"Maaf, tuan. Aku hanya seorang penari, aku tidak melayani." Bukan sekali dua kali dia harus mengatakan itu pada pria - pria pengunjung klub malam tempat dia bekerja. Ini adalah resikonya, sebagai penari di sebuah klub malam. Tidak heran jika banyak pria yang meminta nya untuk menemani mereka, atau bahkan melakukan hal lebih. ~Gruzeline Moel~ . . . "Berhentilah membawakan ku banyak wanita, itu tidak akan berhasil. Milik ku tidak akan pernah kembali bangun." Ya, sebuah kecelakaan membuat miliknya tidak bisa bangkit. Itu adalah siksaan bagi nya, dan sudah banyak pengobatan yang dia lakukan bahkan dia sudah mendatangkan puluhan wanita telanjang untuk membangunkan miliknya, namun semua tidak berhasil. " Aku, impoten." ~Rafael O'niel~
View MoreSuara musik terdengar memenuhi ruangan yang di penuhi oleh orang - orang yang tengah menikmati kehidupan malam nya. Di ruangan terpisah, ruangan yang selalu di penuhi oleh pria - pria, seorang wanita tengah meliuk - liukkan tubuh nya dengan lihai dan eksotis.
Para pria itu tengah mencuci mata mereka dengan gerakan indah nan menggairahkan di depan sana, bahkan ada dari mereka yang meminta salah satu wanita yang di sediakan di sana untuk naik ke atas pangkuan nya. Di tengah suara musik yang beradu dengan suara desahan di dalam ruangan itu, seorang wanita tengah menari memeluk tiang dengan gerakan yang menggoda. Dia mengabaikan suara desahan dari mereka yang tengah menikmati surga dunia bersama dengan wanita bayaran. Fokusnya kini adalah menari dan menyelesaikan tarian nya sampai musik yang mengiringi nya berhenti mengalun. Malam semakin larut, tamu semakin banyak berdatangan ke dalam ruangan itu untuk melihat penampilan nya. Mereka bahkan terang - terangan menatap penuh minat pada nya. Tidak heran, tubuh nya memang sangat menggoda, dengan bentuk tubuh bak gitar spanyol, dan beberapa bagian tubuh nya yang memiliki bentuk tubuh yang sempurna, yang sangat di idam - idam kan oleh wanita mana pun. "Ah, akhirnya selesai juga." Gruzeline menghela nafas saat dia sudah berpindah ruangan, wanita itu meregangkan tubuh nya yang terasa lelah. "Kau mendapatkan uang tips yang sangat banyak hari ini." Ucap seorang wanita yang tak lain adalah Madam May, pemilik dari klub malam tempat Gruzeline bekerja sebagai penari striptis. "Benarkah?" Tanya wanita itu. "Ya, dan ini semua untuk mu." Ucap Madam May, memberikan semua uang itu pada Gruzeline. "Kau yakin?" Tanya Gruzeline pada wanita paruh baya itu. "Tentu saja, agar kau cepat kaya." Sahut Madam May. "Hahahah..." Kedua nya tertawa bersama, seperti itulah mereka. Madam May juga selalu memperlakukan Gruzeline dengan sangat baik, wanita itu tidak pernah memaksa Gruzeline untuk melayani pria - pria yang datang. Dia tak ingin Gruzeline bekerja dengan terpaksa, begitu juga dengan pekerja wanita itu lainnya. Dan Gruzeline hanya menginginkan menjadi penari tanpa harus melayani pria - pria itu, tentu saja dia mengizinkan nya. "Baiklah, aku akan mengambil uang nya." Ucap Gruzeline mengambil uang itu dan memasukkan nya ke dalam tas milik nya. Madam May hanya mengangguk, wanita itu kembali menghisap rokok nya. Gruzeline bangkit untuk berganti pakaian, " Besok, ayo belanja. Aku yang akan mentraktir mu. " Ucap wanita itu dengan tangan yang sibuk mengancingkan pakaian nya. "Benar kah? Ini yang aku suka dari mu, kau tak pernah melupakan aku di saat kau mendapat kan banyak uang." Ucap Madam May. Memang pada dasarnya Gruzeline selalu berbagi pada wanita itu saat dia mendapat kan bayaran tinggi, dan karena itu juga lah Madam May sangat memanjakan nya di bandingkan pekerja nya yang lain. " Ya, bersiaplah. Besok aku akan menjemput mu di rumah." Gruzeline meraih tas milik nya, wanita itu keluar dari ruangan itu setelah dia menghapus make up nya. "Ya, aku akan menunggu mu." Teriak Madam May karena Gruzeline sudah cukup