"Dibayar?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ilona. Seperti sebuah harapan di tengah keterpurukannya. Seperti mata air di tengah padang pasir yang kering kerontang. Setelah semua yang menimpanya, setelah dirinya dicampakkan dan kehilangan segalanya, mendapatkan pekerjaan adalah sebuah kemewahan yang tak pernah ia bayangkan. "Iya. Kau akan dibayar, tinggal di rumah kami, dan semua kebutuhanmu akan dipenuhi," ujar wanita itu dengan nada tegas, lebih tepatnya ketus. "Baiklah," jawab Ilona cepat, tanpa berpikir panjang. Wanita itu mengangguk, lalu memperkenalkan dirinya secara resmi. Bira. Nama yang terasa asing bagi Ilona, tapi entah mengapa memberi getaran aneh dalam hatinya. Ilona tak tahu bahwa keputusannya ini akan mengubah hidupnya. Ia memang terbebas dari makian Nyonya Mike, wanita yang selama ini menindasnya, tapi apakah Nyonya Bira akan memperlakukannya dengan baik? Ataukah ia justru melangkah ke dalam bahaya yang lebih besar? Ruangan perawatan itu terasa begitu sunyi. Dinding putih bersih seolah mengejeknya, mencerminkan kehampaan yang kini melingkupinya. Ia masih terlalu lemah setelah persalinan yang menyakitkan. Bayinya… sudah tiada. Hatinya terasa kosong. Ceklek! Suara pintu terbuka memecah kesunyian. Di ambang pintu, Nyonya Bira berdiri dengan angkuh. Tatapannya tajam, tanpa ekspresi hangat sama sekali. "Kita pulang!" katanya ketus. Ilona menoleh dengan kaget. Pulang? Dia pikir wanita itu hanya ingin dia menyusui cucunya sekarang, tapi malah mengajaknya pulang. Sedangkan dia masih lemah, infus saja masih terpasang di tangannya. "Tapi saya masih dalam perawatan..." Ilona mencoba menjelaskan. Tubuhnya masih lemah, ia bahkan belum benar-benar pulih. "Saya sudah bicara dengan perawat," potong Nyonya Bira dingin. "Mereka bilang kau hanya tinggal pemulihan, tidak ada masalah apa pun! Jadi, kau bisa pulang. Saya sudah mengurus semuanya." Ilona mematung. Wanita ini begitu dominan dan penuh pemaksaan. Dia tidak peduli dengan kondisi Ilona, yang terpenting baginya adalah cucunya. Hatinya ingin menolak. Tapi kemudian ia teringat bayi mungil itu—Mayumi. Bayi yang tadi tertidur dengan tenang di pelukannya, seolah menemukan rasa aman yang tak ia dapatkan sebelumnya. Wajah polos itu menarik Ilona untuk ikut dalam arus yang Nyonya Bira ciptakan. Akhirnya, meski tubuhnya masih lemah, Ilona menerima takdir ini. Ia naik ke dalam mobil bersama Nyonya Bira, menuju rumah yang tak ia kenal. Nyonya Bira bahkan tidak bertanya apakah Ilona memiliki keluarga, suami atau apapun. Rumah itu begitu megah. Bangunan tiga lantai dengan pilar-pilar kokoh, mencerminkan status keluarga kaya raya yang menempatinya. Ilona bahkan ragu apakah ia pantas berada di sini. Dan rasanya cukup trauma tinggal bersama keluarga kaya. Ia langsung diberi tugas. Meski masih lemah, ia tetap dipaksa menggendong Mayumi. "Mulai sekarang, kau adalah ibu susu dan pengasuhnya," ucap Nyonya Bira tanpa basa-basi. Ilona hanya bisa mengangguk pasrah. Tangannya dengan lembut membelai kepala Mayumi yang masih tertidur. Setidaknya, jika ia bisa menjadi sesuatu bagi bayi ini, mungkin ada sedikit tujuan dalam hidupnya yang sudah hancur. Namun, langkahnya terhenti saat ia melangkah masuk ke dalam rumah. Pandangannya membeku ketika melihat seorang pria berdiri di ambang pintu. Sosok yang tak asing. Seseorang yang dulu pernah begitu dekat dengannya. Egar. Dada Ilona seketika terasa sesak. Laki-laki itu… dia tidak mungkin lupa. Dahulu, Egar adalah cinta pertamanya. Mereka pernah berbagi mimpi saat masih SMA. Namun, takdir memisahkan mereka, meninggalkan luka yang cukup dalam. Tatapan Egar langsung tertuju padanya. Matanya menyiratkan kebingungan melihat ibunya pulang membawa orang asing. "Ma, dia siapa?" tanyanya pada Nyonya Bira, suaranya terdengar curiga. "Dia ibu susu dan pengasuh Yumi. Anakmu itu tidak mau diam, dengan dia baru mau diam," jawab Nyonya Bira santai. Egar tampak bingung. "Tapi, kita tidak menge-nalnya…" Namun, kata-katanya terhenti saat mata mereka bertemu. Ilona melihat bagaimana wajah Egar berubah. Dari bingung, menjadi syok. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. "Ilona?" suara Egar lirih, penuh keterkejutan. Ilona hanya menunduk, tak sanggup menatapnya lebih lama. Detik itu, Ilona sadar. Keputusan yang diambilnya bukan hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga akan membangkitkan luka lamanya. Mengapa dia harus kembali bertemu Egar?Hujan sore itu turun perlahan, seperti ingin menyelaraskan suasana hati Ilona yang masih berkecamuk. Meskipun tubuhnya duduk diam di ruang tamu, jiwanya masih berputar antara amarah, harapan, dan kebingungan. Di hadapannya, duduk seorang pria sederhana yang mengaku sebagai ayah kandungnya—Rudy Prasetyo.Ia tak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Selama ini, Ilona hanya mengenal gelapnya rahasia tentang asal-usul dirinya. Ia tumbuh tanpa tahu siapa orang tua kandungnya. Sekarang, tiba-tiba muncul lelaki dengan mata berkaca-kaca yang memanggilnya "Nak" dengan suara bergetar.Ilona ingin mempercayai, namun hatinya masih membeku. Luka-luka masa lalu seperti belum memberi izin untuk sembuh.Tiba-tiba, suara lembut yang tak asing memecah keheningan."Mama di sini, Ilona."Ilona langsung menoleh. Suara itu—ya Tuhan—itu suara yang sangat ia kenal. Tapi tidak… itu tidak mungkin.Namun kenyataan menamparnya manis saat sosok Anita, perempuan yang lebih dulu mengakui sebagai ibu kandu
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m