Dewa Mahendra, dokter muda yang berbakat, pewaris tunggal keluarga Mahendra. Sang adik tiri, Reza, yang selama ini diam-diam iri dan membenci Mahendra, bersekongkol dengan tunangan Mahendra sendiri, Sifa. Bersama-sama, mereka menyusun rencana jahat untuk membunuh dan mengambil seluruh harta Mahendra dengan membuat Mahendra mengalami kecelakaan. Namun, saat Mahendra membuka mata setelah kecelakaan, dia justru kembali ke masa sebelum pengkhianatan itu terjadi. Kali ini, keadaan Mahendra tidak lagi sama. Sebuah kekuatan supranatural entah bagaimana caranya kini mengalir dalam dirinya, Mahendra menjelma menjadi dokter jenius sejati. Hanya dengan sekali tatap, dia mampu melihat penyakit seseorang. Tak hanya itu, dia juga bisa menyembuhkan luka fatal dalam sekejap, bahkan memperbaiki organ rusak dalam operasi tak kasat mata. Di tengah upayanya bangkit dan membalas dendam, muncullah Fadia Al Zahra, Ratu Mafia Kota Raya. Fadia menawarkan sebuah kontrak pernikahan yang tak bisa ia tolak: "Selamatkan adikku. Aku akan membantumu menghancurkan semua musuhmu. Tapi mulai sekarang, kau milikku."
View MoreTing
Suara pesan masuk memecahkan perhatian dokter spesialis bedah bernama Dewa Mahendra, yang saat itu tengah memeriksa laporan kesehatan pasien yang akan dia operasi besok. Mahendra pun melepaskan kacamatanya kemudian mengambil ponselnya. Lelaki itu mengernyitkan dahinya saat melihat sebuah pesan video dari nomor tak dikenal masuk di ponselnya. "Nomor siapa ini?" gumam Mahendra Mahendra pun membuka pesan video itu tanpa rasa curiga sedikitpun. Saat video itu selesai terunduh. tangan Mahendra mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. Dalam videp itu, tunangannya, Sifa tengah bercumbu mesra dengan pria yang sangat dikenalnya. Reza. adik tirinya. "Reza… kamu lebih hebat dari Mahendra yang lemah itu." "Setelah lelaki bodoh itu mampus, semua hartanya akan menjadi milikku. Dan kita akan menikah." Napas Dewa memburu. Seluruh darah di tubuhnya seperti berhenti mengalir. Air mata menggenang di sudut matanya, namun tidak sampai menetes. Baginya, pantang seorang lelaki menangisi wanita pengkhianat seperti Sifa. "Brengseek kalian…!" desisnya. "Berani bermain-main denganku?!" "Kalian akan rasakan akibatnya!" Tak lama, ponselnya kembali berdering. Sebuah pesan berisi lokasi terkini muncul. Mahendra pun menekan tombol share lok itu. [Apartemen Reza.] Tanpa pikir panjang, Dewa mematikan komputer kemudian mengambil senjata yang dia simpan di laci ruang kerjanya. Mlam ini, kedua pengkhianat itu harus mati. Perawat yang melihat Mahendra keluar membawa pistol pun panik. "Dokter Mahendra! Anda mau kemana? Dan kenapa pakai bawa pistol segala?" teriak perawat bernama Ayu itu. Namun Mahendra tak menghentikan langkahnya. Dia terus melangkahkan kakinya dengan cepat. Matanya memerah menahan amarah. Rasanya, dia sudah tidak sabar ingin meledakkan kepala dua orang pengkhianat itu. Begitu sampai di parkiran, Mahendra pun membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Dengan kecepatan tinggi, dia lajukan mobil sport mewah miliknya hingga suaranya meraung di tengah malam. Dewa Mahendra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rintik hujan seolah ikut merasakan kepedihan hati Dewa. Saat ini, yang ada di pikirannya hanyalah cara untuk cepat sampai di apartemen Reza dan menghabisi dua orang itu. "Reza… Sifa… kalian pikir aku akan diam?! Dasar pengkhianat... Kalian berdua... harus membayar semua ini! Kalian belum tahu siapa Mahendra sebenarnya!” Matanya merah, nafasnya memburu. Kakinya terus menginjak pedal gas hingga jarum speedometer menunjuk angka 130 km/jam. Meski jalanan basah, licin, dan