jauh. Biasanya Gruzeline pulang jam empat pagi, tentu saja ia harus istirahat dan dari pagi hingga siang hari ia akan bekerja di kafe. Bekerja di kafe hanya sekedar pengalih perhatian, setidaknya agar ia tidak terlihat sebagai pengangguran yang mempunyai banyak uang. Wanita itu melambaikan tangan nya pada rekan - rekan nya yang masih bekerja. Pada saat dia dalam penampilan seperti ini, yang tertutup dan juga wajah natural tanpa make up, orang - orang yang berlalu lalang hanya menyangka jika dia adalah salah satu pengunjung, bukan lah pekerja. Dan sedikit informasi, Gruzeline selalu menggunakan make up tebal untuk sedikit menyamarkan identitas nya. Selain karena dia ingin orang lain tidak mengenali nya saat sedang bekerja, dia juga merasa trauma pada seorang pelanggan klub yang hampir menculik nya saat dia pulang kerja. Maka dari itu, setiap dia pulang ke rumah, dia tidak pernah menggunakan make up sehabis tampil. "Berhati - hatilah Line, semoga kau beristirahat dengan nyenyak." Ucap salah satu rekan nya mencium pipi kanan dan kiri wanita itu meski tidak menempel. "Ya, kau juga. Jangan lupa untuk beristirahat." Sahut Gruzeline. Wanita itu melanjut kan langkah nya, dia keluar dari dalam klub dan menghampiri mobil nya yang terparkir di parkiran khusus pengunjung klub. Wanita itu langsung mengendarai mobil nya untuk segera pulang ke rumah. Jalanan kota begitu lenggang saat dini hari, kesibukan jalan belum lah di mulai pada dini hari. Meski begitu, dia tidak berani melaju kan kendaraan nya dengan kecepatan tinggi. Mobil milik nya memasuki area apartemen mewah di pusat kota Washington DC. Dia memarkirkan mobilnya di basement khusus penghuni apartemen, Gruzeline turun dari mobil, tak lupa dia membawa barang - barang nya. Wanita itu berjalan ke arah lift dan menekan tombol angka di nama lantai unit apartemen nya berada di lantai tersebut. Ting.... Pintu lift terbuka, Gruzeline keluar dari dalam lift dan berjalan ke unit apartemen miliknya. Wanita itu langsung membuka pintu, dia langsung menuju kamar nya dan merebahkan diri di kasur nya yang empuk. "Ah, nyaman nya." Gumam wanita itu dengan mata tertutup, Gruzeline mulai terlelap saat itu juga. . . . Pagi hari, jalanan kota benar - benar penuh akan kendaraan yang akan di gunakan oleh orang - orang yang akan berangkat bekerja ataupun pulang kerja. Mereka tengah menunggu lampu merah berubah hijau, dan di tengah menunggu itu, seorang pria di dalam mobil mewah tengah melakukan zoom meeting. "Huft," Pria itu menghela nafas setelah dia selesai melakukan zoom meeting. "Berapa lama lagi kita sampai di kantor?" Tanya pria itu pada sang supir. Bukan tanpa alasan dia bertanya seperti itu, pasalnya saat ini sang Ibu tiba - tiba sudah berada di perusahaan milik nya. Wanita tua itu sudah menunggu kedatangan nya, entah urusan apalagi sang Ibu menemui nya. " Sebentar lagi, tuan." Jawab supir itu dengan menambah kan sedikit laju kendaraan nya. Beberapa menit berlalu, akhirnya mereka sampai di perusahaan. Rafael turun dari mobil nya, dia memasuki kantor yang langsung di sambut oleh para karyawan wanita yang berlalu lalang. " Selamat pagi, tuan." Sapa Timothy, asisten sekaligus sahabat Rafael. "Hm," Jawab Rafael, kedua nya memasuki lift khusus petinggi... Timothy menekan nomor lantai dua puluh lima, dimana lantai ruangan Rafael berada. Kedua nya terdiam di dalam lift, tak ada perbincangan apapun mengenai pekerjaan. "Apakah Mama ada di ruangan?" Tanya Rafael pada Timothy. "Ya, Bibi sudah lama datang. Apakah kau terkena macet?" Jawab Timothy. Rafael hanya mengangguk, pria itu menatap jam yang melingkar di tangan nya. " Ku harap Mama segera pergi sebelum meeting di mulai." Gumam Rafael. Timothy yang memang sangat mengenal Ibu dan anak itu cukup merasa prihatin dengan keadaan Rafael kini, apalagi kedatangan sang Ibu yang dia yakini akan