Home / Romansa / Memory / Bab 2 Pertemuan Kembali

Share

Bab 2 Pertemuan Kembali

last update Last Updated: 2021-10-21 10:13:39

Hari sudah bergulir sore. Sisi gelap mulai merangkak perlahan. Aku menyurukkan wajah di atas meja, dada ini serasa dipukul godam berkali-kali. Ini semua salahku, terlalu sibuk bekerja. Tidak memperhatikan Amanda dengan baik.

Bekerja di toko roti menuntutku bekerja dua shift. Amanda sering menghabiskan waktu sendiri di rumah. Pontang-panting aku mencukupi kebutuhan hidup kami berdua.

Aku mendengar suara Amanda yang berbalasan dengan suara Dewi. Kemudian suara kenop pintu terbuka, dan langkah kaki yang mulai mendekat.

"Mama, kenapa tidur di meja makan?"

Aku mendongak. "Dari mana saja sampai pulang sore?"

"Oh, nonton pertandingan basket antar sekolah," jawab Amanda sembari melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Aku beranjak dari kursi, berjalan pelan ke kamar tidur Amanda. Kudapati dia berdiri termangu, menatap nanar barang-barang mahalnya yang berserak di lantai.

"Jawab dengan jujur, kamu memperoleh barang-barang itu dari mana?"

"A-ku ... Ma-ma ...." Jelas sekali Amanda kelu dan bingung harus menjawab apa.

"Jawab, Manda!" hardikku marah.

Amanda masih bergeming.

"Jawab!"

"Dari Om Dala." Suara Amanda sedikit bergetar.

"Siapa Om Dala?"

"Dia temanku."

Aku berjongkok, mengambil semua barang-barang mahal yang tercecer. "Mama akan mengembalikan semua barang ini."

"Jangan, Ma!" protes Amanda. "Itu milikku."

"Dengan cara apa kamu mendapatkan barang-barang ini? Dengan cara ...." Aku menjeda sebentar, menghela napas panjang. "Dengan cara menjual diri?"

"Aku tidak menjual diri, Ma. Aku hanya menemani Om Dala jalan-jalan," sanggah Amanda berani.

"Yang kamu lakukan itu salah, Manda! Sekarang hanya jalan-jalan, besok dia bisa minta lebih. Tidak ada yang gratis di dunia ini, Manda!" jeritku yang tidak bisa mengontrol emosi. "Untuk mendapatkan barang-barang seperti ini kamu harus belajar tekun. Bekerja!"

"Aku tidak peduli, Ma. Aku bosan dengan kondisi kita. Aku bosan dengan baju lusuh dan sepatu yang solnya sudah tipis. Aku bosan dengan ponsel bekas," sahut Amanda.

Tenang, Hasna ... tenang. Aku mencoba menetralisir amarah yang mengalir deras.

"Mama akan berusaha membelikan apa yang kamu mau, tetapi kamu harus bersabar," ucapku.

"Dengan gaji Mama yang hanya pelayan toko roti ... sampai kiamat pun tidak akan terbeli!"

"Namun, berkah dan halal ...." Sekuat tenaga aku bersabar dengan sikap Amanda. 

"Kenapa Mama tidak menikah lagi? Mama masih cantik, bisa menggaet lelaki kaya raya ...." 

Plak!

Satu tamparan kudaratkan di pipi Amanda.

"Mama bukan perempuan pemburu lelaki kaya, dengan kedua tangan ini, Mama bisa berjuang mengais rezeki."

Amanda mengusap pipinya, mata bening itu mulai berkabut.

"Maafkan Mama, Manda ...." Aku meraih tas ransel Amanda, mengambil ponsel miliknya. "Mama harus mengembalikan semua barang-barang ini. Sementara ponselmu mama pegang."

"Aku benci Mama! Aku menyesal telah dilahirkan!" caci Amanda, dia membanting pintu setelah aku melangkah keluar kamar.

Aku sendiri luruh dalam tangis. 

***

Aku mengirim pesan pada lelaki yang bernama Om Dala, berpura-pura sebagai Amanda--bahwa aku ingin menemuinya. Dia memutuskan bertemu di sebuah restoran mewah.

Sebelum pergi, aku mengecek Amanda, dia tengah tertidur pulas. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. 

Aku menatap bayangan diri di kaca jendela taksi yang meluncur di jalanan basah. Cuaca sangat tidak menentu, biru sempurna bisa berubah hitam pekat dalam hitungan jam. 

Tepat pukul 20.15 aku sampai di restoran. Pelayan restoran menyoroti penampilanku. Kaus sweater dengan padanan kulot jeans dan sepatu slip on yang agak basah--menampakkan sekali berasal darimana kelasku di dunia ini. Namun, saat aku menyebut nama Dala, si pelayan berubah sedikit ramah. Hanya sedikit.

Aku kemudian diantar ke meja yang sudah di reservasi. Tepat di pinggir jendela, hingga aku bisa melihat pemandangan kota pada malam hari.

"Selamat malam."

Kualihkan pandangan dari jendela. Lelaki berbadan tegap berdiri menjulang di hadapanku.

"Ya ...."

"Mungkin Anda salah meja," ucapnya santun.

"Tidak." Aku mengamati lelaki yang kira-kira usianya hampir kepala empat. "Apa Anda yang bernama Dala?" 

"Iya," sahutnya singkat.

"Saya orang tua Amanda." Aku menaruh semua barang pemberian Dala di meja. "Saya hanya ingin mengembalikan ini semua. Dan mulai sekarang tolong jauhi putri saya. Carilah perempuan yang sepantaran dengan Anda," lanjutku sembari berdiri.

Dala hanya menatapku.

"Selamat malam." Aku bangkit dari kursi, segera beranjak dari hadapan Dala.

"Hasna ... apa kau tidak ingat denganku?"

Aku tidak menoleh, tetap melangkah ke luar restoran. Hujan deras masih mengguyur dengan konsisten. Aku berlari menuju taksi yang tengah menurunkan penumpang. Langsung merangsek masuk. Aku menyebutkan alamat tujuan pada sopir.

"Hasna!" tangan Dala mengetuk jendela taksi.

"Jalan, Pak. Abaikan saja," ucapku.

Mobil melaju meninggalkan pelataran restoran, aku menoleh sebentar lalu mengatur napas supaya beritme normal.

Abimanyu Mandala. Tentu aku mengingatmu. Aku ingat setiap tetes luka yang pernah kau toreh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Memory   Bab 37 I Love You (END)

    Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan

  • Memory   Bab 36 Gamang

    "Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor

  • Memory   Bab 35 Reality Show

    Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.

  • Memory   Bab 34 Malam Bersama

    Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan

  • Memory   Bab 33 Otw Pingsan

    Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p

  • Memory   Bab 32 Menikah

    Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status