasal dari almamater yang sama.

“I-iya,” jawab Laras kikuk.

Wanita itu menunggingkan senyum yang begitu menyebalkan. Dia menatap Laras dengan padangan meremehkan. Jujur saja, Laras sudah muak dengan semua ekspresi itu padanya.

“Wow, nggak nyangka, ya? Seorang Laras jadi... waitress kafe?” ejeknya.

Laras meremas rok yang ia kenakan. Pupil matanya panas, ia hanya berharap agar tak menangis sekarang.

“Emang kenapa kalau gue jadi waitress?” Laras memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Menatap wanita yang sudah meremehkan dia dan pekerjaannya. Laras bangga, setidaknya apa yang ia kerjakan halal dan tak merugikan orang lain. Apa pun ia lakukan untuk menyambung hidup asal tak jual diri.

“Ya, iya juga, sih. Apa yang bisa diharapkan dari lulusan SMA?” ujar wanita itu sarkas. "Apalagi anak koruptor.” Fakta yang diungkap oleh wanita itu membuat para pelanggan kafe berbisik-bisik sembari menatap Laras. Entahlah, mungkin sanksi sosial akibat ulah Papih akan didapat Laras dan keluarga seumur hidup.

Laras ingat, wanita itu adalah adik kelas sewaktu SMA. Namanya Virsa. Dulu, Virsa sangat menyukai mantan pacar Laras, Rendi. Namun, cintanya harus bertepuk sebelah tangan karena Randi tak memiliki perasaan apa pun pada Virsa.

Brakkk

“Cukup!” Wirda yang tiba-tiba saja datang entah dari mana langsung menggebrak meja Virsa. “Lo mending pergi dari sini. Nggak usah bayar, gratis. Pergi!” hardik Wirda dengan suara lantang.

“Heh, siapa lo ngatur-ngatur gue?!” balas Virsa tak mau kalah.

“Lo tanya gue siapa? Gue yang punya kafe! Kenapa lo?”

Virsa mendesis kesal. “Tamu adalah raja! Gue bisa kasih rate rendah ke kafe ini kalau pelayanannya kayak sampah gini!”

“Pelayanan yang diberikan harus sesuai sama attitude pelanggan. Attitude lo aja kayak sampah, panteslah dapat pelayanan yang sampah juga. Silakan! Rate sesuka lo. Gue nggak peduli.”

“Gila ya lo semua!” Virsa meraih ponselnya yang berada di atas meja lalu mengarahkan benda pipih itu untuk merekam ke arah Wirda.

“Nih guys, gue habis dapet perlakukan yang gak manusiawi. Lo semua pada tau kan kafe Rinjani, itu loh deket perempatan gedung baru di jalan Sudirman.....,” Virsa terus mengoceh tanpa henti, ia terus-terusan memberi fitnah tentang kafe Rinjani dan Kak Wirda.

“Banyak bacot banget ya lo. Pergi nggak dari sini, pergi!” pekik Kak Wirda tak kenal ampun. Melihat amarah yang meledak-ledak Wirda membuat nyali Virsa ciut juga. Ia segera mengemas barang bawaan lalu beranjak pergi membanting pintu.

Laras memejamkan mata lelah. Air mata yang ia tahan akhirnya tumpah ruah. Hal ini bukan pertama kali, ia sering diperlakukan serupa. Semua orang yang tahu kasus papih, akan melakukan hal sama. Terkadang Laras tak mengerti, apa yang membuat mereka begitu benci dirinya.

Papih memang bersalah, beliau pantas dihukum. Tapi bisakah mereka menilai dari perspektif yang lain.

“Ras, lo nggak apa-apa kan?” tanya Wirda memastikan keadaan Laras. Laras mengangguk pelan, ia menarik kursi lalu duduk menenggelamkan kepala. Laras sudah tak perduli berapa banyak pasang mata yang terus memperhatikannya. Ia hanya ingin menangis, melegakan sesak di dada.

Wirda duduk persis di samping Laras. Ia mengelus lembut perempuan yang sudah di anggap seperti adik. “Nangis aja, Ras. Biar lega, nggak usah lo tahan,” ujar Wirda lembut.

Mendengar ucapan Wirda, membuat Laras semakin menangis keras. Wirda bagaikan malaikat penolong. Di saat semua orang menjauh, menatap jijik dan berpikir negatif tentang Laras, Wirda dengan tulus membuka kedua tangannya lebar untuk membantu.

Kerja sebagai waitress di kafe saja tak cukup, Laras harus kerja di tempat angkringan di malam hari. Mas Rio, kakaknya sering berjudi dan sering berhutang. Mau tak mau, Laras harus membayar hutang kakaknya itu.

“Ras, lo pulang aja dulu ke rumah, istirahat,” kata Wirda.

Laras langsung mengangkat wajah menatap Wirda. "Kafe gimana, Kak?"

Wirda memandang meja kosong di penjuru kafe. “Lo liat sendiri kafe lagi sepi. Gue bisa handle kok. Lagi pula, masa lo mau layanin pelanggan dengan mata bengkak begini?”

Laras tersenyum tipis, dunia perlu banyak orang baik seperti Wirda. “Thanks, Kak,” ucapnya tulus.

“Sama-sama. Ya udah gih sana.” Laras mengangguk lalu beranjak dari kursi menuju dapur untuk mengemas barang ke dalam tas. Sebenarnya ia tak enak hati, tapi yang dikatakan Wirda ada benarnya juga.

“Gue balik duluan, Kak.”

“Yo, hati- hati di jalan Ras. Salam buat nyokap.”

***

Alfian melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia sudah hampir dua jam menunggu Pak Bakrie, supirnya di bandara.

“Pak, udah sampe mana sih? Saya udah hampir lumutan nungguin nih,” ujar Alfian dengan nada setengah kesal.

“Sabar atuh bos. Kayak nggak tau Jakarta aja. Masih kejebak macet nih di kebon jeruk.”

Alfian menghela nafas gusar, ia benar-benar lelah. Perjalanan London-Indonesia yang memakan waktu hampir 16 jam membuat ia tak sabar ingin merebahkan tubuh ke kasur empuk.

Harusnya Pak Bakrie datang lebih awal, kalau ia baru jalan setelah Alfian sampai, sama saja bohong. “Ya udah kalau gitu saya mau balik pake taxi online aja. Puter balik lagi aja, Pak.”

Belum sempat Pak Bakrie menjawab, Alfian segera memutus sambungan telepon sepihak. Ia membuka aplikasi transportasi online di ponselnya lalu mengetik alamat tujuan. Tak butuh waktu lama, ia sudah dapat supir yang siap mengantarkan ke rumah.

“Ya elah, tau gitu dari tadi kek kayak gini,” ia menggumam sendiri.

Alfian Bahardika baru saja menyelesaikan studi masternya di jurusan Business Managemet dari Birmingham University. Kedua orang tuanya datang ke London saat graduation, namun keduanya masih ingin pergi berlibur. Jadi, Alfian pulang seorang diri ke Indonesia.

Sepuluh menit Gocar yang ia pesan sudah datang, Alfian langung memasukan koper-koper itu dalam bagasi. Ia dan keluarga tinggal di perumahan kawasan elite di Jakarta Selatan. Mereka baru pindah sekitar tiga tahun yang lalu setelah merenovasi total rumah yang memakan waktu hampir satu tahun.

“Makasih, Pak. Saya sudah pakai GoPay ya, Pak?” tanya Alfian pada supir untuk memastikan kembali.

“Oh iya Mas, sama-sama,” jawab supir itu.

“Oke, hati- hati, Pak.” Setelah mengucapkan itu, Alfian langsung keluar mobil dan mengeluarkan tiga koper miliknya dari bagasi tanpa repot meminta bantuan supir.

Kedatangan Alfian disambut oleh Pak Gatot, satpam yang sudah bekerja di rumah keluarga Alfian 3 tahun belakangan. “Loh? Pakai Gojek, Mas? Si Bakrie ke mane?” tanyanya heran.

“Saya suruh puter balik. Kelamaan!” jawab Alfian kesal. Pak Gatot langsung membantu menarik tiga koper bawaan Alfian ke dalam rumah.

Malas makan, Alfian lebih memilih langsung masuk ke dalam kamar. Ia duduk di pinggir kamar sembari memejamkan mata sejenak lalu ia tersenyum lebar karena rasa kangen yang membuncah. Ah! Sudah lama rasanya tak tidur di kamar ini. Netranya melihat sususan foto di lemari kaca dekat jendela. Berjejer foto keluarga dan dirinya yang sedang merayakan ulang tahun ke-5. Alfian ingat betul bahwa dulu keluarganya sangat miskin. Demi membuat ia senang, Babeh sampai harus berhutang agar bisa membuat pesta ulang tahun sederhana seperti teman-teman Alfian yang lain.

Alfian mengingat sosok Pak Bagja. Pak Bagja adalah orang yang paling berjasa dalam hidup keluarga Alfian. Delapan tahun yang lalu, setelah kejadian malam kelulusan, keluarganya diambang kehancuran. Babeh banyak terlilit hutang, membuat emak ingin bercerai. Alfian hampir ingin bunuh diri loncat dari atap gedung sekolah, tapi ia urungkan niatnya. Babeh menelepon dan meminta Alfian untuk segera pulang ke rumah karena keadaaan mendesak.

Hati Alfian berdesir hebat saat ia datang, rumahnya sudah dipenuhi banyak orang. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak jika orang tuanya meninggal dunia. Alfian berlari menerobos kerumunan orang, matanya panas menahan air mata agar keluar.

“Kenapa, Beh?” tanya Alfian dengan napas memburu. Pandangan Alfian menyapu sekitaran rumah yang tak ukurannya tak besar, tak ada keberadaan emak.

“Beh?” tanya Alfian hampir menangis.

Belum diberi kesempatan menjawab, Emak menyebak gorden dapur sambil membawa nampan. “Eh udah balik lo, Yan. Bantuin Emak nih bawain nampan,” pinta Emak.

Alfian lega melihat Emak masih dalam keadaan yang sehat.

“Napa muka lo, Yan?” tanya Emak heran karena Alfian hanya diam.

“Nggak tau tuh. Tadi juga tumben kagak ngucap salam pas masuk rumah,” sambung Babeh.

“Lo kaget, nih, rumah banyak orang, ye?” tebak Emak tepat sasaran.

Alfian mengangguk pelan.

“Eh iya nih kenalin. Ini Pak Yusuf dan tim. Beliau ini pengacara Pak Bagja, bos Babeh waktu kerja dulu di rumah gedong.” Emak memperkenalkan mereka.

Pak Yusuf mengulurkan tangan. Alfian membalas jabatan tangannya gemetar.

“Nggak apa-apa, Yan. Gausah gemteran itu. Bapak ini baik kok orangnya,” ujar Emak sembari menaruh nampan ke meja.

“Tapi, bapak ini ke sini juga nyampein berita sedih.” Raut wajah Babeh dan Emak berganti sendu.

Alfian menggaruk pelipis matanya bingung. “Berita apa, Mak?”

“Pak Bagja, meninggal dunia,” Pak Yusuf menimpali. “Minggu lalu, beliau meninggal dunia di Singapura akibat penyakit jantung.”

Innalillahi.” Alfian sama sedihnya.

Pak Bagja merupakan pengusaha restauran kaya raya. Beliau mendirikan beberapa restauran ternama beserta cabang yang tersebar di Indonesia. Selama babeh bekerja dengan Pak Bagja, beliau sangat baik pada babeh. Tahun lalu babeh memutuskan untuk tak bekerja, niatnya mau jualan di kampus yang baru buka di dekat rumah. Awalnya Pak Bagja keberatan babeh resign, tapi beliau tak bisa melarang karena beliau menghargai keputusan babeh.

Istri Pak Bagja sudah meninggal lama. Tak ada yang tahu tentang keberadaan anaknya. Ada yang bilang anaknya sudah meninggal bunuh diri, bahkan ada kabar burung yang bilang kalau anaknya gila.

Kedatangan Pak Yusuf tak hanya mengabari tentang berita meninggalnya Pak Bagja, namun isi surat wasiat beliau yang berisikan nama Babeh sebagai ahli waris. Mendengar pembacaan isi surat wasiat membuat lutut Alfian mendadak gemetar. Ia tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.

“Kenapa harus saya ya, Pak Yusuf?” tanya Babeh yang dibalas gelengan pelan pengacara kondang itu.

“Saya tak tahu alasan mengapa Almarhum mempercayakan semua hartanya pada Pak Rojali. Tapi saya yakin beliau sudah memikirkan hal ini dengan matang, Bahwa Bapak adalah orang yang tepat.”

Sejak itu hidup Alfian dan kedua orang tuanya mulai berubah. Banyak orang yang mendadak mendekat, bahkan saudara yang dulu jauh tiba-tiba datang untuk silaturahmi. Babeh yang hanya tamatan SD, mempercayakan aset pada orang-orang kepercayaan Pak Bagja sebelumnya. Termasuk aset perusahaan yang dipegang oleh Pak Hakim.

Dulu, Alfian yang hampir tak bisa kuliah karena kondisi keuangan yang tak memungkinkan. Namun akhirnya, Alfian dapat berkuliah seperti teman yang lain. Ia juga berusaha keras untuk melupakan Laras, cinta pertamanya. Alfian masuk Fakultas Ekonomi di UGM, Yogyakarta. Saat kuliah, Alfian bertemu dengan Mita. Mereka berpacaran lima tahun lamanya dan hampir menikah. Tapi bak petir di siang bolong, Mita memutuskan pertunangannya sepihak.

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Alfian. “Ya, masuk.

Asisten rumah tangga membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. “Mas, belum tidur?”

“Belum, Bik,” jawab Alfian pelan.

“Mas Alfian, nggak mau makan dulu?” tawar Bibik.

Alfian menggeleng lagi, “nggak, Bik. Saya nggak lapar.” Mendapati jawaban Alfian Bibik keluar permisi.

Alfian merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk. Ingatannya kembali ke masa lalu. Masa SMA-nya dan masa indah saat ia masih bersama Mita. Waktu terasa cepat berlalu, ia sudah melalui banyak hal. Jatuh cinta dan patah hati, membuat ia banyak belajar tentang arti merelakan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Married With A Nerd   Bagian 21 : First Kiss

    Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam

  • Married With A Nerd   Bagian 20 : Kapan Punya Anak?

    Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r

  • Married With A Nerd   Bagian 19 : Cemburu

    Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"

  • Married With A Nerd   Bagian 18 : Kotak Coklat Berdebu

    "Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per

  • Married With A Nerd   Bagian 17 : Gara-gara masakan

    "Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian

  • Married With A Nerd   Bagian 16 : Biskop

    Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status