membahas hal yang sama seperti sebelumnya akan membuat Rafael sedikit jengah. Ting... Lift terbuka, kedua nya langsung keluar. Rafael langsung masuk ke ruangan nya untuk menemui sang Ibu, sedangkan Timothy pergi ke bilik kerja sekretaris Rafael untuk memberikan berkas. "Rafael," Panggil sang Ibu saat wanita tua itu melihat kedatangan nya. "Ma," Rafael langsung menghampiri wanita itu dan memeluk nya. Kedua nya berpelukan singkat, hanya sekedar melepas rindu. " Bagaimana kabar mu? Kenapa sudah jarang pulang ke rumah?" Tanya sang Ibu. "Hah, aku sedang banyak kerjaan Ma. Dan beberapa bulan terakhir, perusahaan baru saja mengeluarkan produk baru, aku tak bisa kembali ke rumah dalam waktu dekat, mereka masih membutuhkan ku." Jawab nya. Wanita tua itu hanya menghela nafas lelah, alasan yang di berikan putra nya itu selalu sama ketika dia meminta pria itu untuk pulang." Apakah tidak alasan lain yang lebih masuk akal, Rafael? " Tanya sang Ibu. Rafael menggeleng," Tidak ada, karena memang pada kenyataan nya itu lah yang terjadi." Jawab nya dengan santai. Nyonya O'niel menarik nafas panjang dan menghembuskan nya sedikit kasar," Baiklah, tapi Mama harap kau pulang saat adik mu kembali nanti. Dan jangan lupa untuk membawa calon menantu untuk Mama. " Wanita itu bangkit dari duduk nya. "Ma..." Keluh Rafael. "Tidak ada penolakan, kau sudah semakin dewasa. Usia mu sudah cocok untuk memiliki dua putra putri, tapi kau terus asik sendiri. Carilah wanita yang kau sukai sendiri, atau Mama akan mencarikan wanita itu kamu nikahi." Ucap sang Ibu tanpa bisa di bantah."Rafael," suara Nyonya O'niel terdengar tegas, namun diselingi kelembutan khas seorang ibu. "Kapan kau akan mengenalkan kekasihmu, Rafael? Bukankah kau sudah berjanji akan membawanya saat adikmu kembali?" Ia menatap putranya dengan tatapan penuh harap dan sedikit cemas. Cahaya siang hari menerangi ruangan mewah itu, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit tegang. Rafael, yang tengah sibuk dengan tabletnya, mengangkat wajahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Tenang saja, Mama," jawabnya, suaranya terdengar lebih santai dan percaya diri daripada biasanya. Ia meletakkan tabletnya dengan lembut di atas meja, menunjukkan sikap yang lebih perhatian dari biasanya. Namun, Nyonya O'niel masih terlihat curiga. Ia mengenal putranya terlalu baik untuk percaya begitu saja. "Jangan sampai kau membawa wanita bayaran lagi, Rafael," peringatnya, suaranya sedikit meninggi. "Jika kau melakukannya, aku akan memintamu untuk langsung menikah dengan putri temanku!" Ancaman itu disampaikan dengan
Dyon seketika menepi, menghentikan mobilnya di bahu jalan saat mendengar ucapan Fiona. Dengan cepat, dia menoleh ke belakang, menatap Gruzeline yang kini tampak seperti anak kecil yang tertangkap basah berbohong. "Mana, coba aku lihat," ucap Dyon, nada suaranya meninggi karena penasaran. Namun, Gruzeline langsung menutupi lehernya dengan tangannya, berusaha menyembunyikan sesuatu.Fiona menyerahkan ponselnya pada Dyon, memperlihatkan gambar yang baru saja dia ambil. Di sana, terlihat jelas bercak merah di leher Gruzeline, bukti yang tak bisa disangkal. Dyon mengambil ponsel itu dan mengamati gambar tersebut dengan seksama. "Kau sudah tidur dengan seseorang, Line?" tanya Dyon, suaranya terdengar dingin dan menusuk."Bagaimana cara aku menjelaskannya? Aku..." Gruzeline kebingungan, tidak tahu harus mengatakan apa tentang kejadian yang menimpanya, hingga akhirnya dia memiliki tanda kepemilikan itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya."Kau tinggal katakan yang sebenarnya! Atau a
Sinar matahari siang menerobos celah-celah tipis gorden kamar hotel mewah Rafael, menciptakan pola-pola cahaya yang lembut di atas lantai berkarpet tebal. Di atas kasur berukuran king-size, dua insan—Rafael dan Gruzeline—berpelukan erat, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka, kecuali selimut sutra tebal yang melilit tubuh mereka yang masih terjalin mesra.Gruzeline mulai menggeliat, merasakan sapuan nafas Rafael yang hangat dan lembut di tengkuknya. Sentuhan itu awalnya menenangkan, namun kemudian membuatnya sedikit tidak nyaman. Gruzeline meringis, merasakan perih yang menusuk di area kewanitaannya setiap kali ia bergerak. Kenangan kejadian semalam—kenangan yang penuh gairah dan intensitas—menyergapnya, membuat tubuhnya menegang."Kau sudah bangun?" Suara serak Rafael, yang terdengar seperti bisikan sensual, membuat Gruzeline tersentak. Ia merasakan pelukan Rafael semakin erat, membelenggu tubuhnya yang masih membeku.Rafael mengendus lembut tengkuk Gruzeline, mencium
Rafael baru saja menyelesaikan mandi air dinginnya, tubuhnya masih terasa dingin meskipun hawa panas masih terasa di kulitnya. Ia duduk di tepi ranjang, menunggu minuman yang dipesannya datang. Mungkin alkohol bisa sedikit meredakan rasa frustasi yang masih menggelayut di hatinya karena hasratnya yang tak tersalurkan. Rambutnya masih basah, tetesan air membasahi dada bidang yang hanya tertutup handuk putih tipis. Ketukan di pintu menginterupsi lamunannya. Ia mengira itu pelayan yang membawa minumannya. Namun, kejutan menyapa Rafael saat ia membuka pintu. Gruzeline berdiri di sana, mengenakan jubah tidur tebal berwarna pastel yang menutupi seluruh tubuhnya. Rambutnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang terlihat sedikit pucat. "Gruzeline, ada apa?" tanyanya, suaranya sedikit terkejut. Gruzeline terlihat gugup, tangannya memegang sebuah wadah berisi makanan ringan. "Aku tidak bisa tidur, dan… aku membutuhkan teman untuk berbincang," ucapnya, suaranya lirih dan malu-malu. Rafael
Gruzeline merasa panas sekali, tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Udara pengap di dalam mobil mewah itu terasa semakin menyesakkan. Ia mengipas-ngipasi wajahnya dengan tangan gemetar, mencoba meredakan hawa panas yang membakar kulitnya. Rafael menoleh, alisnya bertaut bingung. "AC mobil kurang dingin, Line?" tanyanya lembut, memperhatikan keringat yang membasahi dahi Gruzeline.Gruzeline menatap Rafael, tatapannya terpaku pada bibir pria itu yang baru saja berucap. Jantungnya berdebar kencang, sebuah keinginan liar tiba-tiba membakar pikirannya. "Tidak, tidak… apa yang kau pikirkan, Gruzeline?" gumamnya dalam hati, menggeleng pelan untuk menepis godaan yang menggelitik. Rambutnya yang terurai sedikit menutupi wajahnya yang memerah."Kau tidak apa-apa?" tanya Rafael lagi, kali ini dengan sengaja menyentuh kening Gruzeline. Sentuhan itu, sekilas saja, namun terasa seperti sengatan listrik yang mengalir di seluruh tubuh Gruzeline.Gruzeline menggigit bibir bawahnya, menahan desiran
"Bagaimana kau bisa ada di dalam?" Dylan, teman Rafael, bertanya dengan nada heran, alisnya terangkat tinggi. Lampu disko yang berkedip-kedip memantul di mata Dylan, membuat wajahnya tampak setengah gelap setengah terang.Rafael, terengah-engah, meminta bantuan Dylan untuk keluar dari ruang rias Gruzeline. Ia terkurung di dalam lemari—tempat persembunyiannya—sejak Gruzeline pulang. Riella dan Madam May masih berada di dalam ruangan itu, jadi ia tak berani keluar. Beruntung, Dylan kebetulan ada di klub malam itu. Bau alkohol dan parfum wanita masih tercium kuat di udara."Tak perlu bertanya. Terima kasih atas bantuannya," ucap Rafael singkat, menghindari tatapan Dylan. Ia buru-buru meninggalkan klub malam yang ramai dan berisik itu, langkahnya tergesa-gesa menuju mansion-nya.Malam ini, Rafael menemukan sesuatu yang mengejutkannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama lagi untuk bertindak. . . . Gruzeline sibuk membereskan barang-barangnya ke dalam koper kulit mewah. Ba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments