"Hah? Apa?" Wanita itu menatap Ilona dengan kesal, matanya tajam dan penuh curiga.
Itu wajar, kan? Toh mereka tidak saling kenal, tiba-tiba saja dia menawarkan menyusui anak tersebut. Perkara susu menyusui kan bukanlah hal yang biasa. "Kasihan dia kelaparan," jawab Ilona lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh tangisan bayi yang berada dalam gendongan wanita itu. Wanita itu menunduk, menatap bayi yang terus menangis, wajahnya sudah memerah, suaranya mulai melemah. Ia terlihat kelelahan, tangisannya tak lagi kencang, hanya rintihan kecil yang menyayat hati. Wanita itu juga tampak kesal dan frustasi, entah sudah berapa lama dia tidak berhasil menenangkan bayi yang malang itu. "Apa yang kau inginkan?" suara wanita itu dingin, seolah tak ingin berurusan dengan Ilona. Dia begitu waspada. Mungkin takut Ilona punya niat buruk. Ilona menggigit bibirnya. "Saya baru saja melahirkan… anak saya meninggal," ucapnya dengan suara bergetar. Wanita itu mendongak, menatap Ilona dari atas hingga bawah. Ada keheningan di antara mereka, seolah wanita itu sedang menimbang-nimbang sesuatu. Tapi sebelum ia bisa berbicara, tangisan bayi kembali menggema, membuat wajah wanita itu semakin keruh. Dengan gerakan ragu, wanita itu akhirnya menyerahkan bayi itu ke Ilona. "Ini, coba susuin kalau dia mau! Sejak tadi dia tidak mau diberi susu." "Pastinya tidak mudah. Dia mewariskan sekali sifat buruk ibunya. Sulit diatur!" sambungnya menggerutu. Entah apa kesalahan ibu dari bayi ini, sehingga sudah meninggal pun tidak membuat wanita paruh baya ini bersedih. Ilona menerima bayi itu dengan hati-hati. Dan ajaib—begitu berada di pelukannya, tangisan bayi itu langsung mereda. Ia hanya menatap Ilona dengan mata mungilnya yang jernih sebelum kembali memejamkan mata. Wanita itu terbelalak. "Kau pakai ilmu?" tanyanya, kesal sekaligus curiga. Bagaimana mungkin baru digendong saja sudah diam. Padahal sejak tadi dia menggendongnya, dan bayi itu sama sekali tidak mau diam. Terus menangis sampai membuat kepalanya rasa mau pecah. Ilona tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa kosong. "Gak ada, Bu." Dengan lembut, Ilona mulai menyusui bayi itu. Bayi mungil itu langsung mengisap ASI dengan lahap, tubuhnya yang tegang perlahan melemas, tenggelam dalam ketenangan. Ilona menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Dia memang sudah sangat lapar," lirihnya dan tanpa terasa air matanya jatuh. Ini rasanya menjadi ibu, ada perasaan yang sulit diungkapkan ketika mulut kecil itu bergerak perlahan mengisap makanannya. Ia mengelus pipi bayi itu dengan penuh kasih. "Dia sudah tidur," bisiknya. Ilona menatap wajah mungil itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Anak ini begitu malang, kehilangan ibunya bahkan sebelum mengenalnya. Tapi bukankah ia juga sama? Dunianya juga telah hancur, anaknya pergi bahkan sebelum sempat ia dekap lebih lama. Anaknya belum sempat menikmati udara bebas ini. Mungkin anaknya tahu kalau hidup di dunia ini akan penuh dengan penderitaan. Dengan berat hati, Ilona menyerahkan kembali bayi itu kepada neneknya. "Terima kasih," ucap Ilona dengan tulus karena wanita itu telah mempercayainya menyusu anak itu. "Hmmm!" Ilona hanya tersenyum kecil, lalu berbalik, berjalan pelan kembali ke kamarnya. Namun, baru beberapa langkah, suara wanita itu menghentikannya. "Tunggu!" Ilona menoleh. "Ada apa, Bu?" Wanita itu terdiam sejenak, seperti sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Kemudian, dengan suara mantap, ia berkata: "Jadilah ibu susu untuk anak ini!" Ilona membeku. Ia menatap wanita itu, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Tapi wanita itu menatapnya dengan serius, tak ada keraguan di matanya. Meskipun wajah sombong dan arogan masih terlihat jelas. Ilona menelan ludah. "Bu, saya…" "Kau yang telah membuat masalah, setelah ini dia pasti akan semakin sulit ditenangkan. Sejak tadi dia menolak susu formula, tapi denganmu, dia langsung diam. Kau harus bertanggung jawab!" Ilona menggigit bibirnya. Ia baru saja kehilangan anaknya, dan kini, seseorang memintanya untuk menjadi ibu bagi bayi lain. Bukankah ini seperti takdir yang mempermainkannya? Ia menatap bayi itu sekali lagi. Wajah mungilnya begitu damai dalam tidur, dadanya naik turun dengan nafas teratur. "Aku akan membayarmu setiap bulan, anggap saja kau bekerja denganku!" sambung wanita itu."Dibayar?"Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ilona. Seperti sebuah harapan di tengah keterpurukannya. Seperti mata air di tengah padang pasir yang kering kerontang. Setelah semua yang menimpanya, setelah dirinya dicampakkan dan kehilangan segalanya, mendapatkan pekerjaan adalah sebuah kemewahan yang tak pernah ia bayangkan."Iya. Kau akan dibayar, tinggal di rumah kami, dan semua kebutuhanmu akan dipenuhi," ujar wanita itu dengan nada tegas, lebih tepatnya ketus."Baiklah," jawab Ilona cepat, tanpa berpikir panjang.Wanita itu mengangguk, lalu memperkenalkan dirinya secara resmi. Bira. Nama yang terasa asing bagi Ilona, tapi entah mengapa memberi getaran aneh dalam hatinya.Ilona tak tahu bahwa keputusannya ini akan mengubah hidupnya. Ia memang terbebas dari makian Nyonya Mike, wanita yang selama ini menindasnya, tapi apakah Nyonya Bira akan memperlakukannya dengan baik? Ataukah ia justru melangkah ke dalam bahaya yang lebih besar?Ruangan perawatan itu terasa begitu sun
"Iya," jawab Ilona gugup. Ilona tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi ibu susu untuk anak mantannya. Dulu, Ilona dan Egar menjalin hubungan yang cukup lama, sejak kelas dua hingga kelas tiga SMA. Ilona masuk ke sekolah itu dengan beasiswa karena kecerdasannya, jika mengandalkan uang dia tidak akan mampu, sekolah itu cukup terkenal dengan sebutan sekolah anak orang kaya. Dan ternyata, kepintarannya itulah yang membuat Egar mendekatinya. Ia pikir Egar mencintainya, tapi ternyata, itu semua hanya kebohongan. Setelah ujian akhir, Egar memutuskannya dengan cara yang paling kejam. "Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya memanfaatkan kepintaranmu. Buktinya, aku berhasil masuk sebagai juara dua." Ucapan itu masih terpatri jelas di benak Ilona, meski bertahun-tahun telah berlalu. Ia masih bisa mengingat bagaimana teman-teman mereka tercengang mendengar kata-kata itu. "Kau kejam sekali, Egar," ujar salah satu temannya sambil tergelak. "Kalau kalian mau dia, ambil saja. Belu
"Ya Allah, kuatkan aku selama enam bulan ini," gumam Ilona lemah saat Egar akhirnya keluar dari kamar.Dia mengelus dada membayangkan harus bertemu Egar selama itu. Dia akan menjaga jarak, itulah tekadnya.Lelaki itu hanya melihat putrinya sebentar. Tidak menggendong, tidak menyentuh. Hanya menatap Yumi sekilas, namun tatapan itu begitu dalam.Mungkin, saat melihat wajah Yumi, dia teringat istrinya.Ilona sempat mendengar dari salah satu pembantu yang sempat ke kamarnya tadi, bahwa Egar dan istrinya dulu saling mencintai. Namun, hubungan mereka terhalang restu. Bukan karena kemiskinan, tapi karena persaingan bisnis yang membuat keluarga mereka bermusuhan. Bahkan saat istrinya meninggal, Egar dilarang datang.Jasad istrinya langsung diambil alih oleh keluarganya, dan setelah itu, tidak satu pun dari mereka datang melihat Yumi. Tidak ada keluarga pihak ibu yang merangkul bayi mungil itu. Yang ada hanya tuntutan hukum—keluarga istrinya menuntut Nyonya Bira, menuduh bahwa putri mereka me
Hari-hari terasa begitu panjang bagi Ilona. Rumah megah itu bak penjara, mengekangnya dalam aturan dan tatapan penuh curiga dari Nyonya Bira dan Egar.Namun, di antara semua itu, ada satu cahaya kecil yang membuatnya tetap bertahan—Yumi.Di taman belakang rumah, di bawah langit senja yang mulai berpendar jingga, Ilona duduk di atas rumput, menggoyangkan mainan kecil di depan bayi mungil di dalam stroller yang mulai tertawa."Yumi, jadilah anak yang hebat dan baik, ya," bisiknya lembut.Yumi, yang baru berusia tiga bulan, tertawa riang. Pipi gembulnya merona, matanya yang jernih menatap Ilona dengan polos.Ilona mengusap kepala bayi itu penuh kasih sayang. Namun, di balik senyuman itu, ada perasaan pilu yang tak bisa ia usir.Sebesar apa pun cintanya pada Yumi, ia tahu pada akhirnya mereka akan menjadi orang asing."Tentu saja dia akan menjadi orang hebat. Karena ayahnya adalah aku."Ilona tersentak. Suara berat itu terdengar begitu dekat. Saat menoleh, Egar sudah berdiri di sana, bers
Owek! Owek!Tangisan Yumi menggema di seluruh rumah besar itu, menusuk setiap sudut keheningan.Ilona sudah sejak tadi berusaha menenangkan bayi perempuan itu. Digosok punggungnya, diayun-ayun dalam pelukan, bahkan sudah dibawa keluar ke halaman agar udara segar bisa membuatnya tenang. Tapi semua usaha Ilona sia-sia.Yumi tetap menangis, suaranya makin serak, napasnya tersengal-sengal di sela tangisannya yang pilu. Ilona mulai cemas, takut kalau bayi itu sakit. Berkali-kali ia meraba kening dan perut Yumi, tapi suhu tubuhnya normal. Tidak ada tanda-tanda demam atau ketidaknyamanan.Namun, tangis Yumi tak kunjung reda."Hei! Kau apakan anak itu? Berisik sekali!"Teriakan tajam Nyonya Bira terdengar dari tangga, membuat Ilona tersentak. Wanita itu turun dengan wajah kesal, tampak terganggu karena tangisan Yumi yang tak berhenti sejak tadi."Maaf, Nyonya. Tapi, Yumi tidak mau diam," jawab Ilona dengan nafas tersengal, lengannya mulai pegal setelah sekian lama menggendong bayi itu."Kau t
Ilona melangkah keluar dari rumah besar itu dengan hati yang berat. Sejak pertama kali mengasuh Yumi, ia tahu bahwa suatu hari ia harus pergi, tapi ia tidak menyangka perpisahan ini akan terasa sesakit ini. Bayi itu telah menjadi bagian dari hidupnya, seperti anaknya sendiri. Namun, kontraknya telah habis. Tidak ada yang bisa ia lakukan.Saat langkahnya semakin menjauh dari rumah itu, suara berat yang sangat familiar menghentikannya.“Kau mau ke mana?”Ilona menoleh dan mendapati Egar berdiri di sana, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Ada kemarahan, ada kebingungan, dan mungkin juga sedikit... kekecewaan?“Maaf, saya harus pergi.”Ia menjawab tanpa ragu, mencoba bersikap sekuat mungkin. Tidak ada gunanya menetap lebih lama.Egar mensejajari langkahnya. “Kau pergi? Bagaimana dengan Yumi? Dia terus menangis.”Ilona menelan ludahnya, berusaha menekan perasaan yang mulai menyeruak. “Ada Sus Yuli.”Hanya itu jawabannya. Seperti itulah seharusnya.Egar terdiam, matanya mengawasi setiap gerak
Dalam tidurnya, Ilona merasakan sebuah kehangatan yang begitu familiar. Sebuah tangan keriput yang lembut memeluknya erat, memberikan rasa aman yang begitu dirindukannya.“Ibu…” panggilnya lirih, suaranya bergetar dalam kantuk yang membelenggunya.Dari dalam kegelapan, suara ibunya terdengar, lembut namun tegas.“Jangan putus asa.”Itu saja yang ia dengar sebelum sosok wanita tua itu perlahan menghilang, tenggelam dalam bayangan pekat malam.“Ibu, tunggu!” Ilona berteriak, tangannya terulur, berusaha meraih sosok yang semakin menjauh.Namun, yang ia dapatkan hanya kehampaan.Ilona tersentak, tubuhnya terlonjak bangun. Napasnya terengah-engah, matanya yang masih buram karena kantuk perlahan menangkap sekelilingnya. Ia tidak lagi berada dalam pelukan ibunya.Ia mendapati dirinya tertidur di dekat meja makan yang sudah tua, dengan debu yang masih menempel di permukaannya. Lilin yang tadi dinyalakan kini telah hampir habis, nyala apinya kecil dan bergetar.Ia mengusap wajahnya, mencoba me
Ilona menatap Bu Misna dengan pandangan terluka. "Astaga, saya pulang ke rumah saya, Bu. Bukan untuk menggoda suami orang," ucapnya dengan suara lirih, mencoba menahan gemuruh di dadanya.Namun, kata-kata itu seperti angin lalu bagi Bu Misna. Wajahnya tetap sinis, tatapan matanya penuh curiga. "Ya, kan siapa tahu. Selama ini biasa hidup enak. Dan cara yang cepat untuk mendapatkan semuanya ya itu cara instant menggoda suami orang. Apalagi sekarang sudah janda, gak ada lagi kan ketakutan apapun," katanya dengan nada yang menusuk.Ilona menggeleng, memilih diam. Sejak tadi, ia sebenarnya cukup senang ada tetangga yang menyapa, tapi kenyataan tidak seindah harapannya. Ia mengira akan menemukan kehangatan, tetapi yang ia dapat hanyalah prasangka.Dengan nafas panjang, Ilona kembali jongkok, menarik rumput liar yang merajalela di halaman rumah tua itu. Rumah ini adalah satu-satunya tempat yang tersisa untuknya, satu-satunya tempat di mana ia bisa mencoba menata kembali hidupnya.“Benar kan
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m
Bunyi dentuman keras beberapa menit yang lalu masih terngiang di telinga Egar. Suasana dalam mobil terasa hening dan tegang. Yumi yang tadi menangis sudah berhenti nangisnya, dia hanya terkejut, sementara Gana meringkuk di dalam pelukaj Ilona, sesekali merengek kecil. Ilona memeluk keduanya erat, seolah ketakutan itu masih mengejarnya.Mobil kini berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi kejadian. Dion, salah satu pengawal pribadi yang ditugaskan oleh Anita —sedang berbicara serius dengan Roy di luar mobil."Saya akan keluar," ujar Egar akhirnya, merasa perlu ikut mengecek kondisi mobil dan situasi sekitar.Namun Dion segera menoleh dan berkata dengan tenang tapi tegas, “Tidak, biar Roy saja, Tuan. Tetap di dalam. Ini bisa jadi belum aman.”Egar mengernyit, tak biasa dikendalikan begitu, tapi dia tahu Dion dan Roy adalah orang-orang pilihan. Mereka bukan sekadar sopir atau pengawal biasa, mereka adalah bekas anggota pasukan khusus yang kini bekerja penuh untuk menjaga keluarga i
Pagi itu terasa istimewa di rumah kecil milik Egar dan Ilona. Matahari baru saja muncul malu-malu di balik awan tipis, namun Yumi sudah duduk manis di meja makan, mengenakan seragam TK barunya yang berwarna biru muda. Rambutnya yang hitam tebal dikepang dua rapi oleh Ilona, dihiasi pita mungil yang membuatnya tampak seperti boneka hidup.Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu tiba. Yumi akan mulai masuk sekolah hari ini. "Nanti, Yumi akan banyak teman, kan, Ma?" tanya Yumi sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut mungilnya. Matanya berbinar penuh harap.Dia bangun paling pagi dan langsung mandi. Dia begitu bersemangat untuk memulai pengalaman barunya menjadi seorang siswi."Tentu, Sayang. Banyak sekali teman-teman yang menunggu Yumi," jawab Ilona sambil tersenyum lembut."Hore! Yumi bisa main sama teman!" seru Yumi sambil mengangkat kedua tangannya kegirangan.Egar tertawa kecil melihat tingkah anak gadisnya. "Iya, Nak. Yumi pasti cepat berteman, karena Yumi anak yang baik.""Iya,
Angin sore itu berembus lembut dari jendela mobil yang sengaja dibuka, membawa aroma asin dari laut yang masih membekas di tubuh mereka. Ilona menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, memejamkan mata sejenak, menikmati ketenangan setelah seharian bermain bersama keluarga. Tapi jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit diabaikan.Pikiran dalam kepalanya terasa saling bertabrakan. Begitu banyak hal yang melintas di kepalanya."Tapi, entah mengapa aku merasa akan ada sesuatu yang lebih besar akan terjadi," gumam Ilona, suaranya hampir tertelan angin.Suaranya sangat lirih dan lemah.Egar, yang duduk di sebelahnya meraih tangan Ilona dan menggenggamnya dengan lembut, melirik sekilas ke arah istrinya. Ia merasakan tekanan yang sama, kekhawatiran yang membayangi kebahagiaan singkat mereka hari ini. Dia juga tidak yakin semua akan berakhir di hari ini. Apalagi hingga saat ini keluarga Ilma belum ada yang menemui Ilona. Egar merasa masih ada bayang-bayang yang akan mengancam."Sebe
Mobil melaju meninggalkan bandara, setelah hari ini, entah kapan mereka akan bertemu lagi. Semuanya tidak bisa di prediksi."Apakah Kezio pernah main tangan kepada Mamanya?" tanya Ilona pelan, tapi jelas pertanyaan itu tertuju kepada Dion dan Roy. Ternyata di dalam hatinya, dia mengkhawatirkan Anita. "Selama kami ikut Nyonya Anita, tidka pernah. Paling hanya berdebat seperti kemarin aja," jawab Dion."Syukurlah."Egar menayap Ilona lembut, sekarang dia paham apa yang mengganggu pikiran Ilona. Dia mengusap lembut punggung istrinya. "Bagaimana kalau kita ke gudang? Kamu belum pernah kan melihat gudang kita?" usulnya dengan suara hangat.Ilona menoleh, menatap wajah suaminya yang penuh perhatian. Sebuah tawaran sederhana, namun cukup untuk membuat dadanya terasa lebih ringan. Ia tahu, Egar ingin menghiburnya, mengajaknya menghirup udara segar jauh dari bayang-bayang kelam yang sempat menyelimutinya."Boleh," jawab Ilona sambil tersenyum kecil. "Iya, aku juga ingin sekali kesana. Tapi,