berkelok, tapi Mahendra tak peduli. Dia terus saja menambah kecepatan mobilnya. Mahendra menekan pedal gas lebih dalam saat traffic light berwarna kuning. Namun tiba-tiba, lampu berubah merah saat kendaraan Mahendra baru saja melewati batas garis. Naas, dari arah tikungan, sebuah truk besar melintas secara tiba-tiba! Mata Mahendra membelalak. “Ohh Sh*t!” Refleks, kakinya menghantam pedal rem sekuat tenaga. Tap... Tap... Meski dia telah menginjak pedal itu sekuat tenaga, tetapi mobilnya tak berhenti. Sepertinya pedal rem itu... "Brengsek! Siapa yang memotong kabel rem-ku?' Jantung Mahendra nyaris berhenti. Tangannya cepat membanting setir ke kiri untuk menghindari tabrakan frontal. Ban mobilnya berdecit hebat, mobilnya nyaris tergelincir. Namun malapetaka itu belum berakhir. Saat ia berbelok tajam, dari arah berlawanan, sebuah sedan hitam melaju kencang tepat ke arahnya! BRAKKKK!!! Benturan keras menghantam sisi kanan mobil Mahendra. Tubuhnya terhempas ke kiri. Kepalanya menghantam stir. Kaca depan pecah berserakan. Mobilnya terbalik dan terseret hingga beberapa meter. Asap hitam mulai mengepul dari kap mobil bercampur bau bensin yang mulai menyengat. Didalam mobil, Mahendra yang masih sadar berusaha membuka pintu. Pandangannya sedikit buram karena darah terus menetes dari pelipisnya. Tak ingin mati konyol, Mahendra pun mencoba menggerakkan kakinya. Namun sayang, kakinya tidak bisa bergerak karena terjepit mesin mobil yang merangsek ke dalam. Mahendra pun berusaha meminta bantuan warga sekitar dengan berteriak, "Tooloong...." Mungkin, karena suaranya lirih, tak ada seorang pun yang mendngar teriakannya. Mahendra pun berinisiatif memanggil bantuan dengan mengambil ponselnya dan menelepon Rudi sahabatnya. Namun sayang, ponsel Mahendra dalam keadaan mati karena kehabisan daya. "Shit! Kenapa dia harus mati disaat seperti ini." Mahendra mencoba melepas sabuk pengamannya. Mencoba untuk bergerak. Namun sayang ledakan kecil dari bagian belakang mobil mulai menjalar ke tangki bensin. Pasrah dengan keadaannya, Mahendra pun berdoa, "Tuhan, tolong beri aku satu kesempatan untuk membalas perbuatan mereka...." Sebelum dia menutup, dia melihat dua sosok tersenyum memandangnya dari kejauhan. Mereka adalah Reza... dan Sifa. Mahendra ingin berteriak, namun suaranya terkunci. "Kalian akan merasakan balasaku nanti!"" DUARR!! Perlahan, kesadarannya menghilang... Dan semuanya gelap. *** Ruang Autopsi RS Bhayangkara, 21.47 WIB Fadia berdiri tegak di samping meja baja tahan karat. Di atasnya terbaring jenazah seorang lelaki—atau lebih tepatnya, sisa-sisa tubuh yang terbakar hampir tak dikenali. Fadia menarik napas panjang di balik masker bedahnya. “Korban laki-laki, usia kira-kira tiga puluh lima tahun,” gumamnya, mencatat di papan klip. “Identifikasi awal berdasarkan hasil pencocokan gigi: Dokter Dewa Mahendra.” Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh pinggiran kain putih yang menutupi tubuh itu. Dengan perlahan, ia menariknya hingga memperlihatkan wajah korban—atau apa yang tersisa darinya. Luka bakar derajat tiga meliputi hampir seluruh tubuh. Kulit melepuh, daging hangus. Hanya satu sisi wajah yang sedikit tersisa, menampakkan garis rahang kokoh dan alis tebal yang dulu, mungkin, membuat banyak wanita terpikat. “Ya Tuhan, Dokter Dewa…” bisiknya. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” Ia tak seharusnya merasa seperti ini. Fadia sudah biasa menghadapi mayat setiap hari—tubuh hancur, kepala terpisah, bahkan bayi yang dibuang dalam plastik. Tapi ini… ini berbeda. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Mungkin karena dia tahu siapa yang kini terbaring tak bernyawa itu. Dewa Mahendra bukan sekadar nama. Ia adalah legenda di dunia medis. Dokter bedah dengan rekor penyelamatan terbanyak, pernah menjadi pembicara di kongres internasional, dan juga… pria yang pernah menolak tawaran bekerja di luar negeri demi membuka rumah sakit gratis di desa terpencil. "Kenapa orang seperti kau harus mati seperti ini?" lirih Fadia, mengelus ringan rambut yang tersisa di pelipis jenazah. Pintu ruang autopsi berderit. Seorang pria berseragam polisi masuk, membawa map cokelat. “Dokter Fadia, hasil investigasi awal. Mobil korban meledak di tanjakan Cipanas. Diduga sabotase.” “Sabotase?” Fadia menoleh cepat. Matanya mengerut. “Ya. Ada jejak bahan peledak di kap mesin. Dan juga kabel rem yang putus.” Fadia memalingkan wajah ke tubuh Dewa lagi. “Siapa yang ingin membunuh dokter sebaik ini?” Ia menatap dalam pada jenazah, seolah berharap si mayit akan bangun dan menjawab. Namun yang dia dapati hanya keheningan. Setelah mencatat semua keterangan Fadia, polisi itu pun pergi. Fadia pun menyelesaikan semua tugasnya. Setelah itu dokter cantik itu pun melepas sarung tangan karetnya lalu membuangnya ke dalam tong sampah dan pergi meninggalkan ruang otopsi itu. Dan saat semua orang telah pergi, Mahendra terbangun."Kita lihat, bagaimana tanggapan ayah tercintamu saat melihat anak kesayangannya ada padaku?" kata Fadia saat wanita itu baru saja tiba di markas setelah memenuhi panggilan dari rumah sakit. Angel duduk terikat di kursi besi. Wajahnya lebam, darah mengalir dari pelipisnya. Di sampingnya, salah satu anak buah Fadia memegang senjata.Fadia berdiri tegak di hadapan Angel. Wajahnya dingin. Dia mengangkat ponselnya, menekan nomor Rocky.“Angkat, Rocky. Lihat siapa yang sedang gelisah di depanku.”Panggilan pun tersambung. Suara Rocky terdengar santai dan sinis dari seberang. “Fadia ... Kau masih hidup rupanya. Apa kabar gadis nakal itu?”“Anakmu sedang menjerit minta tolong. Aku hanya perlu satu peluru untuk mengakhirinya," kata Fadia sambil mengarahkan kamera ponselnya pada wajah Angel.“Papa! Tolong aku! Aku nggak sanggup! Aku salah, aku mohon …” jerit Angel dengan air mata yang bercucuran di wajahnya.“Dan kau pikir aku peduli?" sahut Rocy dengan nada datar dan dingjn.Fadia mengerutka
"Mmpphhh!" Seseorang tiba-tiba membekap mulut Fadia saat wanita itu berjalan ke arah mobil.Lelaki itu menyeretnya masuk ke dalam mobil. Disana, ada empat pria bertopeng dan bersenjata. Fadia bisa saja menarik pistol di balik jaket kulitnya dan menghabisi mereka semua. Namun, matanya sempat menangkap sesuatu. Logo kecil yang ada di jaket salah satu pria itu. Mata Fadia menyipit, mencoba mengingat-ingat, dimana dia pernah melihat logo itu. Namun, hingga beberapa menit, Fadia beli bisa mengingatnya.“Cepat! Buruan jalan! Bos sudah menunggu kita di markas!” teriak salah satu pria bertubuh besar.Fadia tak melawan. Dia membiarkan mereka membawanya. Sudut bibirnya tersenyum tipis. “Jadi ini permainan kalian …”---mereka pun sampai di sebuah gudang kosong, Fadia diikat di kursi dengan kedua tangan di taruh di belakang. Di sekelilingnya, lima pria berjaga, lengkap dengan senjata.Seorang wanita berambut pirang masuk dengan langkah tegas. Angel."Seharusnya kamu tidak mengusik kebersamaanku
"Apa yang kamu lakukan di apartemen suamiku?" suaranya terdengar tegas, datar, tapi tajam seperti pisau. Namun hal itu tak membuat Angel takut. Wanita ituhanya mengangkat bahunya santai, lalu mengibaskan rambutnya ke belakang. Tak lupa, dia tampilkan senyum sinis penuh ejekan."Aku hanya ke kamar kecil. Memangnya tidak boleh? Kamu tahu kan, setelah kita melakukan kegiatan intim, pastinya kita merasa tidak nyaman di bagian 'itu' kalau tidak segera mencucinya," jawab Angel sengaja menyelipkan provokasi dalam setiap katanya.Mahendra langsung tersentak, wajahnya pucat pasi.“Fadia, itu tidak benar!” serunya, sambil menggelengkan kepala. “Jangan percaya ucapannya. Kami tidak melakukan apa-apa. Dia hanya numpang ke kamar mandi tadi, aku bersumpah!”Fadia menoleh menatap suaminya, matanya mencari dan menggali—apakah ada kebohongan tersembunyi di wajah Mahendra. Tapi sejauh matanya menatap, dia hanya menemukan kejujuran … dan rasa bersalah. Tanpa berkata apa-apa, Fadia melangkah mendekat,
“Mahendra, jangan sok setia. Fadia itu hanya memperalatmu!” Mahendra menunduk, menahan emosi. “Mungkin. Tapi aku akan tetap menepati janjiku.” Angel memicingkan mata saat Mahendra berdiri dari kursi dan bersiap pergi. Dalam satu gerakan cepat, dia meraih lengan pria itu dan menahannya. “Mahendra … jangan bodoh.” Suaranya terdengar pelan, tapi penuh tekanan. “Kau tahu dia hanya memperalatmu, kan?” Mahendra menatap Angel tajam, namun tak langsung menarik lengannya. Angel melangkah lebih dekat, mempersempit jarak di antara mereka. “Dia hanya ingin kamu menyembuhkan adiknya yang sekarat,” lanjut Angel. “Setelah itu, apa yang dia lakukan untukmu? Tidak ada, Mahendra. Bahkan adik tirimu, Reza—bisa menjual semua aset warisan ayahmu, dan dia … wanita yang kau bela itu, bahkan tidak berbuat apa-apa untuk menghentikannya.” “Cukup, Angel.” Mahendra menegakkan badan. Suaranya terdengar tegas. “Tunggu dulu,” Angel menarik napas dalam. “Apa dia pernah membantu mengungkap pengkhianata
"Bisa kita bertemu? Kudengar, kamu sedang tersandung masalah hukum. Mungkin, aku bisa memberimu solusi. Tanpa syarat apa pun." Mahendra mengernyitkan dahinya saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Angel terlihat disana. Meski sebenarnya Mahendra malas menanggapinya, tapi, rasa penasaran akan maksud gadis itu membuat Mahendra membuka aplikasi berlogo hijau itu. Matanya menyipit saat membaca pesan itu. Tangannya bergerak, jari-jarinya mengetik jawaban tanpa berpikir panjang: "Di kafe Pemuda. Besok jam 9 pagi." Tak lama, di tempat lain, Angel tersenyum menyeringai saat membaca balasan itu. Duduk di depan meja riasnya, dia menatap bayangannya di cermin. “Akan aku pastikan, kamu menjadi milikku, Mahendra,” bisiknya penuh kemenangan. “Fadia takkan bisa memberimu apa-apa, selain cinta bodoh dan air mata. Sedangkan aku? Aku punya segalanya.” --- Esok paginya, pukul 09.00 di Kafe Pemuda Mahendra datang dengan setelan kasual abu-abu, wajahnya letih namun tetap tampak tegas. Angel
"Fadia?" Sifa tercekat, matanya melebar tak percaya saat melihat wanita itu tiba-tiba ada di apartemennya. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana kamu bisa masuk ke apartemenku?"Fadia hanya menoleh perlahan dan tersenyum, senyum tipis namun menusuk. “Ternyata kamu masih menyimpan ini,” katanya sambil mengangkat foto Sifa dan Mahendra saat masih bertunangan. "Kamu masih mencintainya?"Sifa melangkah masuk dan menutup pintu keras-keras. Matanya waspada. “Jawab pertanyaanku! Bagaimana kamu bisa masuk? Aku sudah ganti password sejak putus dari Mahendra! Kau menjebol pintuku?!”“Aku hanya memanfaatkan celah sistem keamanan apartemen ini. Sayang sekali, kamu hanya mengganti password tapi tidak mengganti sistemnya.” Fadia meletakkan foto itu kembali ke rak, lalu duduk di sofa seolah apartemen itu miliknya.“Apa maumu?” Sifa mendesis tajam, tangannya mengepal di samping.“Aku ingin bicara. Secara pribadi. Soal Mahendra.” Fadia menatap Sifa lurus-lurus. “Dan soal file yang telah kamu curi.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments