Share

BAB 3

Penulis: Hare Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-20 07:54:18

"Hah? Apa?" Wanita itu menatap Ilona dengan kesal, matanya tajam dan penuh curiga.

Itu wajar, kan? Toh mereka tidak saling kenal, tiba-tiba saja dia menawarkan menyusui anak tersebut. Perkara susu menyusui kan bukanlah hal yang biasa.

"Kasihan dia kelaparan," jawab Ilona lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh tangisan bayi yang berada dalam gendongan wanita itu.

Wanita itu menunduk, menatap bayi yang terus menangis, wajahnya sudah memerah, suaranya mulai melemah. Ia terlihat kelelahan, tangisannya tak lagi kencang, hanya rintihan kecil yang menyayat hati.

Wanita itu juga tampak kesal dan frustasi, entah sudah berapa lama dia tidak berhasil menenangkan bayi yang malang itu.

"Apa yang kau inginkan?" suara wanita itu dingin, seolah tak ingin berurusan dengan Ilona.

Dia begitu waspada. Mungkin takut Ilona punya niat buruk.

Ilona menggigit bibirnya. "Saya baru saja melahirkan… anak saya meninggal," ucapnya dengan suara bergetar.

Wanita itu mendongak, menatap Ilona dari atas hingga bawah. Ada keheningan di antara mereka, seolah wanita itu sedang menimbang-nimbang sesuatu. 

Tapi sebelum ia bisa berbicara, tangisan bayi kembali menggema, membuat wajah wanita itu semakin keruh.

Dengan gerakan ragu, wanita itu akhirnya menyerahkan bayi itu ke Ilona. "Ini, coba susuin kalau dia mau! Sejak tadi dia tidak mau diberi susu."

"Pastinya tidak mudah. Dia mewariskan sekali sifat buruk ibunya. Sulit diatur!" sambungnya menggerutu. Entah apa kesalahan ibu dari bayi ini, sehingga sudah meninggal pun tidak membuat wanita paruh baya ini bersedih.

Ilona menerima bayi itu dengan hati-hati. Dan ajaib—begitu berada di pelukannya, tangisan bayi itu langsung mereda. Ia hanya menatap Ilona dengan mata mungilnya yang jernih sebelum kembali memejamkan mata.

Wanita itu terbelalak. "Kau pakai ilmu?" tanyanya, kesal sekaligus curiga.

Bagaimana mungkin baru digendong saja sudah diam. Padahal sejak tadi dia menggendongnya, dan bayi itu sama sekali tidak mau diam. Terus menangis sampai membuat kepalanya rasa mau pecah.

Ilona tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa kosong. "Gak ada, Bu."

Dengan lembut, Ilona mulai menyusui bayi itu. Bayi mungil itu langsung mengisap ASI dengan lahap, tubuhnya yang tegang perlahan melemas, tenggelam dalam ketenangan. Ilona menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Dia memang sudah sangat lapar," lirihnya dan tanpa terasa air matanya jatuh. Ini rasanya menjadi ibu, ada perasaan yang sulit diungkapkan ketika mulut kecil itu bergerak perlahan mengisap makanannya.

Ia mengelus pipi bayi itu dengan penuh kasih. "Dia sudah tidur," bisiknya.

Ilona menatap wajah mungil itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Anak ini begitu malang, kehilangan ibunya bahkan sebelum mengenalnya. 

Tapi bukankah ia juga sama? Dunianya juga telah hancur, anaknya pergi bahkan sebelum sempat ia dekap lebih lama. Anaknya belum sempat menikmati udara bebas ini. Mungkin anaknya tahu kalau hidup di dunia ini akan penuh dengan penderitaan.

Dengan berat hati, Ilona menyerahkan kembali bayi itu kepada neneknya. "Terima kasih," ucap Ilona dengan tulus karena wanita itu telah mempercayainya menyusu anak itu.

"Hmmm!"

Ilona hanya tersenyum kecil, lalu berbalik, berjalan pelan kembali ke kamarnya.

Namun, baru beberapa langkah, suara wanita itu menghentikannya.

"Tunggu!"

Ilona menoleh. "Ada apa, Bu?"

Wanita itu terdiam sejenak, seperti sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Kemudian, dengan suara mantap, ia berkata:

"Jadilah ibu susu untuk anak ini!"

Ilona membeku.

Ia menatap wanita itu, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Tapi wanita itu menatapnya dengan serius, tak ada keraguan di matanya. Meskipun wajah sombong dan arogan masih terlihat jelas.

Ilona menelan ludah. "Bu, saya…"

"Kau yang telah membuat masalah, setelah ini dia pasti akan semakin sulit ditenangkan. Sejak tadi dia menolak susu formula, tapi denganmu, dia langsung diam. Kau harus bertanggung jawab!"

Ilona menggigit bibirnya. Ia baru saja kehilangan anaknya, dan kini, seseorang memintanya untuk menjadi ibu bagi bayi lain. Bukankah ini seperti takdir yang mempermainkannya?

Ia menatap bayi itu sekali lagi. Wajah mungilnya begitu damai dalam tidur, dadanya naik turun dengan nafas teratur.

"Aku akan membayarmu setiap bulan, anggap saja kau bekerja denganku!" sambung wanita itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Mantan   BAB 153 - TAMAT

    Hujan sore itu turun perlahan, seperti ingin menyelaraskan suasana hati Ilona yang masih berkecamuk. Meskipun tubuhnya duduk diam di ruang tamu, jiwanya masih berputar antara amarah, harapan, dan kebingungan. Di hadapannya, duduk seorang pria sederhana yang mengaku sebagai ayah kandungnya—Rudy Prasetyo.Ia tak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Selama ini, Ilona hanya mengenal gelapnya rahasia tentang asal-usul dirinya. Ia tumbuh tanpa tahu siapa orang tua kandungnya. Sekarang, tiba-tiba muncul lelaki dengan mata berkaca-kaca yang memanggilnya "Nak" dengan suara bergetar.Ilona ingin mempercayai, namun hatinya masih membeku. Luka-luka masa lalu seperti belum memberi izin untuk sembuh.Tiba-tiba, suara lembut yang tak asing memecah keheningan."Mama di sini, Ilona."Ilona langsung menoleh. Suara itu—ya Tuhan—itu suara yang sangat ia kenal. Tapi tidak… itu tidak mungkin.Namun kenyataan menamparnya manis saat sosok Anita, perempuan yang lebih dulu mengakui sebagai ibu kandu

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Mantan   BAB 152

    Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Mantan   BAB 151

    Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Mantan   BAB 150

    "Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Mantan   BAB 149

    Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Mantan   BAB 148

    Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status